Xi Jinping Dinilai Ingin Para Pejabatnya ‘Bermuka Dua’ untuk Menyebarkan Agenda PKT ke Seluruh Dunia

Eva Fu

Saat Beijing bersiap untuk sebuah serangan pesona besar untuk disayangi pihak Barat, berharap tidak ada perubahan sejati dari Partai Komunis Tiongkok–—hanya “lebih licik,” sebagaimana diperingatkan oleh para analis

Pada akhir bulan Mei, pemimpin partai Komunis Tiongkok Xi Jinping mengadakan sebuah “sesi belajar,” memberitahu para pejabat tinggi komunis untuk menjadikan sesi belajar tersebut sebagai sebuah prioritas untuk menciptakan sebuah citra Tiongkok yang menyenangkan dan terhormat.”

Menurut Xi Jinping, hal tersebut mengharuskan mereka untuk “memperluas lingkaran persahabatannya,” “menangkan mayoritas,” dan “memperhatikan strategi dan seni perang naratif”, sehingga terhadap masalah-masalah penting mereka dapat membuat diri mereka didengar. Mereka harus mengatur nada yang tepat untuk menampilkan dirinya “terbuka maupun percaya diri, namun tetap sederhana dan rendah hati,” kata Xi Jinping.

Pidato pemimpin komunis itu adalah sebuah seruan untuk secara langsung untuk mempersenjatai kepegawaian, kata Feng Chongyi, seorang akademisi yang berbasis di Sydney.

“Xi Jinping mengobarkan sebuah perang kata-kata untuk mengendalikan narasi global,” Feng Chongyi, seorang profesor studi Tiongkok di Universitas Teknologi, mengatakan kepada The Epoch Times.

Feng Chongyi mengatakan bahwa, Xi Jinping berusaha untuk “membantu antek-anteknya untuk bekerja lebih efektif.”

Dalam pandangan Xi Jinping, rezim Tiongkok belum berbuat cukup untuk menipu dunia dengan apa yang disebut cerita-cerita positif yang berasal dari Tiongkok, jadi “kini perlu digandakan,” kata Feng Chongyi.

Sebuah ‘Tindakan Penyelamatan Diri’

Sementara upaya-upaya rezim Tiongkok untuk mempengaruhi narasi global bukanlah hal baru, tekanan internasional saat ini telah menambah kedaruratan tersebut.

Rezim Tiongkok telah mengalami serangkaian kemunduran, karena para diplomat rezim Tiongkok telah berdebat dengan negara-negara di seluruh dunia di bawah sebuah pendekatan yang agresif, yang dikenal sebagai “diplomasi prajurit serigala.”

Di Uni Eropa, para anggota parlemen telah menangguhkan sebuah usulan perjanjian dagang Uni Eropa-Tiongkok yang membutuhkan beberapa tahun dalam pembuatan, setelah Beijing memberlakukan sanksi-sanksi balasan terhadap para anggota parlemen.

Australia, yang telah menanggung beban kemarahan Beijing, setelah tahun lalu menyerukan diadakannya sebuah penyelidikan independen terhadap asal-usul pandemi, baru-baru ini bekerja sama dengan Selandia Baru—–sebuah negara yang enggan mengkritik Tiongkok–—untuk mengungkapkan “keprihatinan-keprihatinan serius” terhadap kendali Beijing yang ketat atas Hong Kong dan perlakuan Beijing terhadap Muslim Uighur di Xinjiang, di mana semakin banyak negara mengenalinya sebagai sebuah  genosida.

Di Filipina, rezim Tiongkok mengumpulkan ratusan perahu milisi-berawak di terumbu-terumbu karang, yang mana disengketakan terletak di perairan teritorial Manila yang memicu kemarahan dari para pejabat Filipina. Menteri Luar Negeri Filipina mengeluarkan sebuah peringatan yang penuh sumpah serapah di Twitter, ia menuntut kapal-kapal penangkap ikan Tiongkok untuk menjauhi perairan yang disengketakan itu. Bahkan Presiden Rodrigo Duterte, yang secara historis bersahabat dengan rezim Tiongkok, mengancam akan mengirim kapal-kapal militer ke Laut Tiongkok Selatan untuk “mempertaruhkan sebuah klaim” atas sumber daya di wilayah yang disengketakan itu.

Minggu ini, baik negara-negara kaya Grup Tujuh (G-7) maupun NATO, mengubah fokus mereka terhadap tantangan-tantangan yang ditimbulkan oleh rezim Tiongkok—–sebuah tanda munculnya upaya terkoordinasi oleh negara-negara demokrasi untuk menghadapi Beijing.

Dengan penanganan pandemi oleh rezim Tiongkok yang semakin menarik perhatian, pandangan-pandangan negatif terhadap Tiongkok yang melonjak di beberapa negara, dan kemarahan yang memuncak terhadap pelanggaran hak asasi manusia oleh Beijing, Barat tampaknya “mengepung” Partai Komunis Tiongkok, kata Huang Jinqiu, seorang penulis dan seorang pembangkang yang berbasis di Provinsi Zhejiang, Tiongkok timur. Tantangan tersebut adalah beragam, dari ekonomi hingga militer hingga ideologis, tambah Huang Jinqiu.

