EtIndonesia. Aku menikah pada usia 22 tahun dengan seorang pria yang hampir tidak aku kenal karena orangtuaku mengatur seluruh perkawinanku. Aku telah memberinya tiga anak perempuan tetapi dia selalu menginginkan seorang anak laki-laki.
Inilah alasan keluarganya, mertuaku, menumpahkan kekecewaan dan kebencian mereka kepadaku. Aku tidak punya tempat di rumah mertuaku dan diperlakukan seperti pelayan daripada menantu mereka.
Aku menerima nasibku seperti itu dengan ketabahan yang tenang yang melewati masa tersulit. Aku tidak pernah diizinkan makan bersama keluarga di meja makan.
Mereka akan mulai makan ketika aku masih sibuk di dapur dan kemudian aku harus menunggu sampai mereka selesai sebelum giliranku untuk makan. Biasanya, itu hanya sisa-sisa makanan.
Pada suatu malam musim dingin yang dingin, ketika mertua, suami, dan anak perempuanku keluar, aku mendengar ketukan di pintu depan kami. Saat aku mebuka pintu, aku terkejut melihat seorang anak laki-laki kurus di pintu. Dia tampak sangat kurus dan mengenakan pakaian compang-camping, dia menggigil kedinginan.
Bocah kecil itu dengan putus asa memohon agar diizinkan msauk agar bisa terhindar dari hawa dingin, dan dia berkata jika aku tidak hirau, dia pasti tidak bisa selamat dari hawa dingin yang menusuk. Tentu saja, aku tidak bisa menolaknya, dia terlihat sangat lemah, aku merasa perlu untuk melindunginya.
Aku membawanya masuk dan memberinya semangkuk nasi putih. Dia mengucapkan terima kasih atas makanannya. Sangat jelas telihat bahwa dia belum makan apa-apa dalam waktu yang lama.
Dia kemudian memintaku untuk tinggal bersamaku untuk selamanya, tetapi melihat statusku dalam keluarga, suamiku dan keluarganya pasti tidak akan pernah menerima keputusan itu. Selain itu, aku sudah memiliki tiga anak perempuan untuk dirawat, mengadopsi anak ini bukanlah suatu pilihan jadi aku mengatakan kepadanya bahwa itu tidak mungkin.
Namun, aku membiarkannya tinggal di rumah selama beberapa hari lagi, tetapi ketika mertua dan suamiku mengetahui bahwa aku diam-diam menyembunyikan anak itu, mereka langsung mengusirnya dari rumah.
Aku memanggilnya, ‘pangsit’ karena lesung pipinya yang samar di pipinya ketika dia tersenyum. Aku mencari-cari selimut yang sudah tidak dipakai anak gadisku dan memberikannya kepada anak itu. sebelum dia pergai aku juga telah mengemas makanan dengan harapan dia bisa bertahan selama beberapa hari.
Sejak mereka mengusirnya dari rumah, hati kecilku tidak bisa tenang. Aku merasa seolah-olah berdosa membiarkan seorang anak di udara yang dingin tanpa tempat berlindung. Aku hanya bisa berdoa memohon belas kasihan kepada anak itu.
Singkat cerita, dua puluh tahun kemudian, suami dan iparku telah meninggal dan anak perempuanku semuanya telah menikah dan pindah dari rumah untuk tinggal di kota dengan keluarga mereka masing-masing.
Aku tinggal sendirian di rumah yang membuatku sangat sakit selama bertahun-tahun. Seiring waktu tubuhku perlahan semakin memburuk seiring bertambahnya usia.
Setiap hari tampaknya timbul sakit yang baru. Anak-anakku tampaknya telah melupakanku karena sejak mereka pindah, kunjungan mereka menjadi semakin jarang. Aku masih beruntung bisa bertemu mereka setahun sekali pada saat ini.
Terkadang aku berpikir kembali dan bertanya pada diri sendiri apa yang telah aku lakukan sehinga mendapatkan kehidupan seperti ini. Mungkin itu hukuman seumur hidup, siapa tahu.
Saat mengingat kehidupanku yang sangat menyedihkan, aku mendengar bel pintu berdering dan karena aku tidak mengharapkan siapa pun, aku terkejut melihat seorang pemuda jangkung di depan pintu. Dia tersenyum kepadaku dan senyum itu mengingatkan aku pada seorang anak.
Saat memikirkan siapa dia, aku terkejut ketika aku menyadari bahwa pemuda ini adalah ‘pangsit’ anak yang kedinginan yang pernah aku tolong beberapa tahun yang lalu.
Dia bercerita seorang wartawan menemukannya beberapa hari setelah dia datang ke rumahku dan wartawan itu membantunya menemukan orangtuanya. Dia ingin datang untuk mengunjungiku tetapi tidak dapat menemukan rumahku saat itu.
Setelah memberitahunya tentang kondisiku saat ini, dia bangkit dan dengan ekspresi tegas berkata, :“ Bibi, mari tinggal bersama saya dan istri saya. Anda menerima saya ketika saya hampir mati, saya berhutang hidup kepada Anda. Sekarang saanya saya membalas budi dan menjaga Anda. ”
Aku tidak percaya dengan apa yang aku dengar tetapi dia gigih dan tidak akan pergi sampai aku mengatakan ya. Lucu juga bagaimana nasib bekerja dengan cara yang misterius.
Namun demikian, aku berterima kasih atas pengaturan Tuhan dan kini aku tidak akan sendirian lagi.(yn)
Sumber: goodtimes