oleh Chen Ting
Sebuah survei menunjukkan bahwa dibandingkan dengan dua tahun terakhir, ketegangan perdagangan AS – Tiongkok semakin memengaruhi perusahaan asing di Tiongkok, sehingga mereka ragu untuk melakukan investasi besar karena kekhawatiran terhadap risiko.
Kamar Dagang Amerika di Tiongkok Selatan (AmCham in South China) menyebutkan bahwa sekitar 90% perusahaan yang disurvei percaya bahwa sengketa perdagangan AS – Tiongkok “sangat mungkin” atau paling tidak “mungkin” meluas tahun ini, dan 64% dari responden perusahaan memperkirakan bahwa sengketa AS – Tiongkok akan berdampak pada bisnis mereka selama lebih dari dua tahun.
Laporan yang dirilis pada Senin (27 Februari) menunjukkan (tautan) bahwa pengenaan tarif AS pada komoditas Tiongkok tahun lalu telah berdampak negatif sebesar hampir 60% terhadap perusahaan AS di Tiongkok Selatan, meningkat terus dari tahun 2021 yang 55%, dan tahun 2020 yang 53%.
Sebelum otoritas Tiongkok sepenuhnya melonggarkan kebijakan Nol Kasus, kamar dagang tersebut telah mensurvei 210 perusahaan pada Desember 2022. Di antara responden ada 40% perusahaan yang kepemilikan sepenuhnya adalah asing, 18% adalah perusahaan patungan, dan 38% adalah perusahaan Tiongkok. 40% responden adalah perusahaan besar dengan lebih dari 250 karyawan.
Ada pun perusahaan yang berpartisipasi dalam survei : 28% berasal dari Amerika Serikat, 25% dari Eropa, Kanada, Hong Kong atau Makau dan Asia Tenggara, 43% adalah perusahaan Tiongkok.
Laporan tersebut menunjukkan bahwa dampak negatif dari tarif Tiongkok juga menunjukkan peningkatan pada tahun 2022, meningkat sekitar 5% dari tahun ke tahun. Tetapi laporan itu mengatakan bahwa dampaknya masih relatif lebih ringan ketimbang tarif AS.
Perusahaan memperlambat ekspansi bisnis di Tiongkok, enggan berinvestasi besar
Laporan itu mencatat bahwa surplus perdagangan Tiongkok dengan Amerika Serikat menggelembung ke rekor $877,6 miliar tahun lalu. Investasi asing langsung di Tiongkok mencapai USD.189,13 miliar, meningkat 8% YoY. Namun, karena ketidakpastian pasar dan risiko investasi, mulai 2022, perusahaan berhati-hati dengan investasi skala besar dan pada tahun ini berencana untuk memperlambat ekspansi bisnis mereka di Tiongkok.
Ada sekitar 10% dari perusahaan yang disurvei awalnya berencana untuk menginvestasikan kembali lebih dari USD.250 juta di Tiongkok pada 2022, tetapi hanya 5% dari mereka yang investasinya mencapai angka itu.
Menurut laporan tersebut, diperkirakan pada 2023 dan tiga sampai lima tahun ke depan, perusahaan di Tiongkok yang bersedia mengeluarkan keuntungan dari bisnis mereka untuk diinvestasikan kembali di Tiongkok, secara keseluruhan hanya berjumlah USD.18,3 miliar, atau turun sekitar 31% jika dibandingkan dengan tahun lalu.
Pada 2023, jumlah perusahaan dengan anggaran reinvestasi lebih dari USD.250 juta turun tajam ke level terendah dalam 5 tahun terakhir, yakni hanya 4%. Hanya ada sekitar 74% perusahaan yang bersedia mengeluarkan USD.10 juta dari laba keuntungan bisnisnya di Tiongkok untuk diinvestasikan kembali, termasuk 79% perusahaan asal Tiongkok dan 81% perusahaan asal AS.
Tidak ada perusahaan AS yang memiliki rencana untuk reinvestasi proyek-proyek senilai lebih dari USD.250 juta, sedangkan perusahaan Tiongkok juga hanya 6% yang tertarik. persentase ini turun sekitar 50% dibanding dengan tahun lalu.
Proporsi Tiongkok sebagai target utama investasi mencapai titik terendah baru
Menurut kamar dagang tersebut, 40% dari perusahaan yang disurvei masih menganggap Tiongkok sebagai yang teratas dalam rencana investasi global mereka, tetapi angka ini telah mencapai titik terendah dalam 5 tahun terakhir.
Pada tahun 2022, sekitar 26% perusahaan yang disurvei memilih untuk mentransfer sebagian investasi mereka dari Tiongkok ke negara lain, meningkat 3 poin persentase dari tahun 2021.
35% perusahaan mempertimbangkan untuk memindahkan sebagian atau seluruh investasi mereka dari Tiongkok ke negara lain. Dan Vietnam menjadi tujuan utama. Amerika Serikat adalah lokasi terpopuler kedua (14%), sementara Singapura turun ke urutan ketiga (9%).
Harley Seyedin, Presiden Kamar Dagang Amerika Serikat di Tiongkok Selatan mengatakan : “Pembangunan ekonomi Tiongkok masih menghadapi tantangan besar …… Pada tahun 2023, para pemimpin Tiongkok akan terus menghadapi tekanan besar dari dalam negeri berupa masalah sosial, ekonomi, kesehatan masyarakat”.
Dia menambahkan bahwa kontraksi di sektor real estate, ketidakpastian yang disebabkan oleh varian virus COVID-19, serta populasi yang menurun, pertumbuhan produktivitas yang lebih lambat, semua ini menjadi hambatan bagi pertumbuhan ekonomi Tiongkok.
“Konflik Rusia – Ukraina berpotensi memperburuk kesenjangan antara pasar negara maju, dengan negara berkembang, dan berkembang. Secara lebih luas dapat dikatakan bahwa, ekonomi global mungkin dapat terpecah atau terbagi ke dalam ‘blok geopolitik’ yang menerapkan standar teknis yang berbeda, masing-masing memiliki sistem pembayaran lintas batas, dan mata uang cadangan”, kata Harley Seyedin.
Perubahan struktural ini menimbulkan tantangan paling serius terhadap sistem yang mengatur hubungan internasional dan ekonomi selama 75 tahun terakhir, juga merupakan ancaman paling serius terhadap kinerja yang telah tercapai selama beberapa dekade, katanya.
“Amerika Serikat dan Tiongkok terjebak ke dalam persaingan jangka panjang untuk menentukan model pemerintahan mana yang paling baik untuk memecahkan masalah global dan meningkatkan kehidupan warga. Hasilnya akan mempengaruhi persepsi orang tentang kekuasaan,” kata Harley Seyedin. (sin)