Mantan Bintang Renang Putri Huang Xiaomin : Kasus Peng Shuai Banyak Terjadi di Tiongkok

 oleh Luo Ya, Ning Haizhong

Ulasan tentang Beijing akan menjadi tuan rumah Olimpiade Musim Dingin pada Februari 2022. Namun, karena masalah pelanggaran hak asasi manusia, banyak negara melakukan boikot diplomatik terhadapnya. Pemain tenis putri Tiongkok Peng Shuai yang menuduh mantan petinggi Partai Komunis Tiongkok Zhang Gaoli melakukan pelecehan seksual adalah salah satu alasan pemboikotan. Bagaimana mantan bintang renang putri Tiongkok Huang Xiaomin memandang kasus Peng Shuai ? Mari kita ikuti.

Peng Shuai, pemain tenis putri Tiongkok berusia 35 tahun ini telah memposting tulisan di Weibo pada awal bulan November tahun ini yang mengungkapkan, bahwa Zhang Gaoli, 75 tahun, telah memaksa dirinya untuk berhubungan seks dan melakukan pelecehan lainnya. 

Setelah berita tersebar, Peng Shuai mengalami hilang kontak dengan dunia luar. Tak lama kemudian, Peng Shui baru secara bertahan “dihadirkan” oleh pihak berwenang Tiongkok setelah mereka menghadapi tekanan dan perhatian dari opini publik internasional.

 Tetapi pemunculan Peng masih patut diragukan. Menghilangnya Peng Shuai juga menjadi salah satu pemicu gelombang boikot internasional terhadap Olimpiade Musim Dingin Beijing .

Mantan bintang renang Olimpiade Tiongkok Huang Xiaomin menerima wawancara eksklusif dari Epoch Times pada 14 Desember. Pada kesempatan itu, Huang mengungkapkan pandangannya tentang kasus Peng Shuai, dan Beijing sebagai tuan rumah Olimpiade Musim Dingin.

“Masih banyak (kasus) Peng Shuai di Tiongkok”

Huang Xiaomin mendukung tindakan yang dilakukan Peng Shuai. Ia mengatakan : “Peng Shuai hanya melakukan apa yang seharusnya ia lakukan !”

Huang Xiaomin yang lahir pada tahun 1970, adalah mantan perenang tim nasional Tiongkok dan peraih medali perak di Olimpiade Seoul 1988. Ia sekarang tinggal di Korea Selatan dan pernah menjadi pelatih renang Trilomba (Triatlon) tim nasional Korea Selatan.

Huang Xiaomin mengatakan bahwa Peng Shuai adalah seorang atlet terkenal. Kasus pelecehan sebagaimana yang ia alami itu banyak terjadi di daratan Tiongkok. Bahkan banyak atlet yang kurang menonjol prestasinya juga menghadapi hal ini. “Di bawah sistem Partai Komunis Tiongkok, kejadian yang dialami Peng Shuai itu sudah tidak lagi mengejutkan”.

“Justru karena dia (Peng Shuai) adalah pemain tenis yang terkenal. Jadi menarik perhatian internasional setelah kasusnya dipublikasikan. Jika itu adalah atlet Tiongkok yang prestasinya kurang menonjol, maka tidak ada peluang sama sekali buat mereka untuk berteriak”, katanya.

“Baik memang dirinya mau melakukan atau tidak. Masalahnya di Tiongkok, mereka perlu bertahan hidup”.

Keterangan Foto : Pemain tenis putri Tiongkok Peng Shuai berpose di depan trofi juara setelah mengalahkan pemain putri AS, Alison Riske di Tianjin Open pada 16 Oktober 2016. (STR/AFP/Getty Images)

Huang Xiaomin mengatakan bahwa di bawah sistem kepemimpinan yang diterapkan Partai Komunis Tiongkok, para atlet olah raga baik yang berprestasi atau tidak, semua tidak ada artinya setelah pensiun. Sejak hari pertama pensiun, segala sesuatunya harus mulai lagi dari nol.

Karena itu, mungkin saja ada atlet yang menemukan seseorang yang diharapkan memberikan bantuan untuk tetap bisa bertahan hidup di bawah sistem ini di masa mendatang. Kemudian terjadilah kasus seperti yang dialami oleh Peng Shuai.

Huang Xiaomin mengatakan bahwa di daratan Tiongkok, lazim sekali orang mencari pejabat yang bisa dijadikan sandaran hidup. Wanita muda akan mencari ayah angkat untuk mendapatkan uang. Begitu pula atlet. 

“Ya, untuk bertahan hidup, apalagi dia adalah atlet wanita yang masih muda”, kata Huang.

