Apakah Hukum Plafon Utang AS Suatu Kebodohan?

DR Xie Tian

Pemerintah Federal AS terus terlibat perdebatan sengit dengan DPR baru-baru ini terkait masalah plafon hutang, DPR yang dikuasai oleh Partai Republik menuntut pemerintah federal untuk harus memangkas pengeluaran, jika tidak maka kenaikan plafon hutang tidak akan disetujui; sementara pemerintah sayap kiri Partai Demokrat menuntut kenaikan plafon hutang tanpa syarat, dan tidak mau menerima tuntutan memangkas pengeluaran. 

Jika kedua pihak terus berdebat tanpa solusi, hingga tibanya bulan Juni hutang AS akan naik mencapai batas atas, dan pemerintah federal tidak akan bisa terus berbelanja, serta kemungkinan akan mengalami ditutupnya pemerintahan untuk sementara, bahkan mungkin dapat mengakibatkan Departemen Keuangan AS tidak mampu lagi membayar hutang pokok berikut bunganya, sehingga menyebabkan gagal bayar (default) obligasi USD.

Setelah Gedung Putih dan DPR terjebak dalam kebuntuan selama tiga bulan terkait plafon hutang ini, beberapa hari lalu Joe Biden melakukan pertemuan dengan Ketua DPR Kevin McCarthy, pemimpin minoritas DPR yakni Hakeem Jeffries, ketua Partai Demokrat kamar senat Chuck Schumer, serta ketua Partai Republik kamar senat Mitch McConnell, untuk membahas penyelesaian masalah plafon hutang, tetapi pembicaraan tersebut belum dapat mendobrak kebuntuan. 

Biden mengatakan akan mengadakan pembahasan terpisah terkait anggaran, dan belanja yang diprioritaskan, tapi tidak akan mengalami ancaman default. 

Kevin McCarthy dan Partai Republik bersikeras pada pendiriannya, yakni langsung memangkas anggaran sebagai syarat menaikkan plafon hutang, kedua belah pihak telah bersitegang selama tiga bulan lamanya.

Tentu saja, sebelum tiba momentum krusial itu, pemerintah dan DPR seharusnya mencapai kesepakatan tertentu, karena perihal gagal bayarnya obligasi USD, adalah masalah yang tak terbayangkan dan tidak akan mampu ditanggung oleh pihak manapun. 

Namun, di saat yang sama, pembahasan seputar masalah hutang dan plafon hutang AS telah memicu perselisihan lebih lanjut antara sayap kanan dan sayap kiri, bahkan ada juga yang berpendapat, hukum plafon hutang AS adalah “hukum AS yang paling bodoh”. 

Lalu, apakah hukum plafon hutang AS benar-benar sebodoh itu? Atau hal ini telah mencerminkan perselisihan idealisme dan landasan moral yang lebih mendalam terkait masalah mengatur pemerintahan negara itu?

Batas hutang AS (debt limit), atau disebut juga plafon hutang (debt ceiling), sebenarnya adalah suatu batasan besaran hutang yang boleh dilakukan oleh Departemen Keuangan dan pemerintahan yang berkuasa yang diperbolehkan oleh DPR AS, yang dibuat hukumnya oleh DPR AS agar pemerintah AS tidak mengandalkan pengadaan hutang baru untuk membayar hutang lama dan supaya tingkat hutang AS secara keseluruhan tidak terus meningkat. 

Plafon hutang hanya sebatas angka jumlah hutang secara keseluruhan, yang mencakup lebih dari 99% adalah hutang pemerintah, dan hanya 0,5% adalah hutang yang tidak tercakup dalam hukum ini. 

Yang patut disebutkan adalah, plafon hutang tidak secara langsung membatasi defisit fiskal pemerintah, pengeluaran fiskal diotorisasi dengan legislasi lainnya.

Bagi yang memahami soal keuangan pasti mengetahui bahwa obligasi pemerintah AS sangat diterima secara luas, dan selalu dianggap sebagai ‘nol risiko’ (zero risk), yang dijadikan sebagai dasar menghitung nilai dari produk keuangan lainnya. 

Dikatakan obligasi pemerintah AS tanpa risiko sama sekali, adalah karena di balik obligasi itu ada pemerintah AS sebagai jaminannya, kredibilitas pemerintah AS yang menjadi jaminannya, dengan kredibilitas dan kekuatan finansial AS sebagai tamengnya, sehingga investor selamanya tidak perlu khawatir tidak akan bisa mengambil kembali investasi mereka pada obligasi pemerintah federal AS. 

Pokoknya, sejak berdirinya negara AS hingga hari ini, pemerintah AS tidak pernah menyangkal hutangnya, obligasi AS apapun yang dimiliki masyarakat, besar atau kecil nilainya dan kapanpun diterbitkan, akan selalu diuangkan obligasi yang Anda miliki oleh semua bank hingga akhirnya oleh The Fed.

