He Qinglian
Banyak analisis menyalahkan industri perdagangan manusia Tiongkok karena kesengsaraan seorang ibu delapan anak di Xuzhou, Jiangsu, Tiongkok Stereotip orang Tionghoa pedesaan sebagai orang-orang sederhana dan pekerja keras mengabaikan fakta bahwa para perempuan yang diculik dijual untuk dinikahkan dihadapkan pada penindasan pembeli-pembeli, dan terlebih lagi penindasan terhadap penduduk desa, yang adalah sebuah masyarakat kecil antek-antek yang menjaga wanita dalam perbudakan. Para penduduk desa, tidak percaya apa yang mereka lakukan adalah sebuah kejahatan.
Perempuan yang Dijual untuk Dinikahkan Tidak Dapat Melarikan Diri
Ada dua film Tiongkok yang memberikan sebuah gambaran kasar tentang bagaimana masyarakat-masyarakat di pedesaan telah berevolusi dan menjadi sebuah tabu serius bagi rezim partai komunis Tiongkok.
“Blind Mountain,” adalah sebuah film bioskop yang ditayangkan pada tahun 2007, dan, program propaganda CCTV, media pemerintah, mengenai hukum, “A College Girl Abducted for Marriage” ditayangkan pada 2018.
Program CCTV itu meniru pedoman dan plot-plot dari film Blind Mountain, dan menambahkan dua karakter fiksi, kerabat pembeli: seorang sepupu Hai, dan sepupu lainnya yang bekerja sebagai seorang polisi. Hai yang simpatik berupaya membantu gadis itu melarikan diri, tetapi gagal; dan petugas polisi melakukan hal yang benar dan menghukum si pembeli.
“Blind Mountain” didasarkan pada kisah seorang sungguhan bernama Zheng Xiuli.
Saya melihat film tersebut dan meneliti kesulitan-kesulitan yang sebenarnya dialami Zheng Xiuli.
Setelah membaca banyak kasus serupa, saya memiliki pemahaman tertentu mengenai bagaimana para masyarakat setempat membentuk sebuah jaringan para antek ketika seorang perempuan dibeli untuk dinikahkan.
Pemberdayaan dilakukan oleh para penduduk desa setempat yang mencegah para istri melarikan diri. Program CCTV tersebut secara sengaja menghilangkan fakta yang sangat penting ini, tetapi menggambarkan para perempuan yang diculik sebagai sebuah kasus yang terisolasi atau sebuah kejahatan yang dilakukan oleh segelintir petani miskin.
Program tersebut memberikan sebuah gambaran kehidupan pedesaan komunis yang dipenuhi dengan rumah-rumah pertanian yang bagus, peternakan-peternakan bersih dan rapi, dan banyak mobil bagus.
“Blind Mountain” memiliki semua unsur dari tragedi perempuan yang diculik, yang situasinya lebih baik daripada situasi ibu delapan anak di Xuzhou yang terutama diperkosa dan dianiaya oleh suaminya, dan menjadi budak seks bagi banyak laki-laki di desa itu.
Zheng Xiuli, seorang perempuan muda dari Timur Laut Tiongkok, memiliki sebuah kehidupan yang jauh lebih menghancurkan daripada yang ditunjukkan film itu.
Zheng Xiuli, seorang lulusan perguruan tinggi, pergi ke selatan untuk bekerja di Zhuhai pada tahun 1994.
Para pedagang manusia itu, menyamar sebagai calo pekerjaan, menculik Zheng Xiuli ke desa Huaping, hampir 200 mil jauhnya, dan menjual Zheng Xiuli seharga 3.000 yuan atau sekitar 6 juta lebih kepada seorang penduduk desa berusia 49 tahun bernama Guo.
Zheng Xiuli mencoba melarikan diri pada malam ia tiba di rumah Guo, tetapi semua penduduk desa dikerahkan untuk menangkapnya, sehingga ia dipukuli habis-habisan oleh keluarga Guo. Malam itu, dengan bantuan saudara laki-laki Guo dan perempuan ipar Guo, Guo memperkosa Zheng Xiuli.
Zheng Xiuli mencoba melarikan diri berkali-kali, sampai ia menyadari bahwa semua orang di sekelilingnya adalah antek-antek dalam penangkarannya. Dua tahun berikutnya, Zheng Xiuli Xiuli melahirkan dua anak.