“Katakanlah atlet tersebut berprestasi, masuk anggota tim nasional sehingga sejak remaja ia harus meninggalkan kampung halaman dan orang tuanya demi prestasi olahraga. Sedangkan Training Center tim nasional ada di Kota Beijing, dan ketika atlet tersebut harus tinggal di Beijing. Bagaimana jika ia tidak memiliki sandaran, dipastikan akan sulit untuk bisa bertahan hidup di Kota Beijing, apakah ia harus pulang-pergi dari kampung halaman ?”

“Setelah bertahun-tahun hidup di kota besar berjuang mati-matian demi prestasi olahraga yang digeluti, apakah atlet bersedia kembali ke kampung setelah belasan tahun dilalui atau menghadapi usia pensiun olahraga ? Atlet mana yang bersedia untuk kembali ke kampung ? Jelas, dia tidak mau kembali. Di bawah sistem yang diterapkan oleh PKT itulah yang menyebabkan situasi demikian bisa terjadi”, kata Huang Xiaomin.

“Seperti halnya Peng Shuai, saya benar-benar merasakan bahwa Peng telah mengungkapkan isi hati dari para atlet”. Atlet wanita lain mungkin tidak berani berbicara ketika mereka menghadapi pelecehan seksual.

“Karena media Tiongkok dikendalikan, jadi beritanya juga terkendali”.

Mengungkap skandal doping di dunia olahraga nasional Tiongkok yang memalukan

Duka lara atlet di balik gemilangnya prestasi olah raga yang dicapai di bawah sistem yang dianut PKT, akhir-akhir ini telah menarik banyak perhatian.

Huang Xiaomin mengatakan bahwa para atlet di bawah sistem Partai Komunis Tiongkok pada akhirnya menemui nasib yang sangat menyedihkan. “Selain kehilangan diri sendiri, juga tidak memiliki hak, lebih-lebih tidak memiliki hak asasi manusia. Semua itu dilakukan atas kehendak partai, dilakukan atas perintah pelatih, apa yang bisa atlet lakukan hanyalah mematuhi”.

Huang Xiaomin mengatakan bahwa jika atlet bisa mendapatkan medali Olimpiade, maka dapat dipastikan bahwa itu membutuhkan 6 hingga 8 tahun kerja keras dengan jumlah dan intensitas latihan yang sama dan cenderung meningkat. Atlet perlu upaya yang sangat besar untuk berhasil. Itu sangat tidak mudah.

Huang Xiaomin juga berbicara tentang masalah doping para atlet Tiongkok yang menurutnya adalah kemauan negara.

Ia mengatakan, biasanya pelatih yang memberikan obat doping kepada atlet. Misalnya seorang atlet berbakat yang bisa (diharapkan) meraih medali Asia atau medali Olimpiade. Akan dibuatlah sebuah rangkaian pelatihan, yang dikombinasi dengan “pembentukan fisik melalui obat-obatan”. Misalnya. sampai pada pelatihan yang mana, maka minum obat ini pada minggu pertama dan obat itu pada minggu kedua. Dijelaskan juga bagaimana cara minumnya, lalu bagaimana cara minum obat dari minggu ketiga sampai minggu keenam. Bagaimana satu bulan kemudian atau dua bulan kemudian, atau pada tahap ini. Setelah satu periode berlalu. Mereka memiliki rencana yang cukup teliti dalam memantau perkembangan fisik lewat obat-obatan yang mengikuti program pelatihan”.

“Dan hal semacam ini tidak boleh sampai terdeteksi. Karena ini bukan perbuatan mulia, jadi harus berhati-hati, tetapi tetap harus dikonsumsi. Pokoknya kombinasi obat dengan program pelatihan” kata Huang Xiaomin.

“Di Tiongkok atlet tidak memiliki harga diri”

Dalam beberapa tahun terakhir, terjadi sebuah fenomena janggal di daratan Tiongkok, dimana beberapa atlet berprestasi dengan memenangkan sejumlah medali menjual medalinya untuk menyambung hidup setelah pensiun dari dunia olahraga. 

Misalnya, mantan juara dunia lari jarak jauh Ai Dongmei yang memenangkan medali emas Beijing International Marathon, Dalian International Marathon dan Japan’s Chiba Road Relay pada tahun 1999. Dia telah memenangkan 19 medali dalam karir profesionalnya. Namun setelah pensiun pada tahun 2003, ia memposting tulisan di media sosial tentang rencana menjual seluruh medali emas dengan harga murah untuk menyambung hidup.

Huang Xiaomin mengatakan bahwa di bawah sistem yang dianut Partai Komunis Tiongkok, atlet tidak memiliki harga diri, pokoknya habis manis sepah dibuang.