Karena selama dua ratus tahun tidak pernah gagal bayar, jadi, jika hari ini obligasi AS mengalami gagal bayar atau default, ini adalah peristiwa yang tak terbayangkan oleh siapapun. 

Tapi jika kemampuan meminjam kredit pemerintah AS dibatasi, beban utang telah mencapai ambang atas, tidak ada uang untuk membayar bunga, maka akan ada sedikit “kemungkinan” peristiwa gagal bayar itu akan terjadi. Inilah alasan masyarakat sedikit merasa “khawatir”. 

Tetapi sebenarnya, Departemen Keuangan pemerintah federal AS, walaupun sudah mencapai ambang batas utang dan tidak bisa mengeluarkan uang, mereka akan menempuh “tindakan luar biasa”, akan mencari para sesepuh, orang-orang atau organisasi atau bank yang berduit untuk meminjam uang atau “memberi” atau “membayarkan lebih dulu”, untuk membayar bunga obligasi, dan tidak akan membiarkan gagal bayar itu sampai terjadi. 

Seandainya obligasi AS gagal bayar, khususnya gagal bayar jangka panjang, maka akan memicu hancurnya sistem kapitalisme Barat, akan memicu banyak masalah ekonomi, akan memicu meroketnya suku bunga dan hilangnya kredibilitas mata uang USD, membuat negara Barat terjerumus ke dalam kemerosotan ekonomi dalam kurun waktu yang sangat lama.

Setidaknya secara hukum, dalam Amandemen ke-14 Konstitusi AS telah ditetapkan “efektivitas hutang publik AS tidak seharusnya diragukan”. Kata “tidak seharusnya diragukan” ini, bagaimana seharusnya diinterpretasikan, masih menjadi perdebatan di kalangan akademisi. Apakah itu berarti memberikan jaminan hukum, agar gagal bayar tidak terjadi, bahwa gagal bayar berarti melanggar konstitusi? 

Jika demikian, maka pemerintah AS tidak memiliki dasar hukum untuk gagal bayar atas hutang publik yang diedarkannya, dan apabila pengeluaran telah melebihi ambang batas, masih boleh terus berbelanja, pokoknya tidak gagal bayar, tidak melanggar konstitusi. Tapi melebihi ambang batas hutang, berarti telah melanggar hukum yang telah dilegislasi oleh DPR AS pada 1917.

Konstitusi AS pasal 1 ayat 8 menetapkan, hanya DPR yang bisa memberi wewenang untuk meminjam uang dengan kredibilitas AS, sejak berdirinya AS hingga 1917, selalu demikian. Tetapi PD-I (Perang Dunia kesatu) telah mengubah cara ini, waktu itu sebuah UU menetapkan, DPR menetapkan sebuah batasan, yakni batas maksimal hutang yang bisa dipinjam oleh pemerintah AS. 

Sebelum dan sesudah PD-II batas hutang telah dinaikkan secara drastis, dan digunakan untuk membiayai perang. Semasa pemerintahan Obama pada 2011, AS sudah sangat mendekati gagal bayar tapi sebenarnya belum sampai gagal bayar, karena DPR menunda menaikkan plafon hutang AS, sehingga mengakibatkan untuk pertama kalinya dalam sejarah peringkat hutang AS anjlok.

Setelah itu, pada 2012, 2013, 2015, 2017, dan 2019, plafon hutang terus dinaikkan, hingga Maret 2019 telah mencapai 22 triliun dolar AS. Bagaimana konsep hutang sebesar 22 triliun dolar AS itu? Pada 2019 PDB AS hanya 21,38 triliun dolar AS.

Sepanjang sejarah AS, hutang pemerintah AS sebelum pertengahan 1970 sangat sedikit, sejak era 1980-an baru mulai menanjak secara signifikan, pada 2001 mulai tumbuh dengan cepat, dari 4 triliun melonjak hingga lebih dari 30 trilyun hari ini. Namun jika melihat rasio hutang terhadap PDB, mulai masa PD-II sampai sebelum 2021, hanya di masa PD-II rasio hutang melebihi 100%, pada era 1960-an hingga 1970-an sekitar 30%. Kini, untuk kedua kalinya dalam sejarah rasio tersebut telah melebihi 100%. Hingga 19 Januari 2023, hutang pemerintah AS telah mencapai plafon 31,4 triliun dolar AS.

Amandemen ke-14 Konstitusi AS menyebutkan “efektivitas hutang publik AS… tidak seharusnya diragukan”, pernyataan bahwa plafon hutang adalah melanggar konstitusi cukup diminati di kalangan pejabat pemerintahan dan akademisi dari Partai Demokrat, mulai dari mantan presiden Bill Clinton, mantan menteri tenaga kerja Clinton yakni Robert Reich sampai anggota DPR sayap kiri Jim Clyburn dan Jerry Nadler, semua adalah penganut dari konsep ini. Obama dan Biden pada dasarnya menolak membahas masalah ini, tidak ingin terkait prinsip-prinsip konstitusional terkait plafon hutang ini. 