Akhirnya, Zheng Xiuli yang putus asa dan sangat disalahgunakan, memercikkan asam sulfat pada kedua anak saudara laki-laki Guo, dan melukai lima siswa lainnya.
Zheng Xiuli tidak menunggu untuk diselamatkan, tetapi ditangkap oleh polisi.
Pada akhirnya, Zheng Xiuli dijatuhi hukuman mati karena kejahatan cedera yang disengaja, yang ditangguhkan.
Beberapa orang mengatakan bahwa penulis skenario Li Yang berharap untuk menarik perhatian pada tragedi penculikan perempuan dengan film tersebut.
Mengapa Penduduk Desa Menjadi Antek-Antek
Insiden Zheng Xiuli dan seorang ibu delapan anak di Xuzhou mencerminkan isu-isu yang jauh di luar lingkup jual beli perempuan. Seseorang bertanya-tanya mengapa mereka tidak dapat melarikan diri.
Saya ingat laporan-laporan yang dibaca ketika masih berada di Tiongkok yang memberikan rincian-rincian mengenai penculikan. Polisi setempat menggerebek sebuah desa di tengah malam. Jika tidak, mereka akan dikepung oleh penduduk desa dan misinya akan gagal. Polisi berada di sana untuk melakukan penyelamatan, bukannya untuk menyebabkan sebuah peristiwa massal.
Jadi mari kita lihat mengapa penduduk desa bersatu dalam menangkis sebuah aksi polisi.
Di pedesaan Tiongkok yang terpencil, tidak mudah bagi laki-laki untuk menikah. Dikatakan secara umum, perempuan enggan menikah dengan laki-laki di daerah miskin, dan banyak petani akan menukar anak-anak perempuannya sendiri untuk mendapatkan menantu-menantu perempuan. Bagi yang tidak memiliki anak perempuan harus membayar ribuan yuan, dan bahkan puluhan ribuan yuan, untuk pernikahan. Jumlah ini akan menguras seluruh sumber daya keluarga. Dengan demikian, pengantin-pengantin yang dibeli petani-petani dianggap sebagai properti yang harus dijamin oleh seluruh keluarga—–para pembeli.
Desa-desa Tiongkok saat ini telah menjadi sebuah masyarakat kepentingan bersama, apakah itu desa dengan marga tunggal atau desa dengan marga campuran. Desa-desa miskin dipenuhi dengan para bujangan, yang menggunakan pedagang-pedagang manusia untuk mendapatkan istri. Untuk melindungi properti yang mereka bayar, penduduk-penduduk desa mengikuti sebuah aturan tidak tertulis untuk membentuk sebuah sistem penahanan. Misalnya, mereka akan memberitahu si pembeli jika mereka mengetahui niat perempuan yang diculik untuk melarikan diri; ketika polisi tiba, mereka menyembunyikan perempuan yang diculik; dan bila perlu, mereka campur tangan dalam upaya-upaya penyelamatan polisi.
Jangan berharap Sekretaris Partai Komunis Tiongkok di desa itu membela keadilan. Sebagai seorang penduduk desa itu sendiri, Sekretaris Partai Komunis Tiongkok di desa itu terikat untuk menjaga minat-minat para penduduk desa.
Ada juga sebuah film tahun 2006, “Kisah Seorang Wanita yang Diculik,” berdasarkan kisah Gao Yanmin, seorang perempuan yang diculik dan dijual kepada seorang pria di desa Xia’an, Provinsi Hebei. Para penduduk desa memusuhi wartawan-wartawan yang mencoba wawancarai Gao Yanmin setelah kisah Yanmin dipublikasikan.
Para penduduk desa menyalahkan Gao Yanmin karena memaparkan penduduk-penduduk desa yang membeli istri dan merusak reputasi mereka. Sekretaris Partai Komunis Tiongkok di desa itu bertanya kepada seorang wartawan yang datang untuk wawancara: “Masih ada lebih dari 60 bujangan di desa ini, bagaimana anda membantu mereka?”