Dari sudut pandang partai yang berkuasa, ada bahaya bahwa “perang dingin dapat menjadi perang panas,” dan partai yang berkuasa tersebut sangat ingin keluar dari dilema itu, kata Huang Jinqiu.

“Bagaimana cara anda menembusnya? Anda mulai dengan memenangkan hati mereka,” kata Huang Jinqiu. Dan di sinilah propaganda berperan.

“Ini adalah sebuah tindakan penyelamatan diri untuk meningkatkan citra global rezim Tiongkok,agar rezim Tiongkok tidak selalu menjadi penjahat yang diolok-olok semua orang,” kata Huang Jinqiu.

Propaganda semacam itu dapat datang dalam berbagai bentuk dan mungkin tidak tampak seperti yang dipikirkan orang-orang, kata Huang Jinqiu, yang menunjuk pada program-program kebudayaan yang didanai negara Tiongkok, aplikasi-aplikasi populer milik Tiongkok, dan iklan-iklan oleh media pemerintah Tiongkok yang ditempatkan di outlet-outlet Barat.

“Banyak orang Barat mungkin tidak ingin ada hubungannya dengan Tiongkok, tetapi mereka mungkin sangat memikirkan TikTok dan, karena produk TikTok, berkembang sebuah perasaan yang lebih mencintai Tiongkok,” kata Huang Jinqiu, merujuk pada aplikasi video milik Tiongkok tersebut yang berupaya dicekal oleh pemerintahan Donald Trump atas keprihatinan-keprihatinan keamanan data.

‘Strategi Bermuka Dua’

Tetapi Hua Po, seorang analis politik yang berbasis di Beijing, memperingatkan bahwa para diplomat Tiongkok cenderung tidak meninggalkan retorikanya yang berapi-api dalam waktu dekat.

Sementara seruan Xi Jinping untuk kesederhanaan dan kerendahan hati, mungkin tampak bertentangan dengan gaya agresif para  diplomat Tiongkok, bagi rezim Tiongkok itu hanyalah “masalah strategi,” kata Hua Po.

“Yang disebut kerendahan hati hanyalah sebuah taktik. Anda ingin menjadi sedikit lebih bijaksana dalam beberapa bidang, seperti mempromosikan kebudayaan Tiongkok, sehingga lebih mudah bagi orang-orang untuk menerima [propaganda].”

Namun yang mendasari strategi ini, tujuannya masih tetap sama: rezim Tiongkok “tidak mau” mundur dari perjuangannya untuk kekuasaan wacana” dengan Barat, kata Hua Po, mengacu pada keinginan Xi Jinping untuk mengendalikan diskusi publik di seluruh dunia.

Sementara itu, rezim Tiongkok dapat memilih sebuah pendekatan yang lebih lunak terhadap negara-negara tertentu, untuk membuat negara-negara tersebut memihaknya, sambil tetap bersikap agresif terhadap negara-negara lain, menurut Hua Po. Misalnya, itu berarti bersikeras terhadap Amerika Serikat, pembalasan keras terhadap Australia, berteman dengan Jerman dan negara-negara Eropa, dan sebuah kombinasi dari keduanya untuk Kanada.

Bahwa Beijing tidak akan mundur secara diplomatis adalah terbukti dalam pernyataan yang dibuat oleh cendekiawan Zhang Weiwei, yang merupakan satu-satunya akademisi yang  diundang untuk memberi kuliah kepada para pejabat senior di sesi belajar ala Xi Jinping, dalam sebuah wawancara berbahasa Inggris dengan corong Partai Komunis Tiongkok People’s Daily pada 1 Juni.

“Kisah Tiongkok belum diceritakan dengan baik ke dunia luar, terutama dalam sebuah bahasa yang dapat dimengerti oleh orang-orang asing,” kata profesor Universitas Fudan itu. Ia menyalahkan hal itu karena “terutama sebuah masalah di pihak Barat.”

Zhang Weiwei lebih lanjut menyatakan bahwa, “tidak ada cara untuk mengendalikan sebuah negara seperti Tiongkok.” Zhang Weiwei mengatakan bahwa mengendalikan Tiongkok hanya akan mengakibatkan “dipastikan saling menghancurkan.”

Feng Chongyi, akademisi Sydney, menggambarkan pendekatan baru itu sebagai sebuah “strategi bermuka dua.”

“Ini bukan untuk menolak diplomasi serigala-pejuang, melainkan untuk melengkapi diplomasi serigala-pejuang, Mereka menyempurnakan keterampilan-keterampilan penipuannya dan mendapatkan menjadi lebih licik. Anda memainkan ‘serigala’ atau ‘kucing’ tergantung pada situasi,” kata Feng Chongyi.

Tidak peduli seberapa licik taktik tersebut, ada batasan-batasan untuk apa yang dapat dilakukan rezim Tiongkok, kata Feng Chongyi.

“Partai Komunis Tiongkok “telah bertindak terlalu jauh,Bahkan teman-temannya, yang disebut pemeluk-pemeluk panda, merasa malu berbicara atas nama mereka,” ujarnya. (Vv)