Zhang Tianliang
Pada tahun 335 SM, Kaisar Alexander the Great yang berusia 21 tahun telah menyatukan seluruh Yunani. Dia tiba di Athena, ini adalah tempat guru sepuhnya Aristoteles pernah berdiam. Disini terdapat Akropolis Athena yang agung, Kuil Parthenon yang megah, juga telah melahirkan para arif bijaksana seperti Sokrates dan Pythagoras, ia merupakan tempat yang selalu diidamkan oleh Alexander, yang berwajah tampan, berkarisma, setiap orang yang melihatnya akan membungkuk memberikan hormat.
Pada suatu hari Alexander keliling di jalanan kota Athena, ia melihat seseorang yang mengenakan pakaian compang camping sedang duduk bersandar pada sebuah tong kayu, dengan satu tangan menopang di atas tanah. Ia berjenggot putih, wajahnya penuh debu, mirip seorang pengemis. Alexander berjalan di depannya, orang itu tetap saja duduk, tanpa mempedulikannya. Alexander bertanya dengan sopan, “Adakah yang bisa aku lakukan untukmu?” Orang yang seperti pengemis itu mengangkat tangan kanannya, mengayunkan tangannya seolah hendak mendorong Alexander pergi dan berkata, “Bisa. Menyingkirlah sedikit, kau menghalangi cahaya matahariku.”
Orang-orang di sekitarnya menertawakan pengemis yang hina dan tidak tahu diri itu, tidakkah ia sadari bahwa manusia laiknya dewa perang yang berdiri di hadapannya itu, adalah Kaisar Alexander the Great yang ditakdirkan memimpin pasukannya menyapu seluruh dataran Eropa, dan menaklukkan Persia sampai ke ujung dunia? Namun Alexander justru terdiam. Ia membalikkan badan, setelah merenung beberapa saat ia berkata, “Seandainya aku bukan Alexander, aku pasti menjadi Diogenes.”
Diogenes adalah nama dari pengemis tersebut. Dia adalah murid Socrates, juga merupakan sang pendiri aliran sinisme dari Yunani kuno. Ia bersandar pada sebuah tong kayu besar, itulah tempat tinggalnya setiap hari. Aliran ajarannya itu disebut “sinisme”, karena ia memprakarsai untuk “hidup seperti seekor anjing”. Aliran ini telah disalah-tafsirkan oleh orang-orang pada zaman itu, banyak kaum intelek yang menyebut dirinya sinisme, tapi sebenarnya mereka hidup ibarat “anjing penjilat”. Perkataan Alexander walaupun sederhana namun bermakna mendalam, yaitu “Apabila aku tidak mampu menaklukkan dunia, maka aku akan hidup seperti Diogenes, tak akan membiarkan orang lain menaklukkanku.”
Mentalitas Diogenes itu sangat mudah dijelaskan dengan perkataan filsuf Tiongkok kuno yakni Mengzi (Mensius, red.), yaitu “Ketika Anda kaya, mampu menahan diri dan tidak menjadi bobrok; ketika Anda miskin, jangan mengubah tekad Anda; ketika dibawah kekuasaan, Anda tidak mau ditaklukkan”. Dan kenapa ia bisa melakukannya, karena ia telah mampu meninggalkan segala nafsu keinginan, rumah mewah, makanan lezat berikut segala pakaian mahal maupun pujian dan ketenaran, semua itu baginya tidak berarti sama sekali. Ketika seseorang tersesat di dalam keinginan materi, maka akan kehilangan kesejatiannya. Filosofi Diogenes dalam hal ini sepertinya juga memiliki kemiripan dengan ajaran Laozi (Lao Tzu, red.) yang berprinsip tinggalkan segala cerdik-cendekia, hiduplah dengan sederhana, kurangi pikiran dan hawa nafsu. Pada taraf itulah manusia baru dapat kembali menuju kesejatian diri sendiri.
Di mata penganut Tao maupun Diogenes, di dunia ini tidak banyak orang yang hidup dengan sebenar-benarnya, karena semuanya telah terbungkus oleh nafsu keinginan. Diogenes pernah berjalan di kota sambil membawa lentera, dan berkata, “Aku sedang mencari seseorang yang benar-benar jujur.” Orang lain menertawakan dirinya telah gila, sebaliknya dia menertawakan kemunafikan orang-orang tersebut.
