Bicara Tradisi dalam Tahun Baru Tiongkok

The Epoch Times

Tahun baru Tiongkok, baru saja berlalu, saat itu warga etnis Tionghoa di seluruh dunia memasang lampion dan hiasan, di tengah tawa dan suasana riang gembira saling mengucapkan “selamat tahun baru” kepada kerabat dan teman. 

Di berbagai tempat diadakan perayaan yang megah, menyalakan petasan, menempel bait puisi di daun pintu, menikmati keindahan lampion, berziarah ke tempat ibadah dan lain sebagainya, untuk secara bersama merayakan awal dari suatu tahun yang baru.

Berbagai kegiatan akbar, memperlihatkan kecintaan dan penghormatan masyarakat terhadap tradisi Tionghoa yang berusia ribuan tahun itu, yang merupakan sabuk penghubung bagi etnis Tionghoa di RRT (Republik Rakyat Tiongkok) maupun di luar Tiongkok, serta merupakan hamparan spiritual dalam misi kehidupan setiap etnis Tionghoa, sekaligus merupakan pondasi peradaban yang kuat bagi kemakmuran bangsa.

 Festival ini pernah mendatangkan kejayaan bagi warga Tiongkok, namun juga telah mengalami berkali-kali bencana di bawah pemerintahan Partai Komunis Tiongkok (PKT), yang mengakibatkan banyak sekali kekacauan dan kesalahpahaman, misalnya tahun baru Tiongkok disebut sebagai Tahun Baru Imlek, atau Tahun Baru Lunar, atau Festival Musim Semi, dan lain-lain. 

Media massa PKT pun mempropagandakannya secara besar-besaran, hal ini jelas telah berdampak bagi banyak etnis Tionghoa di luar negeri, guna pelurusannya kembali, disini ada baiknya ditelusuri dari hilirnya.

Tahun Baru Tiongkok, Bukan Tahun Baru Imlek, atau Tahun Baru Lunar

Tahun Baru Tiongkok adalah berdasarkan pada perhitungan almanak tradisional Tiongkok, orang-orang sekarang ada yang menyebutnya kalender Imlek, atau kalender bulan (lunar), ini adalah cara PKT yang dengan sengaja merendahkan kebudayaan tradisional Tionghoa, sebenarnya sebutan yang sesungguhnya adalah Tahun Baru Tiongkok.

Kebudayaan Tiongkok adalah budaya keilahian, adalah kebudayaan setengah dewa. Tiongkok adalah salah satu negara di dunia yang paling awal menetapkan sistem penanggalannya, pada masa Tiga Maharaja dan Lima Kaisar (± 2872 SM – 2070 SM), Tiongkok telah memiliki pengamatan serta kalkulasi yang akurat terhadap siklus matahari, bulan, dan bintang serta empat musim yang terkait.

Masyarakat Tiongkok kuno sangat mengutamakan keseimbangan unsur Yin dan Yang, maka dalam proses menetapkan sistem penanggalan atau almanak, selain mempertimbangkan siklus terang-gelap bulan, juga memperhatikan siklus perputaran bumi mengitari matahari. 

Oleh sebab itu, sistem penanggalan tradisional Tiongkok bukan hanya menggunakan “kalender bulan” atau hanya “kalender matahari” saja, melainkan juga secara ilmiah dan cermat menggabungkan kalender bulan (Yin) dan matahari (Yang), atau dikenal dengan istilah kalender lunisolar. Tahun baru Tiongkok bertepatan dengan sebelum dan sesudah Lichun (di Jepang: risshun, di Korea: ipchun, red.), yakni berawalnya musim semi, dan menyambut tibanya tahun baru. Selain itu, masyarakat Tiongkok kuno telah menetapkan dua puluh empat Jieqi (baca: cie chi, red.) atau posisi relatif antara bumi dan matahari, yang berfungsi sebagai panduan bermanfaat bagi masyarakat manusia dalam hal spiritual, manajemen, kesehatan, panen pertanian dan lain sebagainya, ia merupakan penanggalan yang paling sempurna dalam penggunaan bersama yang merefleksikan perubahan momentum langit dan kalender geografis.