Dengan tidak adanya intervensi, rasio jenis kelamin saat lahir umumnya berkisar antara 103 hingga 107 kelahiran bayi laki-laki per 100 kelahiran bayi perempuan, menurut ke UNICEF (Dana Darurat Anak Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa). Kesukaan untuk memiliki anak laki-laki di pedesaan Tiongkok adalah sangat serius, yang telah menciptakan suatu ketidakseimbangan gender yang luar biasa.
Pada tahun 2004, Tiongkok mencatat 121 bayi laki-laki lahir untuk setiap 100 bayi perempuan; pada tahun 2019, masih tetap pada rasio 112 bayi laki-laki untuk setiap 100 bayi perempuan. Laki-laki Tiongkok diperkirakan melebihi jumlah wanita sekitar 30 juta selama 30 tahun, menurut sebuah corong Partai Komunis Tiongkok.
Pedesaan Tiongkok, yang menampung mayoritas pria lajang, memiliki sebuah permintaan yang sangat besar untuk pembelian istri. Ini adalah latar belakang sosial penculikan dan perdagangan perempuan yang serius di Tiongkok. Ditambah dengan secara umum rezim Tiongkok mengabaikan hak asasi manusia, hak-hak perempuan dengan mudah dilanggar, dan pembelian perempuan yang diculik tetap akan berlanjut di pedesaan Tiongkok. Perdagangan perempuan diperburuk karena pihak-pihak berwenang mengabaikan masalah ini.
Pembangunan Pedesaan yang Terwujud di Bawah Rezim yang Berkuasa
Lebih dari 20 tahun lalu, penulis menyimpulkan bahwa masyarakat Tiongkok secara moral adalah runtuh di buku penulis yang berjudul “China’s Trap.” Pedesaan Tiongkok menjadi pusat fenomena keruntuhan moral, yang dipenuhi oleh masyarakat kecil dari para penjahat perdagangan manusia. Keruntuhan moral ini adalah akibat dari reformasi tanah Partai Komunis Tiongkok setelah berkuasa.
Melalui serangkaian gerakan reformasi tanah, Partai Komunis Tiongkok benar-benar menghancurkan sistem marga yang mendominasi otonomi desa, sebuah sistem kuno sebelum tahun 1949; yang membunuh semua kaum intelektual dan bangsawan setempat yang mengatur sistem tersebut; dan masyarakat-masyarakat kuno dijalankan oleh para bandit dan gangster.
Reformasi pedesaan di bawah Partai Komunis Tiongkok memusatkan perhatian pada infrastruktur material, dan tidak ada hubungannya dengan peradaban atau kemanusiaan.
Dalam pertemuan legislatif yang tunduk pada Partai Komunis Tiongkok tahun 2005, rezim Tiongkok mengusulkan untuk membangun sebuah pedesaan sosialis yang mendorong produksi, pengembangan, pengelolaan, konstruksi, mekanisasi, dan standardisasi pertanian.
Pada 2021 ketika Xi Jinping menekankan untuk membangun sebuah pedesaan sosialis baru “yang lebih indah dan memiliki kondisi kehidupan yang lebih baik,” hal tersebut masih berfokus pada aspek-aspek materi.
Setelah pengungkapan seorang ibu delapan anak di Xuzhou, pemerintah setempat menanggapi publik yang marah dengan sebuah pemberitahuan yang mengatakan bahwa apa yang disebut “keluarga” telah menerima bantuan dan asuransi kesehatan sejak Mei 2014, subsidi-subsidi rekonstruksi perumahan dari pemerintah pada tahun 2021, dan banyak sumbangan amal dari masyarakat. Namun, tidak disebutkan mengenai perempuan yang diikat oleh rantai anjing di lehernya, yang diperkosa beramai-ramai oleh tiga pria dari keluarga pembeli.
Ini adalah pedesaan sosialis baru yang telah dibangun oleh rezim Tiongkok.
Hak asasi perempuan telah disalahgunakan dalam sebuah masyarakat Tiongkok yang runtuh secara moral. (Vv)
He Qinglian adalah seorang penulis dan ekonom Tiongkok terkemuka. Saat ini berbasis di Amerika Serikat, ia menulis “China’s Pitfalls,” yang menyangkut korupsi dalam reformasi ekonomi China tahun 1990-an, dan “The Fog of Censorship: Media Control in China,” yang membahas manipulasi dan pembatasan pers. Dia secara teratur menulis tentang isu-isu sosial dan ekonomi Tiongkok kontemporer