Prancis dan Amerika Serikat Berdiri Berdampingan, Upaya Beijing Memecah Belah Gagal

Yang Wei 

Usai berpartisipasi dalam peringatan 80 tahun pendaratan di Normandia (D-Day), Presiden AS, Joe Biden segera memulai kunjungan resminya di Prancis. Presiden Prancis, Emmanuel Macron mengatakan pada konferensi pers bahwa Prancis dan Amerika Serikat adalah “aliansi” yang “berdarah-darah”. Kedua belah pihak mempunyai posisi yang sama dalam isu-isu utama internasional. 

Mengenai kelebihan kapasitas produksi PKT (Partai Komunis Tiongkok), Macron mengatakan bahwa “tindakan terkoordinasi harus diambil”. Pada awal Mei lalu, pemimpin PKT mengunjungi Prancis dalam upaya mencari terobosan dalam memecah aliansi Eropa dan Amerika. Namun, Prancis dan Amerika Serikat tetap berdampingan, dan upaya PKT itu gagal.

Prancis dan Amerika Serikat adalah “Aliansi” yang “Teraliri dengan Darah”

Pada 8 Juni, Biden dan Macron menghadiri konferensi pers bersama setelah pembicaraan mereka. Macron menyatakan, partisipasi Biden dalam peringatan 80 tahun D-Day dan kunjungannya ke Prancis “menunjukkan kekuatan aliansi mereka dan hubungan antara Amerika Serikat dan Prancis”, sebuah aliansi yang “berdarah-darah demi kebebasan dan kemerdekaan kedua negara”.

Delapan puluh tahun yang lalu, pada 6 Juni 1944, pasukan Sekutu yang dipimpin oleh Amerika Serikat mendarat di Normandia, Prancis, dan memulai serangan balik besar-besaran. Sekutu membantu Prancis terlepas dari kendali Nazi.

Pada 10 Mei 1940, Nazi Jerman melancarkan serangan kilat mengagresi Prancis. Pasukan Inggris, Prancis, dan Belgia terpaksa dengan segera mundur ke Dunkirk dan kemudian ke Inggris. Lebih dari sebulan kemudian, pada 14 Juni, tentara Jerman menduduki Paris, ibu kota Prancis, tanpa perlawanan, dan Prancis kemudian menyerah. Empat tahun kemudian, pada Juni 1944, serangan balasan Sekutu berhasil membebaskan Prancis.

Prancis tidak dapat mengusir Nazi Jerman sendirian, dan pasukan Sekutu yang dipimpin oleh Amerikalah yang mengalahkan Nazi. Sejumlah besar tentara Amerika mengorbankan nyawa mereka untuk memperjuangkan pembebasan Prancis. Prancis dan Amerika memang merupakan “aliansi” yang “berdarah-darah”.

Biden menjawab, “Prancis adalah teman pertama kami dan tetap menjadi salah satu teman terbaik kami.” Ia menambahkan, “Kami sekali lagi menunjukkan kepada dunia tentang kekuatan sekutu dan apa yang bisa kami capai jika kami bersatu. Ini adalah bukti contoh hubungan antara Prancis dan Amerika Serikat.”

Pada 1775, Amerika Serikat mulai berperang melawan penjajah Inggris dalam Perang Kemerdekaan dan mendapat dukungan dari Prancis, yang menyediakan dana, perbekalan, dan pasukan ke Amerika Serikat. Inggris akhirnya dikalahkan dan menandatangani “Perjanjian Paris” dengan Amerika Serikat pada 1783, yang mengakui kemerdekaan Amerika.

Perang Kemerdekaan Amerika juga mempunyai dampak yang lebih besar terhadap Prancis. Pada 1792, Revolusi Prancis pecah, sistem monarki digulingkan, dan sistem demokrasi didirikan.

Pada 1865, Prancis mengusulkan agar Prancis dan Amerika Serikat bersama-sama membangun Patung Liberty untuk memperingati 100 tahun kemerdekaan AS. Bagian utama Patung Liberty dibuat di Prancis dan resmi selesai dibangun di New York, AS pada 1886. Patung ini menjadi salah satu tempat wisata terpopuler di dunia.

“Hubungan kedua negara kami kuat, luas, dan berakar pada elemen terpenting: nilai-nilai bersama,” kata Biden pada konferensi pers. “Kita (AS) bisa menjadi sebuah bangsa, sebagian besar karena (jasa) Prancis,” katanya. “Hari ini, saya bangga berdiri bersama Prancis dalam mendukung kebebasan dan demokrasi di seluruh dunia.”

Prancis dan Amerika Serikat telah memengaruhi dan mendukung satu sama lain dalam proses kemerdekaan dan demokrasi masing-masing. Aliansi di antara kedua negara memiliki asal usul sejarah. Pada dasarnya sulit bagi PKT untuk memecah aliansi ini. Dukungan Partai Komunis Tiongkok terhadap invasi Rusia ke Ukraina sama saja dengan semakin memperkuat aliansi Prancis-Amerika.

