Wang He
Pada 6 Desember 2022, DPR RI meloloskan amandemen Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Salah satunya yang paling disoroti adalah barang siapa yang mempromosikan atau mempropagandakan komunisme dan Marxisme-Leninisme dapat dijatuhi hukuman 4-15 tahun penjara. Menurut pasal 188 UU tersebut, barang siapa yang menyebarkan atau meneruskan komunisme dan Marxisme-Leninisme, akan dijatuhi hukuman penjara maksimal 4 tahun; jika tindakan di atas mengakibatkan kekacauan masyarakat atau kerugian harta benda, maksimal dihukum 7 tahun penjara; jika menyebabkan cedera atau kematian, maka maksimal akan dihukum 12-15 tahun penjara.
Tak dapat dihindari, ada yang bertanya-tanya bahwa Indonesia di dalam sejarahnya tidak pernah mengalami masa pemerintahan rezim komunis, mengapa UU pidana baru itu tetap menghukum berat paham komunis dan Marxisme-Leninisme?
Hal ini dikarenakan dua faktor. Pertama, kitab UU pidana KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) saat ini, pada dasarnya adalah buatan Belanda yang diterapkan di Indonesia pada 1918. Sejak memerdekakan diri dari Belanda pada 1945, Indonesia terus berupaya merevisi KUHP tersebut. “Selama bertahun-tahun hanya ada perubahan kecil, hanya itu saja.” Ini adalah pertama kalinya dilakukan amandemen menyeluruh, dengan sendirinya merangkumkan pengalaman dan pelajaran selama ratusan tahun.
Kedua, melawan komunis adalah pelajaran yang membekas paling dalam dan paling menyakitkan bagi Indonesia setelah kemerdekaannya. Pada 1951, Aidit yang memiliki hubungan dekat dengan sang Proklamator Soekarno mereorganisir Partai Komunis Indonesia (PKI), hingga menjadi partai politik terbesar di Indonesia pada 1960, dan pada 1965 anggota PKI telah mencapai lebih dari 3 juta orang, menjadikannya sebagai partai komunis ketiga terbesar di dunia setelah Partai Komunis Tiongkok (PKT) dan Partai Komunis Uni Soviet, sepertinya merebut kekuasaan negara RI hanya tinggal masalah waktu saja. Pada 30 September 1965, Letkol. Untung, Komandan Batalyon I Pengawal Presiden Tjakrabirawa menggerakkan kudeta militer, menculik dan mengeksekusi enam jenderal AD, tetapi berhasil digagalkan oleh kelompok TNI yang dipimpin oleh Soeharto. Lalu Soeharto pun membubarkan PKI, dan akhirnya menggulingkan pemerintahan Soekarno. Selama periode itu, sekitar 500.000 orang terbunuh, ribuan orang di antaranya adalah etnis Tionghoa (akibat dukungan PKT terhadap revolusi yang dilakukan oleh PKI, sehingga etnis Tionghoa turut menjadi tumbal terutama yang mendukung gerakan komunis di Kalimantan Barat). Peristiwa inilah yang kemudian disebut “Gerakan 30 September”. Ini adalah masa paling berbahaya bagi Indonesia, juga merupakan luka nasional yang sangat menyakitkan. Sejak saat itu, Indonesia membuat undang-undang, bahwa penyebaran paham komunis, Marxisme, dan Leninisme adalah kejahatan, dan merupakan ancaman bagi keamanan nasional Indonesia. UU pidana Indonesia yang baru, hanya semakin mengukuhkan hal ini.
“Gerakan 30 September” membuat Indonesia menjadi negara yang tadinya bersahabat dengan PKT dan Uni Soviet berubah menjadi lebih dekat dengan AS dan negara Barat, itu hanya efek tambahannya, yang paling penting adalah, dimusnahkannya PKI telah mengubah nasib Indonesia. Hal ini dapat terlihat jelas dalam perbandingan Indonesia dengan Filipina dan India.
Pada 16 Desember, sepuluh hari setelah Indonesia mengesahkan UU pidana baru tersebut, pemimpin partai komunis Filipina (Jose Maria Sison) yang diasingkan meninggal dunia di sebuah rumah sakit Belanda. Pada 18 Desember, Komite Sentral Komunis Filipina membuat pernyataan, dan mengumumkan hari berkabung selama 10 hari, “Selama masa berkabung itu, demi melindungi rakyat Tentara Rakyat Baru atau NPA boleh melakukan serangan taktis terhadap kekuatan fasisme yang terus merajalela.” Di hari yang sama, pihak Polisi Nasional Filipina dan Angkatan Bersenjata Filipina menyatakan, menjelang hari ulang tahun ke-54 berdirinya Partai Komunis Filipina pada 26 Desember 2022, pihak berwajib telah melakukan persiapan menangkal serangan dalam bentuk apapun yang kemungkinan akan dilancarkan oleh NPA. Bisa dilihat betapa setelah Sison meninggal pun, masih saja mengobarkan api peperangan bagi negara tersebut.