 “Seperti halnya Peng Shuai yang saya sebutkan sebelumnya. Dia sudah meraih prestasi terbaik di olahraga tenis, tetapi pada akhirnya harus menemui nasib seperti ini”.

Huang Xiaomin mengambil contoh lain yang dialami atlet angkat berat Tiongkok. Olah raga tersebut sebenarnya kurang disukai oleh banyak orang di Tiongkok, apalagi setelah atlet pensiun, maka perhatian kepada mereka semakin berkurang.

“Sama-sama perlu kerja keras dan penuh pengorbanan pribadi. tetapi setelah pensiun, cedera yang dialami, nafkah untuk menyambung hidup, berobat menjadi tanda tanya besar bagi atlet. Karena itu atlet terpaksa menjual medalinya. Dia tidak memiliki cara lain untuk mendapatkan uang. Inilah sistemnya PKT. Sistem yang memaksa para atlet menjadi orang seperti itu”.

Hanya dengan jatuhnya PKT, para atlet Tiongkok dapat bebas dari represi sistemik

Huang Xiaomin cukup beruntung karena ia bisa melanjutkan studinya di Korea Selatan setelah pensiun dari dunia olahraga pada tahun 1994. Ia lulus dari Akademi Olahraga Sosial di Universitas Myongji pada tahun 1998. Setelah itu, ia menikah, menetap di Korea Selatan, dan  berprofesi sebagai pelatih.

Ketika disinggung soal apa yang bisa ia bantu untuk menolong para atlet domestik Tiongkok, Huang Xiaomin mengatakan bahwa hal ini tidak terlepas dari hak asasi manusia sehingga perlu berbicara dari perspektif hak asasi manusia di Tiongkok.

Huang Xiaomin berkata ; “Saya pikir bantuan terbesar untuk atlet Tiongkok adalah agar semua negara demokratis mengutuk penganiayaan PKT terhadap hak asasi manusia. Tidak seperti inisiatif Belt and Road, yang pemerintah komunis Tiongkok pikir bahwa segalanya bisa dilakukan dengan iming-iming uang. Tetapi hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah moralitas yang merupakan dasar manusia”.

“Semua negara demokratis yang berhati nurani dan bermoral, selama mereka bisa menyadari dan benar-benar melawan penganiayaan PKT terhadap hak asasi manusia, maka disintegrasi PKT akan lebih cepat terjadi”.

“Hanya jatuhnya PKT yang dapat membantu atlet Tiongkok dan rakyat Tiongkok, agar mereka tidak tertindas oleh sistem ini”, kata Huang Xiaomin.

“PKT tidak memenuhi syarat menjadi tuan rumah Olimpiade”

Menanggapi Beijing akan menjadi tuan rumah bagi Olimpiade Musim Dingin pada Februari 2022, Partai Komunis Tiongkok baru-baru ini memperkuat pemeliharaan stabilitas. Huang Xiaomin percaya bahwa PKT tidak memenuhi syarat untuk menjadi tuan rumah Olimpiade.

“Saya pikir Tiongkok tidak memenuhi syarat, karena tujuan Olimpiade adalah perdamaian, persahabatan, dan kesetaraan. Ditinjau dari sudut manapun Tiongkok tidak memenuhi syarat untuk menjadi tuan rumah. Selain tidak memiliki semangat Olimpiade, sebaliknya Tiongkok menginjak-injak hak asasi manusia”, katanya.

Huang Xiaomin mengatakan bahwa banyak negara di Barat telah secara terbuka memboikot Olimpiade Musim Dingin Beijing. “Artinya, saya tidak mengakui anda yang tidak memenuhi syarat untuk itu, karena anda tidak memiliki hak asasi manusia”.

Huang Xiaomin merupakan bintang renang Tiongkok yang pernah merajai dunia renang pada era 1980-an. Pada tahun 1985, ia memecahkan rekor nasional secara berturut-turut dalam gaya dada 100 meter dan 200 meter putri.

Pada tahun 1986, ia memenangkan medali emas gaya dada 100 meter di Asian Games ke-10 di Seoul. Pada tahun 1988, ia memenangkan medali perak dalam gaya dada 200 meter di Olimpiade Seoul. Pada tahun 1985, 1986 dan 1987, ia dinobatkan sebagai sepuluh atlet terbaik Tiongkok.

Pada tahun 1987, ia dinobatkan sebagai sepuluh atlet teratas di Asia. Ia dipuji sebagai salah satu dari “Lima Tangkai Bunga Emas” di dunia renang Tiongkok. Setelah Pertandingan Nasional Ketujuh 1997, dia dijuluki sebagai “Ratu Katak” karena kecepatan renangnya.

Pada tahun 2004, Huang Xiaomin secara terbuka menyatakan mundur dari keanggotaan Partai Komunis Tiongkok. (sin)