Prancis Menganggap Krisis Ukraina sebagai Prioritas Utama

Macron menyatakan pada konferensi pers bahwa ia dan Biden pertama-tama membahas masalah utama Ukraina. “Kami bereaksi secara kolektif untuk memberikan dukungan kepada negara Eropa yang berjuang untuk kelangsungan hidup dan kebebasan,” katanya.

Macron juga sekali lagi berterima kasih kepada Amerika Serikat atas komitmennya untuk berdiri di sisi Eropa dan memainkan peran penting terutama dalam konflik ini karena keamanan dan stabilitas di Eropa sedang dipertaruhkan.

Delapan puluh tahun setelah pendaratan di Normandia, perang kembali terjadi di Eropa. Perang Rusia-Ukraina yang telah berlangsung selama lebih dari dua tahun itu memberikan ancaman besar bagi negara-negara Eropa, termasuk Prancis. Setelah Perang Dunia II dan Perang Dingin, Prancis dan Eropa sekali lagi sangat membutuhkan Amerika Serikat demi mempertahankan keamanan Eropa.

Dukungan Partai Komunis Tiongkok terhadap Rusia yang menggerakan perang sebenarnya adalah pedang bermata dua. Bantuan Amerika Serikat dan negara-negara NATO kepada Ukraina memang sangat menguras tenaga, namun hal ini juga langsung menghidupkan kembali NATO dan posisi kepemimpinan Amerika Serikat di NATO menonjol. Saat ini, PKT masih ingin memecah belah Eropa dan Amerika Serikat, maupun Prancis beserta Amerika Serikat, dan realitanya tingkat kesulitannya justru semakin besar.

Macron berkata, “Saya percaya bahwa kami memiliki pandangan yang sama mengenai perang yang terjadi di Ukraina saat ini. Kami telah membuat banyak keputusan bersama.” Ia juga mengatakan, “Bagaimanapun, mengenai masalah Ukraina, pandangan kami sama, yaitu menghormati hukum internasional, menghormati kebebasan masyarakat untuk menentukan nasib sendiri, menghormati hak dasar negara kami masing-masing. Sekali lagi, terima kasih telah mendukung Eropa.”

Biden juga memuji Prancis dan sekutu-sekutunya di Eropa, dengan mengatakan: “Uni Eropa telah memberikan bantuan lebih dari 107 miliar USD (1.744 triliun rupiah) kepada Ukraina sejak perang dimulai karena ini bukan hanya masalah Ukraina. Seluruh Eropa akan terancam, tetapi kami tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Amerika Serikat mendukung Ukraina dengan teguh. Kami mendukung sekutu kami. Kami mendukung Prancis.”

Pernyataan tegas Macron dan Biden itu seharusnya membuat Zhongnanhai (markas petinggi Partai Komunis Tiongkok) frustrasi, dan pesanan pesawat dalam jumlah besar gagal mengguncang hubungan Prancis-AS. Ketika pemimpin Partai Komunis Tiongkok mengunjungi Prancis, ia harus membuat janji lisan yang tidak jelas untuk tidak memberikan bantuan militer kepada Rusia di depan Presiden Prancis Macron. Selanjutnya, Presiden Rusia, Vladimir Putin mengunjungi Tiongkok. PKT mungkin tidak membuat komitmen apa pun untuk memberikan bantuan lebih lanjut, dan hal itu membuat wajah Putin mengernyit. Segera, proyek pipa gas alam Tiongkok-Rusia menjadi tersendat, dan sulit mencapai kesepakatan mengenai harga dan volume pengiriman.

PKT selain ingin terus mendukung Rusia dalam membendung Amerika Serikat dan NATO, namun PKT juga takut membuat marah Prancis dan Eropa, serta telah terjebak dalam dilema. Jika Partai Komunis Tiongkok terus bermain keras dengan Amerika Serikat dan NATO dalam perang Rusia-Ukraina, Partai Komunis Tiongkok justru akan melemahkan dirinya sendiri.

Prancis dan Amerika Serikat Mengoordinasikan Tindakan Melawan PKT

Macron berkata, “Di bidang ekonomi, kita semua prihatin dengan praktik perdagangan Tiongkok yang tidak adil, yang menyebabkan kelebihan kapasitas. Hal ini sangat penting bagi perekonomian global sehingga kita harus mengambil tindakan yang terkoordinasi.”