Sison disebut sebagai “Mao Zedong Filipina”, semasa Revolusi Kebudayaan ia pernah berkunjung ke RRT untuk mendapatkan pelatihan, lalu membentuk Partai Komunis Filipina Baru (sempalan dari partai lama), dan pada 1969 ia membentuk “Tentara Rakyat Baru” (bahasa Tagalog: Bagong Hukbong Bayan)— yaitu “tentara pembebasan rakyat yang dipersenjatai dengan pemikiran Mao Zedong yang tak terkalahkan”, lalu dikobarkanlah perlawanan bersenjata secara menyeluruh (PKT terus memasok senjata bagi PKF dan pelatihan perang gerilya, hingga pemerintah Deng Xiaoping mengumumkan dihentikannya revolusi tersebut). Perang itu pun berlangsung setengah abad. Kementerian Pertahanan Filipina mengatakan, “Serangan yang brutal dan berdarah terhadap negara dan rakyat Filipina selama 50 tahun itu mengakibatkan kehancuran dan perselisihan bagi jutaan warga Filipina.”
Terhitung sejak 1986, pemerintah Filipina dan PKF telah melakukan lebih dari 40 kali perundingan damai, sayangnya hasilnya tidak efektif. Di masa pemerintahan Duterte, pasukan NPA melakukan banyak serangan, memaksanya membatalkan upaya damai, dan mengambil tindakan tegas, termasuk mengumumkan PKF sebagai organisasi teroris. Sekarang Sison telah meninggal, walaupun Kemenhan Filipina telah menyatakan, “Batu sandungan terbesar bagi perdamaian di Filipina telah hilang, sekarang kita berkesempatan melangkah menuju perdamaian.” Walaupun demikian, situasi tetap tidak menjanjikan.
Dibandingkan dengan Filipina, pemberontakan Partai Komunis India (PKI) aliran Mao bahkan lebih parah lagi (Partai Komunis India memiliki banyak aliran, ada yang menempuh jalur damai, ada yang menempuh jalur kekerasan, kelompok yang kedua ini sejak September 2004 secara resmi mengumumkan berdirinya Partai Komunis India (Maoisme). Pada 2009, PK-Inida Maoisme telah menguasai 1/3 wilayah dan penduduk di India. Pada Agustus 2013, PK-India Maoisme secara terbuka mengumumkan akan merebut kekuasaan dengan kekuatan militer sebelum 2050, menjadikannya sebagai bahaya tersembunyi terbesar bagi keamanan negara India.
Berkat serangan kuat pemerintahan Modi, pada April 2018 lalu, Sekjend PK-India Maoisme Muppala Lakshmana Rao atau Ganapathy berhasil ditangkap, kelompok gerilyanya merosot hingga tinggal 6.000 orang, wilayah gerilya juga menyusut dari 74 kabupaten pada 2015 menjadi hanya tinggal 10 kabupaten. Tapi ibarat kelabang, PK-India Maoisme masih terus melawan. Pada 2021, kekuatan perang gerilyawan mulai bangkit lagi, pada 3 April 2021 sebanyak 400 orang gerilyawan berhasil mengalahkan 2.000 orang anggota polisi dan tentara India. Pada akhir tahun 2021, India melancarkan aksi militer terbesar sepanjang tahun, dengan membagi pasukan menjadi 24 jalur serangan, tapi hingga kini hasilnya tidak begitu memuaskan.
Dibandingkan Filipina dan India yang hingga kini masih terjerat bencana “revolusi kekerasan” partai komunis, nasib Indonesia jauh lebih baik. Akan tetapi, keberuntungan yang dialami Indonesia diraih dengan dibayar mahal. Contohnya, fakta tentang “Gerakan 30 September” hingga kini belum benderang, ormas HAM menuntut agar Pembantaian 1965 diusut tuntas, mengungkap fakta dan memberikan keadilan bagi masyarakat Indonesia. Akan tetapi, bagaimanapun juga, menolak partai komunis dan komunisme, adalah kebenaran yang tidak diragukan lagi. (sud/whs)