Perdagangan Bebas Masih Bisakah Menipu Masyarakat?

Wei Jingsheng

Ada berbagai macam teori ekonomi Barat. Salah satunya dinamakan perdagangan bebas. Teorinya adalah selama ekonomi pasar di dalam perdagangan internasional bertransaksi secara bebas, yaitu wajar dalam segala aspek, maka itulah kondisi yang terbaik. 

Prasyarat dari asumsi teori di atas sudah salah: Masyarakat manusia sangat kompleks dan beraneka ragam, sangat jarang terjadi kondisi terbaik — selain tidak ada pasar yang standar, juga tidak ada milyaran orang yang mengacu pada satu standar yang sama. Oleh karena itu kebijakan ekonomi dalam operasional riilnya harus berdasarkan pada realita, dengan kata lain harus menyesuaikan kenyataan.

Namun beberapa dekade lalu pernyataan terkait perdagangan bebas mendadak ramai dibahas. Apakah penyebabnya? Karena upah kerja di negara makmur semakin tinggi saja, keuntungan pemodal mengalami tekanan, sehingga berharap dapat menemukan cara untuk meningkatkan keuntungan. Maka orang-orang mendapati dengan memanfaatkan upah rendah di negara miskin, demi meraih keuntungan besar di pasar negara makmur adalah sebuah solusi yang baik.

Bagaimana memperbesar skala bisnis seperti ini, sehingga membuatnya wajar dan legal? Teori perdagangan bebas sangat sesuai dengan harapan ini, dapat membuat investasi tumbuh pesat. Maka ia dipuja-puji hingga seolah menyundul langit.

Dua pemerintahan di bawah kepemimpinan Deng Xiaoping dan Jiang Zemin telah menangkap peluang itu, dan dengan modal investasi besar Barat dilakukanlah pembodohan itu. Lantas didapatlah perjanjian perdagangan bebas permanen (status Most Favoured Nation atau MFN) dari AS (Amerika Serikat), bahkan diperbolehkan ikut bergabung dalam organisasi perdagangan bebas dunia (WTO). Bersamaan dengan mengizinkan investor besar secara bebas memanfaatkan tenaga kerja Tiongkok yang murah itu, RRT (Republik Rakyat Tiongkok) juga memperoleh transfusi ekonomi dari Barat.

Di saat modal dan teknologi mengalir deras ke pasar RRT yang tidak bebas itu, keuntungan yang berlebihan itu dibagi dua. Para investor meraup keuntungan melimpah-ruah, sekaligus juga memenuhi pundi-pundi para petinggi PKT, betapa hebat Tiongkok. Salah satu akibat di antaranya adalah berkembang pesatnya kekuatan militer dan diplomatik serigala perang PKT yang membuat para tokoh berwawasan dari berbagai negara merasa tidak senang, untuk selanjutnya membuat warga pemilih Barat mulai meragukan: Justru lantaran perdagangan bebas inilah yang telah memiskinkan mereka dan rasa tidak aman, serta mengakibatkan kemerosotan demokrasi seluruh dunia.

Belakangan ini Presiden AS secara terbuka membicarakan kemerosotan demokrasi, perwakilan dagang AS Katherine Tai juga mengatakan kebijakan perdagangan harus realistis, perlindungan tarif masuk harus ada. Opini publik AS akhirnya melihat tingkat keseriusan masalah ini, dan sudah sangat sulit untuk berbalik arah. 

Jadi Xi Jinping berharap kembali mengandalkan Barat memberikan transfusi darah untuk menyelamatkan ekonomi Tiongkok, jalan ini dipastikan buntu. Tanpa merombak politik, tanpa menjamin perekonomian dalam negeri Tiongkok berjalan normal, tidak mungkin bisa menyelamatkan perekonomian mereka.

Sejumlah fenomena belakangan ini cukup untuk menjelaskan betapa pentingnya melakukan reformasi politik di Tiongkok. Kecepatan dan besaran nilai modal yang hengkang ke luar negeri telah mencapai tingkat yang sangat mencengangkan: Tidak hanya modal asing yang hengkang, bahkan modal Tiongkok pun telah dialihkan, perekonomian RRT sedang secara perlahan dikosongkan. 

Padahal alasan dialihkannya modal, terutama adalah semakin besarnya tekanan politik. Misalnya UU anti spionase dan manipulasi politik seperti cabang partai di dalam perusahaan, semakin memperbesar tekanan intervensi politik terhadap perekonomian.

Modal selain yang dikatakan oleh Karl Marx adalah untuk mencari keuntungan, juga sangat mengutamakan lingkungan bisnis yang aman. Pada masa pemerintahan Jiang Zemin, modal asing menikmati perlakuan melebihi warga setempat di Tiongkok, dan keamanan juga mendapat perlakuan Istimewa. Itulah sebabnya karakter para investor mengejar keuntungan bisa dikembangkan, maka modal pun mengalir deras ke Tiongkok. Setelah melewati lingkungan yang relatif longgar di era Jiang Zemin dan Hu Jintao, kondisi lingkungan sekarang membuat banyak orang merasa tidak tahan lagi. Tren eksodus yang diawali sejumlah orang cerdik pun lambat laun menjadi semakin berjalan cepat.

Kondisi bisnis di dalam negeri juga tidak menggembirakan. Secara keseluruhan menunjukkan penyusutan, tidak hanya produksi menyusut, konsumsi juga menyusut. Yakni telah terjadi deflasi seperti yang diistilahkan oleh para akademisi, tak hanya deflasi tapi semuanya ikut menyusut. Fase berikutnya yang terjadi adalah seluruh ekonomi merosot dengan cepat.maka benar-benar terwujudlah seruan kamerad Xi Jinping, “Kita akan menjalani kehidupan mengencangkan ikat pinggang”.

Dikatakan, perdagangan bebas di dalam lingkup suatu negara adalah mutlak, terutama agar bermakna proaktif. Ini adalah kebijakan wajib dalam ekonomi pasar yang sempurna. Tetapi dengan sistem politik yang berbeda, dan antar negara dengan standar ekonomi yang jauh berbeda satu sama lain, akibat yang ditimbulkannya akan menjadi terlalu rumit. Jika tidak bisa menerapkan kebijakan yang idealistis, maka akibatnya akan sulit diprediksi.

Negara-negara Barat sekarang ini telah menyadari tidak realistisnya teori ini. Bila Xi hendak mengandalkan lagi menipu dengan cara ini untuk mendapatkan transfusi darah, dipastikan tidak mungkin terwujud. Lebih baik lakukan saja dengan benar reformasi sistem politik, inilah jalan keluar yang harus dilalui untuk menyelamatkan Tiongkok. (sud/whs)