Epochtimes.id- Himpunan Falun Dafa Indonesia (HFDI) mengirimkan daftar nama-nama pejabat Partai Komunis Tiongkok (PKT) yang bertanggungjawab atas penganiayaan dan genosida terhadap praktisi Falun Dafa di daratan Tiongkok.
Daftar nama-nama pejabat dimaksud tercantum dalam dokumen yang dikirimkan melalui surat pada Rabu (12/7/2023). Surat tersebut ditujukan kepada Menteri Luar Negeri RI Retno L.P Marsudi, Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasona Laoly dan Direktur Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM, Silmy Karim.
Sebelumnya juga pernah mengirim surat serupa tertanggal 10 Desember 2022. Kali ini bersamaan berlangsungnya 24 tahun penindasan yang diluncurkan oleh PKT untuk “membasmi” Falun Dafa sejak 20 Juli 1999. Surat kali ini berisi
sebanyak 19 pejabat PKT yang bertanggung jawab atas penganiayaan genosida HAM terhadap praktisi Falun Dafa di Tiongkok.
Di antara nama-nama pejabat tersebut adalah Tang Yijun selaku sekretaris Kelompok Kepemimpinan Partai dan menteri Kementerian Kehakiman, anggota Komite Urusan Politik dan Hukum (PLAC) Komite Sentral PKT, Liu Zhenyu, mantan wakil menteri kehakiman, anggota Kelompok Kepemimpinan Partai dan Shao Lei Mantan direktur Biro Administrasi Penjara Kementerian Kehakiman.
Untuk diketahui, Falun Dafa juga dikenal sebagai Falun Gong, terdiri dari latihan meditasi dan serangkaian prinsip-prinsip moral prinsip Sejati-Baik-Sabar. Latihan ini menjadi populer di Tiongkok pada 1990-an. pada saat itu sekitar 70 juta hingga 100 juta orang berlatih latihan ini, menurut perkiraan resmi pada saat itu.
Selama kampanye penganiayaan berlangsung di Tiongkok, melakukan latihan Falun Gong di taman umum dan menyebarkan materi tentang latihan menjadi tindakan berbahaya. Mereka yang menolak melepaskan keyakinan mereka telah mengalami penindasan, penahanan sewenang-wenang, hukuman penjara, kerja paksa, penyiksaan, dan tekanan keuangan. Latihan ini juga diserang dengan berbagai fitnahan dan semburan hoaks seperti ajaran sesat.
Ketua Himpunan Falun Dafa Indonesia Gatot Machali dalam suratnya menyerukan agar dijatuhkannya sanksi kepada orang-orang jahat ini dengan menggunakan setiap ketentuan dan semua hukum yang berlaku di Indonesia.
“Setidaknya agar orang-orang ini dikenai sanksi pembatasan visa dan sanksi Global Magnitsky – aset mereka di Indonesia dibekukan, karena kejahatan HAM yang telah mereka lakukan,” tulisnya.
Lebih jauh Gatot berharap dukungan tersebut berguna untuk menghentikan penganiayaan terhadap Falun Dafa yang sudah berlangsung selama 24 tahun. “Dengan demikian diharapkan bisa menyerukan segera diakhirinya penganiayaan terhadap praktisi Falun Dafa di Tiongkok yang masih terus berlangsung hingga kini,” ujarnya.
Menurut Gatot, keterlibatan Indonesia di tengah diamnya sejumlah negara atas penindasan yang sedang berlangsung, nantinya adalah pembenaran terhadap nilai-nilai Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab serta sesuai dengan dasar falsafah bangsa negara Indonesia.
“Partisipasi seperti ini bukan saja akan menunjukkan dukungan sebagai wujud upaya umat manusia dalam rangka menegakkan HAM dunia dan perdamaian abadi, tetapi juga akan memiliki efek positif di banyak bidang lain dalam memfasilitasi perubahan perbaikan HAM di Indonesia,” tegasnya.
Ia juga menyampaikan, puncak dari penganiayaan yang berlangsung adalah perampasan organ tubuh secara hidup-hidup dari puluhan ribu praktisi Falun Dafa. Lebih jauh, Gatot mengingatkan dampak penganiyaan tersebut juga menyebar di seluruh dunia. Pasalnya, banyak pasien penerima organ tubuh berasal dari Asia termasuk Indonesia maupun Barat, dan juga melibatkan banyak kerjasama terkait industri transplantasi Tiongkok.
“Sadar maupun tidak sadar telah melibatkan banyak orang ke dalam kejahatan kemanusiaan ini,” tulisnya.
Fadjar Pratikto dari Global Human Right Effort (GHURE) menyatakan mendukung langkah Himpunan Falun Dafa Indonesia yang mencoba mengirimkan surat kepada sejumlah pejabat negara di Indonesia seperti Menlu, Menhukham dan Dirjen Imigrasi, terkait dengan daftar nama-nama pejabat PKT yang terlibat dan bertanggungjawab atas penganiayaan terhadap Falun Gong di Tiongkok sejak 1999 hingga sekarang.
Menurut Fadjar, pemerintah Indonesia semestinya bisa mengambil sikap terhadap para penjahat kemanusiaan yang telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia terhadap rakyatnya, seperti yang dilakukan sejumlah negara Barat. Sikap itu bisa berupa mem-blacklist mereka yang hendak masuk ke Tanah Air, entah untuk kunjungan kenegaraan atau sekedar perjalanan biasa.
Ia juga optimis jika langkah tersebut diterapkan, maka secara tidak langsung berkontribusi menekan para pelaku kejahatan yang terlibat.
“Dengan cara ini, pemerintah kita bisa memberi pelajaran yang berharga pada para pejabat PKT agar tidak semena-mena melakukan penganiayaan terhadap pengikut Falun Dafa,” ujarnya.
Fadjar mengimbau jangan atas nama menjaga hubungan baik dengan pemerintahan RRT, pemerintahan Indonesia akhirnya mau tunduk begitu saja kepada kepentingan mereka. Apalagi, kata dia, membiarkan para penjahat kemanusiaan ini bebas datang ke Indonesia yang sangat menjunjung tinggi prinsip hak asasi manusia dan perdamaian dunia.
“Kalau pemerintah kita membiarkan begitu saja mereka datang ke negara kita, itu sama artinya kita mendukung penganiayaan itu. Pemerintah kita harus berani bersikap terhadap kejahatan kemanusiaan terbesar abad ini yang dilakukan PKT dan para pejabatnya di Tiongkok,” tegasnya.
Kami sudah menghubungi pihak Kementerian Luar Negeri RI dan Direktorat Jenderal Imigrasi Kemkumham RI. Namun hingga tulisan ini dibuat, belum ada respons. (et)