oleh Huang Yimei
Ketika properti di Tiongkok mengalami kondisi booming, sebagian besar warga membeli rumah dari dana pinjaman perbankan baik untuk ditinggali atau dengan tujuan investasi guna mendapatkan selisih harganya. Namun ketika pasar perumahan sedang lesu seperti saat ini, banyak warga tidak mampu membayar cicilan utangnya kepada bank sehingga masuk dalam daftar bad debt (utang tak tertagih) perbankan. Yang saat ini tercatat berjumlah 8,54 juta orang, dengan total utang rumah tangga melonjak 50% dalam 5 tahun terakhir dan berjumlah sekitar USD.11 triliun. Meningkatnya jumlah orang masuk daftar utang tak tertagih ini telah memperburuk krisis utang Tiongkok, yang tidak hanya tercermin dalam runtuhnya industri real estat Tiongkok dan utang pemerintah daerah, tetapi juga tercermin dalam menurunnya tingkat belanja masyarakat, entah karena “mengerem” atau tidak lagi mampu untuk mengkonsumsi…
Kemunduran industri real estat Tiongkok, beban utang pemerintah daerah yang berat, dan meningkatnya pengangguran telah menyebabkan jumlah gagal bayar utang perorangan Tiongkok melonjak ke titik tertinggi baru sejak wabah COVID-19 merebak.
Menurut data yang tercatat di pengadilan Tiongkok, saat ini secara resmi terdapat 8,54 juta orang warga Tiongkok yang menjadi debitur buruk (bad debtor) karena ketidakmampuan membayar kembali pinjaman mereka.
Para debitur buruk yang masuk daftar hitam ini dilarang menggunakan aplikasi seperti Alipay untuk melakukan pembayaran seluler, dan mereka bahkan tidak bisa membayar uang tol.
Wang Guo-chen, asisten peneliti di China Economic Research Institute, Taiwan berpendapat bahwa ketika perekonomian Tiongkok merosot, pendapatan dan utang masyarakat pasti akan meningkat.
“Selama lockdown epidemi, otoritas Beijing masih memaksa perusahaan melindungi pekerjaan karyawannya, dengan pemberian semacam uang kesejahteraan agar karyawan bisa bertahan hidup. Namun, ketika lockdown diakhiri, banyak perusahaan yang terpaksa tutup, memberlakukan PHK atau menghentikan pemberian uang kesejahteraan karyawan tersebut. Karena itu penghasilan perorangan mengalami penurunan, ini adalah alasan pertama. Alasan kedua adalah, dampak dari lesunya pasar industri real estat Tiongkok, harga perumahan turun, sehingga berdampak langsung terhadap masyarakat, yang kekayaan mereka jadi menurun”.
Mr. Zheng, seorang warga Kota Nanning, Guangxi yang membuka usaha pabrik peralatan listrik mengungkapkan, pendapatan dari usahanya masih mampu menutupi pengeluaran keluarga, bahkan ada kelebihannya yang ia tabung untuk hari tua walau tidak banyak. Di usia 41 tahun, dia merasa bersyukur apa lagi jika situasi demikian bisa terus berlanjut.
“Asal tidak muncul gejolak, masih oke-lah, tetapi begitu muncul permasalahan, kondisi stabil saya sulit dipertahankan. Saya memutuskan untuk membeli asuransi, kemudian saya menutup banyak asuransi untuk diri saya sendiri, sehingga premie tahunan yang harus saya bayar mencapai antara RMB.20.000,- hingga RMB.30.000,-. Mudah-mudahan keluarga masih bisa bertahan hidup bila suatu ketika saya menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan, begitulah yang saya pikir,” kata Mr. Zheng.