Secara keseluruhan, sistem penanggalan Tiongkok selain dikalkulasi dengan akurat, juga memberikan interpretasi yang paling tepat dalam hal hubungan antara manusia dengan alam, sekaligus telah mencerminkan pemikiran Yin-Yang dan Lima Elemen, yang mengandung hukum sirkulasi alami, serta merupakan sistem penanggalan perpaduan antara langit dan manusia, yang sesungguhnya. 

Di balik penanggalan Tiongkok terdapat budaya keilahian dari aliran Tao serta nilai universal masyarakat tradisional Tiongkok yang menghormati Tuhan dan para dewata serta menaati prinsip langit.

Dalam sejarah Tiongkok, kaisar dari setiap dinasti adalah teladan dalam hal menghormati langit, pada ritual penobatan atau peristiwa besar, ketika terjadi bencana dan lain sebagainya, ia akan mengubah gelar regnal (atau nian hao, nama era, red.), sehingga di dalam sistem penanggalan ditambahkan pula ‘nian hao’, misalnya seperti era “Zhenguan”, era “Yongle”, era “Kangxi” dan lain sebagainya, oleh karenanya penanggalan tradisional Tiongkok disebut juga “penanggalan kaisar” atau “Huang Li”. Oleh karena pencipta pertama sistem kalender ini adalah Kaisar Huang-di (disebut juga Kaisar Kuning, red.), maka kalender ini disebut juga “Huang Li”.

Setelah PKT merebut kekuasaan (pada 1949), untuk memutus tali penghubung spiritual antara manusia dengan Langit, maka seluruh kebudayaan tradisional pun dikritisi bahkan dihancurkan, sistem penanggalan “Huang Li” telah dihapus, dan diubah menjadi sistem penanggalan “Imlek”. Ini merupakan penyangkalan terhadap sistem penanggalan “gabungan Yin dan Yang” atau sistem lunisolar yang ada, dengan tujuan merusak dan menghancurkan konsep keseimbangan unsur Yin dan Yang dalam kebudayaan tradisional Tiongkok.

PKT bahkan tidak berhenti sampai disitu saja, karena dalam istilah “imlek” tetap mengandung unsur “Yin” (im = Yin, red.) dari aliran Tao, dan masih mengandung makna kultivasi, oleh sebab itu untuk menghapus budaya keilahian, PKT kembali menggunakan kedok menghancurkan “Empat Hal Lama (adat lama, kebudayaan lama, kebiasaan lama, dan pemikiran lama. Red.)”, untuk mengubah penyebutan penanggalan tradisional itu dengan sebutan “Nong Li” (harfiah: kalender tani, red.)

Di satu sisi, sebutan “Nong Li” akan memarginalkan sistem penanggalan tradisional, ini akan menciptakan semacam batasan dalam pemahaman masyarakat modern, dapat membuat orang mengira bahwa kalender ini hanya berkaitan dengan pertanian, dan hanya cocok digunakan dalam pertanian oleh para warga kaum tani saja, dan akan semakin sulit membuat orang membayangkan kandungan budaya tradisional yang kaya di baliknya, dengan demikian maka terputuslah pewarisan masyarakat Tiongkok modern dengan budaya tradisional; di sisi lain, selama puluhan tahun dalam propagandanya, dan dalam acara seni budaya, PKT selalu merendahkan warga tani dengan berbagai cara yang remeh dan hina, lama kelamaan, segala sesuatu yang dikaitkan dengan istilah “tani”, hal itu pun akan jauh dari konsep “ilmiah”, tanpa disadari pun menjadi terkonotasi dengan konsep tertinggal, serta rendah kelasnya, oleh sebab itu di balik sebutan “Nong Li”, terdapat unsur pelecehan PKT terhadap sistem kalender tradisional Tiongkok.

Menyebut Tahun Baru Tiongkok sebagai Festival Musim Semi, Tindakan yang Merusak dan Menggulingkan Kebudayaan Tradisional

Dalam kebudayaan tradisional, pada perayaan tahun baru setiap keluarga terlebih dahulu akan berdoa ucap syukur kepada Tuhan dan Dewata atas perlindunganNya; baru kemudian bersembahyang pada leluhur, menyampaikan rasa kerinduan, dan sebagai tanda keberbaktian, juga menyapa para senior di lingkungan keluarga; terakhir saling mengucapkan selamat kepada teman, menyatakan kepedulian dan kebersamaan yang rukun. Berbagai macam ritual dan urutannya, bisa dikatakan secara keseluruhan telah memperlihatkan makna tradisional Tiongkok, memperlihatkan penghormatan masyarakat kuno pada tradisi dan mewarisinya secara turun temurun.