Selama kunjungannya ke Prancis, pemimpin Partai Komunis Tiongkok, Xi Jinping mengadakan pembicaraan tiga arah dengan Presiden Prancis Macron dan Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen. Partai Komunis Tiongkok menolak mengakui “kelebihan kapasitas” dan dumping, dan terus berkilah tentang subsidi pemerintah yang besar. Tentu saja hal ini tidak dapat menyelesaikan masalah. Prancis telah menegaskan bahwa mereka akan mengoordinasikan tindakan melawan PKT dengan sekutunya seperti Amerika Serikat.

PKT mencoba menggunakan Prancis sebagai titik terobosan untuk memecah belah hubungan Eropa dan Amerika. Sikap Prancis menandai kegagalan resmi upaya PKT. Prancis dan Uni Eropa diperkirakan akan mengikuti jejak Amerika Serikat. Dunia luar sedang mendiskusikan perang dagang Uni Eropa-Tiongkok, dan masalah-masalah baru bagi Partai Komunis Tiongkok telah dibahas.

Presiden AS, Joe Biden juga menekankan: “Di seluruh dunia, Prancis dan Amerika Serikat bekerja sama untuk memperkuat keamanan dan berbagi kesejahteraan di kawasan Indo-Pasifik, kami bersama-sama mendukung kebebasan navigasi, pemerintahan yang transparan, dan praktik ekonomi yang adil.”

Macron juga mengatakan bahwa “koordinasi erat antara Amerika Serikat dan Prancis meluas ke bidang krisis lainnya”; mereka bertindak dengan prinsip dan tekad yang sama.

Macron juga mengatakan, “Sehubungan dengan Iran, kami melakukan pengamatan yang sama mengenai strategi eskalasi yang komprehensif, apakah itu serangan yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap Israel, upaya destabilisasi regional, atau program nuklir Iran. Kedua negara kami bertekad untuk menerapkan tekanan yang diperlukan, untuk mengekang tren ini.”

Kata-kata ini juga membuat Zhongnanhai tidak nyaman. “Diplomasi negara besar” yang dilakukan oleh pemimpin Partai Komunis Tiongkok telah berulang kali gagal, dan layaknya sekutu semu seperti Rusia dan Iran, mereka semakin terisolasi. Sidang Pleno Ketiga Komite Sentral PKT semakin dekat, dan berbagai macam sandiwara diplomatik silih berganti terlihat belangnya. Bagaimana PKT akan menjelaskan dirinya sendiri secara internal juga merupakan masalah besar lainnya.

Hubungan Ekonomi antara Prancis dan Amerika Serikat Sulit Digantikan oleh Partai Komunis Tiongkok

Macron menghormati pentingnya investasi Amerika di Prancis, menurutnya, “Kami menyambut mahasiswa Amerika, peneliti Amerika, pengusaha Amerika, dan kami berharap akan ada lebih banyak lagi orang-orang seperti mereka.” Dia juga berharap kedua belah pihak akan bekerja sama dalam bidang energi nuklir sipil dan kerja sama di ruang angkasa dapat “melangkah lebih jauh”.

Investasi Amerika dan teknologi tinggi juga penting bagi perekonomian Prancis. Tentu saja Prancis juga membutuhkan pasar AS. Macron berkata, “Saya juga dengan bangga mengatakan bahwa TGV (kereta berkecepatan tinggi) Amerika pertama yang dibangun oleh Alstom akan mulai dioperasikan di Amerika Serikat pada akhir tahun ini.”

Partai Komunis Tiongkok telah membeli teknologi kereta api berkecepatan tinggi dari banyak perusahaan, dan Alstom dari Prancis adalah salah satunya. Setelah Partai Komunis Tiongkok mempelajari teknologi kereta api berkecepatan tinggi, mereka berpartisipasi dalam penawaran internasional dengan harga rendah, namun saat ini tidak dapat memasuki pasar Eropa dan Amerika. PKT telah memperoleh proyek pembangunan kereta api berkecepatan tinggi di negara lain, seperti Indonesia, yang pada dasarnya dibiayai oleh PKT.

Macron memuji Biden sebagai “presiden dari kekuatan terkemuka di dunia” dan “seorang mitra yang mencintai dan menghormati orang Eropa.”; dalam isu-isu internasional utama serta hubungan bilateral, “Kami ingin mengambil tindakan bersama dengan Presiden Biden dan bergerak maju sepanjang peta jalan bersama, yaitu keyakinan terhadap kemajuan, keyakinan terhadap investasi, keyakinan pemulihan dan inovasi, keinginan Amerika dan Eropa bekerja sama untuk menciptakan lapangan kerja bagi para pekerja kami,” ujar Macron.

Prancis tidak hanya membutuhkan komitmen keamanan dari Amerika Serikat, namun juga berharap dapat memperluas kerja sama ekonomi dengan negara-negara besar. Amerika Serikat telah menaikkan tarif terhadap PKT. PKT hanya ingin membuang lebih banyak produk ke Prancis dan Eropa. Namun, hal ini hanya akan mengancam perusahaan-perusahaan Eropa dan kemungkinan besar tidak akan mendorong kemakmuran ekonomi dan lapangan kerja di Prancis dan Eropa.