Banyak anggota DPR Partai Demokrat seperti senator negara bagian Vermont yakni Peter Welch, telah mengusulkan agar plafon hutang dihapuskan! Januari tahun ini, Menkeu Janet Yellen juga mengusulkan agar plafon hutang dihapus, tapi Biden tidak mengizinkannya.

Para tokoh dan akademisi sayap kiri pada dasarnya berpendapat, DPR telah meloloskan anggaran dan defisit pemerintah, batasan plafon hutang mungkin tidak lagi dibutuhkan. Tapi seperti diketahui, UU terkait anggaran tahunan kongres AS, pembahasan dan persetujuannya sangat tergantung pada perseteruan partai politik dan pertukaran kepentingannya, para anggota kongres mungkin akan mendapat keuntungan berdasarkan wilayah pemilihannya dan instansi serta organisasinya, akan meloloskan anggaran fiskal bernilai triliunan dolar dalam suatu kompromi dan konspirasi, mereka bahkan tidak ada waktu membaca rincian anggaran yang panjangnya sampai ribuan halaman. 

Tentu ini merupakan duka dalam sistem demokrasi representatif, tapi jika tetap dijaga adanya batasan atau plafon hutang, sebagai batasan fiskal lintas partai, lintas masa jabatan presiden, dan lintas periode, maka warga AS baru dapat membatasi pemerintahannya agar tidak membelanjakan uang sesukanya. Pemerintah yang menghabiskan seluruh uang simpanan, menghamburkan uang tanpa memikirkan generasi berikutnya dan dampaknya terhadap anak cucu, bukanlah pilihan yang baik bagi masyarakat AS.

Rick Newman adalah kolumnis senior di Yahoo Finance, dalam artikelnya pada 8 Mei lalu disebutkan, UU terkait plafon hutang adalah hukum AS yang paling bodoh (America’s dumbest law). Argumennya adalah, saat resesi 1939 berakhir, hutang pemerintah federal AS adalah 52% terhadap PDB, dan sekarang adalah 124%, serta plafon ini akan terus meningkat. Karena jika tidak dinaikkan, akan menimbulkan dampak serius pada ekonomi AS dan seluruh dunia. Menurut Newman, politisi Partai Demokrat dan Partai Republik pada saat berkuasa telah mengeluarkan kebijakan baru yang menyalahgunakan plafon hutang.

Contoh yang dikemukakan oleh analis sayap kiri ini adalah program stimulus Obama 2009, dan program stimulus Trump 2020, serta program stimulus Biden 2021. Namun kebijakan di masa pemerintahan Trump adalah mengurangi pajak dalam jumlah besar, mengembalikan kekayaan bagi rakyat, memangkas belanja pemerintah, dan waktu itu hanya gara-gara terkena dampak COVID-19, sehingga dibuatlah program stimulus ekonomi tersebut; sedangkan program stimulus Obama dan Biden, tidak ada latar belakang pandemi akibat virus Wuhan, melainkan hanya belanja pemerintah yang berlebihan akibat program pemerintahan bongsornya. Sekarang, pandemi telah berlalu, tidak perlu lagi stimulus ekonomi dilanjutkan, juga tidak ada alasan untuk menaikkan belanja pemerintah.

Rick Newman merasa, plafon hutang adalah ciptaan manusia yang konyol, maka itu masyarakat juga mengajukan cara penyelesaian yang konyol pula, misalnya mengecor sekeping uang logam dari platinum yang bernilai 1 trilyun dolar AS. Ia berpendapat kalau memang pemerintah akan berbelanja berlebihan, berapapun plafon itu, ada atau tidak ada plafon sudah tidak menjadi masalah. 

Tetapi, bahaya dari argumen ini adalah, masyarakat sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa terhadap pemerintah yang terus menghamburkan uang, hanya membiarkan pemerintah berbuat semena-mena, membiarkan para pejabat menciptakan semakin banyak angka defisit, dan mencetak lebih banyak dan lebih banyak lagi uang, membantu proyek daging empuk yang semakin banyak menguntungkan wilayah pemilihan mereka sendiri, serta meninggalkan semakin banyak beban bagi anak cucu generasi penerusnya. Ketika lelucon ini terus bergulir di tengah masyarakat AS, maka AS akan dikikis hingga lemah, dan para musuh AS seperti para pemimpin negara komunis seperti PKT akan merasa teramat senang.

Masyarakat harus memahami, UU plafon hutang AS bukanlah suatu kebodohan, melainkan suatu keharusan, adalah membatasi kekuasaan pemerintah yang terus membesar, adalah menakar pengeluaran berdasarkan pendapatan, yang mutlak diperlukan dalam mengelola keuangan dengan bijaksana; sedangkan menghamburkan uang seenaknya, besar pasak daripada tiang, akan mengikis keuangan Negara AS, justru itulah kebodohan dan aib yang sesungguhnya. (sud/whs)