Epidemi telah membawa perubahan dahsyat di seluruh Tiongkok. Kebijakan lockdown ketat telah berdampak pada hampir semua kota di daratan Tiongkok. Selama periode itu, pabrik-pabrik ditutup dan penduduk dikarantina dalam rumah. Kebijakan pemasungan yang khas PKT tersebut membuat pemilik usaha kecil dan masyarakat Tiongkok hidup di ambang keputusasaan ekonomi. Mr. Zheng sampai setiap hari harus bingung untuk mencari dana guna membiayai pengeluaran pabriknya
“Karena pengeluaran kami relatif besar, rata-rata RMB.60.000,- lebih setiap bulannya, jadi rata-rata setiap harinya butuh RMB.2.000,- lebih. Jika tidak ada pendapatan RMB.2.000,- , saya harus berusaha mencari jumlah itu dengan cara lain untuk menutupi. Jika pemasukan hari ini hanya RMB.2.000,- itu berarti hari ini saya tidak mendapat satu sen pun. Pernah untuk itu saya mengalami stress dan insomnia selama beberapa waktu, sehingga tidak bisa tidur malam, atau terbangun di tengah malam dan tidak bisa tidur lagi sepanjang malam”, kata Mr. Zheng.
Menurut statistik, terdapat sebanyak 8,3 juta orang bad debtor. Dilaporkan oleh Wall Street Journal bahwa total utang rumah tangga Tiongkok telah melonjak sebesar 50% dalam 5 tahun terakhir dan kini mencapai sekitar USD.11 triliun.
“Karena industri real estat berpengaruh terhadap banyak industri. Jadi jika masalah di industri real estat ini tidak teratasi, maka dampak buruknya juga akan mengenai bidang usaha yang terkait selain yang berada di hulu, seperti industri pabrik baja, semen, bata dan seterusnya, juga yang berada di hilir seperti pabrik-pabrik yang menghasilkan produk dekorasi, pintu dan jendela aluminium dan lain-lain, termasuk lapangan kerja masyarakat,” ujar Wang Guo-chen.
Dengan terus menurunnya harga perumahan di Tiongkok, menjadikan risiko deflasi terus meningkat. Dalam kondisi di mana tingkat pengangguran meningkat tajam, otoritas komunis Tiongkok masih saja mendesak masyarakat untuk meningkatkan konsumsi. Kementerian Perdagangan dan unit-unit afiliasinya mengeluarkan surat edaran yang diberi judul “Gerakan Mendorong Pembaharuan Barang-Barang Konsumtif”, yang mengharuskan pemerintah daerah untuk mendesak penduduk untuk menukarkan peralatan lama dengan yang baru. Ada dugaan bahwa otoritas sedang mencoba menggunakan cara-cara koersif untuk memperbaiki situasi di mana masyarakat Tiongkok takut untuk mengkonsumsi.
“Jika masalah utang perorangan tidak diselesaikan, pertama, situasi industri real estat akan semakin buruk, karena masyarakat tidak punya uang untuk membeli rumah. Kedua, utang penduduk yang meningkat, tentu saja akan membuat daya konsumsi masyarakat menyusut. Oleh karena itu, gerakan yang mendorong konsumsi itu sulit bisa menemui hasil. Karena masyarakat memang tidak punya uang. Terlepas dari kontraksi yang terjadi di industri real estat atau di bidang konsumsi, pada akhirnya akan berdampak pada penurunan pendapatan perusahaan. Sehingga jika seluruh lingkaran setan ini terus bergulir, perekonomian Tiongkok tentu tidak akan optimis,” ujar Wang Guo-chen .
Data resmi terakhir menunjukkan, bahwa pada kuartal pertama tahun ini ada sekitar 460.000 perusahaan Tiongkok yang bergerak di bidang makanan dan minuman telah membatalkan izin atau menghentikan operasinya. Angka tersebut meningkat 232,6% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Banyak perusahaan katering ternama, mapan dan terkemuka juga menutup usahanya. Pada saat yang sama, untuk menghemat uang, semakin banyak konsumen yang beralih untuk mengkonsumsi makanan yang dijuluki “paket sesajen.” (sin)