Setelah Amerika Serikat mengesahkan “Undang-Undang Pengurangan Inflasi”, Partai Komunis Tiongkok mencoba memprovokasi mereka dengan menyatakan bahwa undang-undang tersebut akan memengaruhi perkembangan ekonomi Eropa dan memicu konflik antara Eropa dan Amerika Serikat. Namun, Macron mengatakan pada konferensi pers: “Undang-undang ini berguna; harapan kami yang sebenarnya adalah dapat mencapai tujuan yang sama dengan perekonomian AS dan Eropa dalam hal regulasi, tingkat investasi, dan bidang-bidang utama seperti teknologi ramah lingkungan, kecerdasan buatan, dan pertanian.”

Biden berkata, “Setiap hari, masyarakat Prancis dan Amerika Serikat terhubung melalui banyak cara lewat hubungan ekonomi, kerja sama ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pertukaran pendidikan.”

Prancis dan Amerika Serikat seharusnya mencapai pemahaman bersama mengenai “Undang-Undang Pengurangan Inflasi”, hal ini juga merupakan hal yang tidak ingin dilihat oleh Partai Komunis Tiongkok.

Sekutu Amerika Bukan Hanya Prancis

Pada 6 Juni, Kepala Negara Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Kanada, dan Australia bersama-sama berpartisipasi dalam peringatan 80 tahun pendaratan di Normandia (D-Day). Tentara dari lima negara ini pernah menjadi kekuatan utama pasukan Sekutu di pendaratan Normandia, dan mereka semua turut serta dalam “persekutuan berdarah”.

Media Partai Komunis Tiongkok tetap bungkam mengenai hal ini. Selama Perang Dunia II, Amerika Serikat, Republik Tiongkok, Inggris, Australia, dan Selandia Baru merupakan “aliansi” yang “berdarah-darah” di Pasifik; pasukan Sekutu yang dipimpin oleh Amerika membantu Tiongkok memenangkan perang melawan Jepang. Namun, PKT kemudian melancarkan perang saudara dengan Kuomintang dan merebut kekuasaan dengan kekerasan. Republik Tiongkok yang didirikan Kuomintang, yang telah bekerja sama penuh dengan Amerika Serikat, berhasil dikalahkan PKT dan mundur ke Taiwan hingga saat ini.

Pada 1949, rezim komunis Tiongkok menolak perdamaian dengan Amerika Serikat dan dalam bidang diplomatik beralih ke Uni Soviet. Pada 1950, mereka menjadi pion Uni Soviet melancarkan perang proksi di Semenanjung Korea melawan Pasukan Amerika Serikat dan PBB. Rezim komunis Tiongkok terisolasi dalam waktu yang lama. Pada 1972, Amerika Serikat memanfaatkan antagonisme antara Tiongkok dan Uni Soviet dan berhasil membuat PKT membelot dari dalam kubu komunis. 

Pada era Deng Xiaoping, Partai Komunis Tiongkok melihat negara-negara yang bekerja sama dengan Amerika Serikat semakin kaya, maka mereka pun berpura-pura bekerja sama dengan Amerika Serikat. Setelah memperoleh manfaat besar dari globalisasi, mereka mengira telah tumbuh menjadi besar dan kuat serta mulai menantang Amerika Serikat.

Saat ini, Tiongkok dan Amerika Serikat kembali menuju konfrontasi habis-habisan. PKT mengincar Taiwan, mendukung invasi Rusia ke Ukraina, serta mendorong Iran dan Korea Utara untuk menimbulkan masalah. PKT menganggap Amerika Serikat dan sekutunya sebagai musuhnya. Mereka tahu bahwa mereka tidak dapat mengubah hubungan segitiga besi antara Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan, dan tidak memiliki cara untuk menghadapi mekanisme segiempat Amerika Serikat, Jepang, India, dan Australia. Mereka tidak punya pilihan selain menabur perselisihan antara Eropa dan Amerika Serikat dan mencoba memilih Prancis sebagai titik terobosan. Namun, aliansi Prancis-Amerika tidak tergoyahkan. PKT telah salah kalkulasi.

Baru-baru ini, PKT juga berupaya untuk terus berperan di Timur Tengah, namun sekali lagi telah menyinggung perasaan Iran. Pada 2024, urusan dalam dan luar negeri Partai Komunis Tiongkok akan terus menurun, dan kegagalannya akan menjadi semakin nyata. Dengan upaya bersama dari semua pihak, baik di dalam maupun di luar Tiongkok, mungkin hanya butuh waktu sekejap untuk merobohkan “tembok merah”.(OSC/whs)