oleh Luo Tingting
Saat ini Tiongkok sedang menghadapi krisis kependudukan yang cukup serius. Menurut data resmi, usia rata-rata menikah dari pasangan muda-mudi di daratan Tiongkok menurut sensor kependudukan tahun 2020 tercatat mengalami penundaan selama 4 tahun jika dibandingkan dengan keadaan 10 tahun silam. Bahkan di banyak tempat pasangan muda-mudi baru menikah pada usia di atas 30 tahun. Mengapa generasi muda ini menunda berkeluarga dan enggan memiliki anak telah menarik perhatian dan memicu diskusi panas masyarakat.
Usia rata-rata menikah pasangan muda mudi di Tiongkok tertunda selama 4 tahun
Pada 24 Juni, Zhongxin Finance yang mengutip Hasil Sensor Kependudukan Tiongkok Tahun 2020 melaporkan bahwa, usia rata-rata menikah pasangan muda mudi Tiongkok menjadi 28,67 tahun. Dimana usia pasangan pria adalah 29,38 tahun, dan usia pasangan wanita adalah 27,95 tahun.
Sedangkan sensor kependudukan pada tahun 2010 menunjukkan bahwa usia rata-rata menikah pasangan muda mudi adalah 24,89 tahun. Dimana usia pasangan pria menjadi rata-rata pernikahan pertama untuk pasangan pria adalah 25,75 tahun, dan usia pasangan wanita adalah 24 tahun.
Statistik menunjukkan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir, usia rata-rata menikah pasangan muda mudi di daratan Tiongkok telah mengalami penundaan hampir 4 tahun.
Bahkan di beberapa tempat angka itu telah melampaui 30 tahun.
Selain itu, jumlah pasangan muda mudi yang melakukan pernikahan resmi mengalami penurunan selama tujuh tahun berturut-turut. Menurut “China Statistical Yearbook 2021”, jumlah pernikahan resmi yang tercatat dalam sensor kependudukan tahun 2020 hanya 12,886,000 kasus, turun hampir 10 juta dari 22,009,000 kasus yang tercatat dalam sensor tahun 2010.
Mengapa pasangan muda mudi di daratan Tiongkok enggan buru-buru berkeluarga ?
Mr. Li, sorang warga Kota Hefei mengatakan bahwa banyak muda-mudi berusia 30-an tahun yang belum menikah, itu terutama disebabkan oleh beban pembayaran KPR yang terlalu berat.
Sebuah laporan yang dipublikasi oleh media Xinhuanet pada 5 Desember 2021 menyebutkan bahwa di luar kota-kota besar seperti Beijing, Shanghai, dan Guangzhou, setiap keluarga yang memiliki anak harus menanggung kehidupan yang berat.
Chen Xiaoming, seorang pemuda 27 tahun yang tinggal di Kota Changde, Provinsi Hunan memiliki seorang putra berusia 2 tahun. Anak itu menghabiskan sekitar RMB. 5.000,- (setara IDR.11 juta) sebulan untuk menutupi kebutuhan pembayaran kelas pendidikan pagi, makanan dan pakaian sehari-hari.
Seorang ayah yang bekerja di kota kabupaten di barat laut Tiongkok mengatakan bahwa dia menghabiskan setidaknya RMB. 1.000,- (setara IDR.2,2 juta) sebulan untuk anak-anaknya, sementara gaji bulanannya hanya RMB. 3.000,- (setara IDR.6,6 juta).
Ms. Li, yang bekerja sebagai guru di sebuah sekolah dasar pedesaan di Huaihua, Provinsi Hunan mengatakan bahwa anaknya yang masih berusia di bawah 3 tahun harus menghabiskan sekurang-kurangnya sepertiga dari gaji bulanan yang ia peroleh.
Chinanews.com mengutip penjelasan yang disampaikan oleh Feng Wenmeng, direktur Kantor Penelitian Administrasi Publik dan Lembaga Penelitian Sumber Daya Manusia Pusat Penelitian Pembangunan Dewan Negara memberitakan, bahwa kenaikan dari tingkat pendidikan, biaya pernikahan, persaingan dalam pekerjaan dan tempat kerja yang semakin ketat, perubahan konsep pernikahan merupakan faktor penting yang menyebabkan enggannya pasangan muda mudi untuk buru-buru membentuk keluarga.
“Kita adalah generasi terakhir !”
Selain itu, dalam beberapa tahun terakhir, langkah-langkah pencegahan epidemi ekstrem yang dilakukan pemerintah komunis Tiongkok juga telah membuat sadar banyak orang. Mereka memilih untuk tidak memiliki anak yang hanya untuk dimanfaatkan sebagai sapi perahan oleh rezim yang berkuasa.
Pada 11 Mei tahun ini, sebuah video beredar di Weibo menggambarkan, satu pasangan muda mudi di Shanghai yang memiliki hasil tes asam nukleat negatif menolak untuk dibawa paksa menjalani karantina oleh petugas yang mendatangi kediamannya. Petugas berpakaian APD yang ternyata adalah polisi mengancam dengan mengatakan : “Jika Anda menolak untuk dibawa, Anda akan dihukum oleh keamanan publik. Setelah menjalani hukuman, Itupun masih akan mempengaruhi 3 generasi keturunan Anda !”
Pria itu dengan tenang membalas : “Kita adalah generasi terakhir, terima kasih !” Kalimat ini mengejutkan para warganet di Tiongkok, tak lama kemudian istilah “Kita adalah generasi terakhir !” menjadi populer di kalangan pemuda Tiongkok, meskipun topik terkait segera diblokir oleh pihak berwenang.
Netizen muda menuliskan komentar mereka : ” ‘Kami adalah generasi terakhir’ ini adalah pernyataan yang mengungkapkan seluruh isi hati kami, biarlah kehidupan ini berakhir sampai generasi kita, atau kita yang berakhir di kehidupan ini”. “Kekuasaan kalian berakhir sampai generasi kita, biarlah penderitaan yang kalian berikan berakhir sampai generasi kita”.
” ‘Kami adalah generasi terakhir’ tidak dapat mengubah sejarah, tetapi dapat menolak masa depan”.
Netizen lainnya menulis : “ ‘Kami adalah generasi terakhir, terima kasih’ Ini mungkin kalimat paling sedih tapi paling kuat yang pernah saya dengar dalam beberapa bulan terakhir. Terputusnya keturunan bukan lagi kutukan yang kejam, tetapi sebuah pengakuan paling menentukan di era ini”.
Di media sosial luar negeri Twitter, netizens juga menulis : “Ketika saya melihat video ini, kesedihan melintas di hati saya. Kami adalah generasi terakhir – kami tidak lagi membutuhkan masa depan. Maaf ya PKT kita tidak lagi menemani ! “
“Partai Komunis Tiongkok mengancam kaum muda agar ‘duduk manis’, ditanggapi oleh kaum muda dengan tidak mau memiliki anak. Netizen muda menyebutkan : ” ‘Kami adalah generasi terakhir’. Ini juga ikrar diri saya. Dialog epik ‘Terdengar gelegar guntur di tempat yang sunyi’. Ini adalah suara paling keras dari era yang pernah saya dengar. Dan pembuktian terakhirnya terletak pada tingkat kelahiran”. (sin)