oleh Li Mei dan Mingyu dari NTDTV
Kudeta militer terjadi di Niger, sebuah negara Afrika Barat. Militer menahan Presiden Mohamed Bazoum pada Rabu (26 Juli). Kemudian mengumumkan pengambilalihan pemerintahan Bazoum, memberlakukan jam malam nasional dan menutup perbatasan. Kudeta tersebut memicu kecaman dari Komunitas Ekonomi Negara-Negara Afrika Barat, Uni Afrika, dan komunitas internasional. Mereka menyerukan pembebasan Bazoum
Sekelompok tentara muncul di televisi pemerintah pada Rabu 26 Juli, beberapa jam setelah Presiden Niger Mohamed Bazoum ditangkap oleh pengawal presiden di istana presiden.
Pasukan Pertahanan dan Keamanan memutuskan untuk mengakhiri pemerintahan Bazoum. Bahkan, mengumumkan penutupan perbatasan negara, pemberlakuan jam malam nasional dan penangguhan semua institusi. Hal demikian disampaikan oleh juru bicara Angkatan Darat dalam sebuah pernyataan.
Sementara itu, Pendukung Presiden Bazum berkumpul di luar Majelis Nasional di ibu kota Niamey, mengutuk tindakan tentara dan menyerukan pembebasan presiden.
Pendukung mengatakan mereka berkumpul untuk membela demokrasi.
Sejak Niger memperoleh kemerdekaan dari Prancis pada tahun 1960, negara ini telah mengalami empat kudeta dan beberapa percobaan kudeta. Masa jabatan lima tahun Bazoum menandai transisi kekuasaan demokratis pertama di negara itu.
Kudeta tersebut menuai kecaman dari Komunitas Ekonomi Negara-Negara Afrika Barat dan Uni Afrika, serta komunitas internasional.
“Saya berbicara dengan Presiden Bazoum pagi ini dan memperjelas bahwa Amerika Serikat berdiri teguh di belakangnya sebagai presiden Niger yang terpilih secara demokratis. Kami menuntut pembebasannya segera. Kami mengutuk setiap upaya untuk merebut kekuasaan dengan paksa ,” kata Menteri Luar Negeri AS Anthony Blinken.
Hal demikian juga disampaikan oleh Sekjen PBB yang mengutuk kudeta militer. “(Sekretaris Jenderal) mengutuk sekeras mungkin setiap upaya untuk merebut kekuasaan dengan paksa dan merusak pemerintahan demokratis, perdamaian dan stabilitas di Nigeria,” kata Juru Bicara Sekjen PBB Stephane Dujarric kepada wartawan.
Belum jelas apa sebenarnya tuntutan militer Niger. (Hui)