Pada 27 September 1949, PKT secara internal merundingkan hal-hal administratif setelah merebut kekuasaan, dan mengubah sebutan “tahun baru tanggal 1 bulan 1” dalam kalender Tiongkok itu menjadi “festival musim semi” (Chunjie, dibaca: chun cie, red.), seakan-akan tahun baru hanyalah sebatas merayakan “musim semi” saja. Sebutan yang sepertinya benar namun salah itu, adalah PKT demi mengkritisi dan menggantikan budaya tradisional Tiongkok serta kebutuhan untuk digalakkannya propaganda ateisme. Setelah sebutan itu diubah, maka disusul seluruh unsur budaya mulai dari ungkapan bersyukur atas perlindungan Tuhan, menghormati Tuhan, dan tradisi sembahyang leluhur pun semuanya disingkirkannya.

Mengubah “tahun baru Tiongkok” menjadi “festival musim semi”, sebenarnya merupakan aksi merusak dan menggulingkan kebudayaan tradisional Tiongkok. Di bawah propaganda menyeluruh PKT, istilah “Chunjie (festival musim semi)” pun terus bermunculan dimana-mana, di dalam maupun luar negeri, dan sebutan aslinya yakni “tahun baru Tiongkok” malahan semakin jarang digunakan.

Selama lebih dari tujuh puluh tahun PKT berkuasa, perayaan tahun baru tradisional Tiongkok yang paling penting dalam tradisi Tiongkok itu pun telah diubah menjadi pelajaran politik oleh partai komunis dalam mendoktrin dan mencekoki otak rakyatnya dengan budaya partai, perayaan malam tahun baru yang diadakan oleh PKT selalu digembar-gemborkan sebagai “tradisi baru” bagi rakyat Tiongkok, tetapi yang dinyanyikan adalah “lagu-lagu” komunis yang sejalan dengan nilai-nilai ideologi komunisme, dengan gaya yang kian lama kian rendahan. 

Perbedaan Sangat Besar Antara “Kaisar” 「皇」 dan “Raja” 「王」

Dalam sejarah Tiongkok terdapat periode Tiga Maharaja dan Lima Kaisar, lalu Kaisar Qinshihuang (259SM-210SM) mulai menggunakan gelar kaisar ( 皇帝 , huangdi, dibaca: huang ti, red.), yang kemudian juga diadopsi oleh para kaisar berbagai dinasti setelahnya. Sejak Qinshihuang, istilah kaisar (huangdi) bermakna penguasa atas dunia, seorang raja adalah bawahan kaisar atau merupakan penguasa suatu wilayah atau negara pengikut. Di bawah kaisar, mungkin terdapat banyak negara atau kerajaan, dan para pemimpin kerajaan di bawah yurisdiksinya harus menyatakan kesetiaan serta memuja sang kaisar, dan diperlukan persetujuan sang penguasa untuk resmi menjadi raja. “Gerbang merah keemasan Istana Lapis Sembilan dibuka, dan utusan dari seluruh dunia bersujud menghadap sang kaisar”, yang direfleksikan adalah semacam suasana kewibawaan yang spektakuler dari sang penguasa. 

Tepat seperti pencerahan oleh pencipta Falun Gong yakni Master Li Hongzhi: “Konsep ‘dinasti’ di Tiongkok tidak sama dengan ‘negara’, istilah ‘kaisar’ tersebut juga berbeda konsep dengan ‘raja’ di negara lain, dan ‘dinasti’ dimaksud adalah simbol suatu periode umat manusia, jadi perbedaan antara ‘kaisar’ dengan ‘raja’ sangat besar. Kaisar adalah penguasa suatu dinasti, raja di atas raja, dan di bawah kaisar adalah raja, untuk setiap negara yang bisa dijangkaunya kaisar akan memberikan dekrit pada seseorang untuk menjadi raja di negara itu, pewarisan takhta raja juga harus mendapat mandat dari kaisar agar menjadi sah, karena Tiongkok merupakan suatu gerbang masuk bagi mahluk dari berbagai kerajaan di langit untuk turun ke dunia ini menjadi manusia, juga datang ke bumi untuk menjalin jodoh, dan menjadi penguasa, kemudian, di langkah terakhir dalam sejarah, merampungkan cita-citanya dalam jalinan jodoh.”