Jadi kisah ini adalah untuk menjelaskan bahwa setiap orang di dunia ini memiliki keinginan. Ada yang mengejar kemewahan semu di dunia fana ini, dan ada pula yang mengejar ketenangan di luar duniawi. Di dalam agama Buddha banyak bhikkhu agung terkemuka yang semula adalah pangeran atau perdana menteri, seperti Sakyamuni sebelum menjadi Buddha adalah seorang putra mahkota dari Kerajaan Kapilavastu di India; Bodhidharma, guru besar Zen, adalah pangeran dari sebuah kerajaan di India tepatnya “Asia Tengah Persia”; Bhikkhu An Shigao adalah putra mahkota dari Kerajaan Arsak (Persia kuno), Bhikkhu Kumārajīva adalah putra dari perdana menteri Kerajaan Kucha, mereka semua telah meninggalkan kemewahan duniawi dan mencari pembebasan yang tenang.
Alexander adalah orang cerdas, walaupun ia tidak mampu meninggalkan kejayaan dan ketenaran, tetapi ia bisa memahami taraf yang dicapai Diogenes. Namun mayoritas manusia zaman sekarang, tingkatan Alexander saja tidak bisa dicapainya. Mereka tidak memahami “cita-cita agung” Xu You (seorang manusia setengah dewa dari zaman Tiongkok kuno, red.), dan mengapa setelah mendengar Raja Yao hendak menyerahkan tahtanya kepadanya, ia segera pergi ke sungai untuk mencuci telinganya.
Banyak orang mengatakan bila di kemudian hari Falun Gong berkuasa, maka akan begini begitu. Perlu diketahui, Falun Gong adalah kultivasi aliran Buddha, yang hendak dicapai para kultivator bukan kekayaan dan kemakmuran duniawi, melainkan kebahagiaan abadi dan kebijaksanaan di daratan seberang (surga). Itulah sebabnya walau PKT (Partai Komunis Tiongkok) membunuh dan menyiksa, serta menggoda dengan segala ketenaran dan keuntungan (3-ta: harta, tahta, cinta, Red.), tidak akan pernah bisa menjatuhkan kelompok kultivasi ini, karena cara yang dipakai PKT adalah cara duniawi, sedangkan taraf yang hendak dicapai oleh para kultivator Falun Gong adalah melampaui keduniawian.
Dari sisi lain, praktisi Falun Gong selain harus mematut diri sesuai dengan ajaran Master Li Hongzhi untuk menjadi orang yang bertanggung jawab bagi masyarakat, juga memenuhi kewajiban sebagai seorang warga negara yang baik. Dalam bekerja di perusahaan, dalam kehidupan keluarga, dalam hubungan dengan masyarakat, dan di sekolah, harus selalu serius mengemban tanggung jawab masing-masing, dan memainkan perannya masing-masing dengan baik. Di tengah masyarakat ada berbagai pekerjaan yang berbeda, selama pekerjaan tersebut tidak melanggar hukum dan melanggar moralitas, semuanya boleh dilakukan oleh praktisi Falun Gong, bahkan harus dilakukan sebaik mungkin, ini juga merupakan tuntutan dalam prinsip ajaran Falun Gong. Tetapi hati mereka tidak terikat pada pekerjaan atau peran keduniawian tersebut.
Dengan hati di luar keduniawian, melakukan hal keduniawian dengan baik, ini adalah proses kultivasi yang ekstrem sulit, juga bukan sesuatu yang dapat dipahami oleh orang yang belum pernah mempelajari literatur Falun Gong dan mempraktikkannya sendiri. Tetapi setidaknya secara permukaan dan dari makna harfiah literatur tersebut, pembaca semestinya telah memahaminya, praktisi Falun Gong juga harus belajar, harus bekerja, harus membina rumah tangga, namun semua kehidupan keduniawian ini bukan sebagai tujuan, melainkan kesadaran diri praktisi Falun Gong dan membantu menyadarkan orang lain yang berjodoh. Kehidupan seperti ini adalah bagaikan mengikuti air mengalir pencari takdir pertemuan, kaya atau miskin, mengalami kejadian baik ataupun buruk, semuanya dihadapi dengan hati yang tenang, dan bisa menjadi diri sendiri di segala lingkungan, bersikap ramah kepada semua orang, inilah tuntutan terhadap seorang kultivator Falun Gong. (sud)