Oleh sebab itu, di luar negeri tidak ada dinasti, hanya Tiongkok yang memilikinya, hanya di Tiongkok baru ada kaisar, jadi hanya para kaisar Tiongkok kuno yang disebut kaisar.

Gelar “Caesar (Romawi)” adalah gelar jabatan antara kaisar dengan raja. Sebutan “tsar (Rusia)” berasal dari Caesar, yang berarti “raja”. Di luar negeri umumnya tidak ada kaisar. Di Inggris disebut raja/ratu Inggris, bukan kaisar Inggris. Di Jepang ada sebutan “Kaisar Langit” (Tenno, red.), karena meniru kebudayaan Tiongkok kuno, dan meniru sebutan yang dinobatkan pada kaisar di Tiongkok. Yang paling awal disebut Kaisar Langit adalah Kaisar Gaozong dari Dinasti Tang.

Orang Tionghoa Bukan Keturunan Naga Merah

Sejak dulu Tiongkok menyebut dirinya “Tanah Dewata”, orang Tionghoa adalah warga dari Tanah Dewata tersebut. Tetapi media massa PKT (Partai Komunis Tiongkok) terus menerus mempropagandakan bahwa orang Tionghoa adalah keturunan naga, malahan dibuatkan lagu untuk dinyanyikan di mana-mana.

Buku “Sembilan Komentar” sejak lama telah mengungkapkan bahwa di ruang dimensi lain, PKT adalah roh sesat, yang berwujud seekor naga jahat berwarna merah, itu sebabnya, bendera partai PKT, lencana topinya, pita lengan, syalnya, panji dalam konferensi yang diadakannya, dan lain-lain, semuanya menggunakan warna serba merah darah. Oleh sebab itu PKT mendistorsi orang Tionghoa sebagai keturunan naga merah, karena hendak menarik orang Tionghoa menjadi bagian dari mereka, hendak membuat orang Tionghoa rela menjadi serdadu bagi naga merah, dan menjadi antek naga merah.

Sebenarnya orang Tionghoa bukan keturunan naga merah, partai komunis-lah yang mati-matian berusaha menyeret ke sisi mereka, orang Tionghoa sama sekali tidak ada kaitannya dengan naga merah. Manusia adalah ciptaan Tuhan. Tentu saja di masyarakat tradisional Tiongkok sang kaisar disebut sebagai Putra Langit Naga Sejati, namun itu hanyalah metafora untuk mengekspresikan otoritas dan kemampuan, karena posisi kaisar di atas orang kebanyakan.

Kesimpulan

Kebudayaan tradisional Tiongkok begitu luas dan mendalam. Di dalam sanubari setiap etnis Tionghoa yang sejati, mewarisi bagian kebudayaan yang mendasar dan kuat tersebut. Dia memengaruhi cara berbicara, perilaku dan pemikiran. Mewarisi kebudayaan tradisional yang sesungguhnya, serta akan membawa keindahan bagi kehidupan dan masyarakat; sementara budaya partai PKT, justru mendistorsi makna mendalam kebudayaan tradisional, dan membawa manusia menuju jalan sesat.

Masyarakat kuno mengatakan: Tanggul sepanjang ribuan Li (satuan jarak di era Tiongkok kuno, red.), akan runtuh hanya karena lubang semut. Distorsi dan penghancuran kebudayaan tradisional oleh PKT ada dimana-mana, dan segala cara dilakukannya, bukan cuma sehari semalam, melainkan proses akumulasi harian, bulanan, dan tahunan, PKT telah memutus hubungan manusia dengan Tuhan sampai ke hal yang terkecil sekalipun, merusak moralitas warga yang berdiam di RRT, merusak atmosfir Tiongkok, menghancurkan jalan bagi Tiongkok menuju peradaban sesungguhnya dan kemakmuran.

Di tahun yang baru ini, mari kita telusuri kembali sejarah, mengenang kembali tradisi, dan dalam detail menemukan kembali makna sejati dari kebudayaan tradisional Tionghoa, melangkah pasti hingga ribuan Li, mengakumulasi langkah demi langkah hingga menjadi ribuan Li, mengakumulasi aliran kali hingga menjadi sungai dan samudera, mari kita berjalan menuju masa depan kita bersama. (sud/whs)