“Keadilan” Sosialisme yang Hanya Ada dalam Angan-Angan 

 oleh Dom Lucyk

Sosialisme dipromosikan sebagai sebuah ideologi di mana setiap orang mendapatkan kesetaraan. Para kamerad bekerja sama, berbagi suka dan duka, dan memupuk persaudaraan utopis yang indah, setidaknya, begitulah klaimnya.

Itu hanya sebuah fantasi yang bagus, tapi sayangnya, itu hanya fantasi. Faktanya, kita memiliki lebih dari satu abad sejarah sosialis yang bisa kita ambil sebagai referensi, seperti beberapa contoh kematian (besar-besaran), penyiksaan terhadap rakyat yang terjadi di Uni Soviet, Korea Utara, dan Venezuela. Namun adakah dari kita yang memperhatikan bahwa para pemimpin negara-negara tersebut tidak pernah menderita sebagaimana rakyatnya sendiri ?

Ini adalah fakta. Terlepas dari kata-kata ilusif mereka mengenai kesetaraan, para pemimpin negara-negara sosialis itu hidup enak dibandingkan dengan warga biasa mereka yang tinggal di dalam negeri.

Mari kita mulai tengok dari Uni Soviet. Dalam buku “Percakapan dengan Joseph Stalin” yang ditulis oleh Milovan Djilas, seorang pemimpin perang anti-fasis Yugoslavia dan salah satu pendiri Partai Komunis Yugoslavia, lewat bukunya pembelot komunis tersebut menggambarkan interaksinya dengan pemimpin Uni Soviet Joseph Stalin. Banyak kontak pribadi yang berbeda dengan kenyataan. Satu hal yang menonjol yakni Joseph Stalin, yang sering dipanggil “Ol’ Uncle Joe,” menyukai pesta makan malam.

“Makanan dan minumannya beragam, terutama daging dan minuman beralkohol”, tulis Milovan Djilas. “Semua orang boleh makan apa saja dan sebanyak yang mereka inginkan, hanya saja frekuensi mereka mengundang minum arak dan bersulang saat minum bersama terlalu sering”.

Tentu saja, salah satu diktator paling brutal dalam sejarah bisa berpesta, tapi bagaimana dengan rakyat biasa di Rusia dan republik Soviet lainnya ? Mereka jelas tidak bisa demikian.

Lembaga pemikir Kanada “SecondStreet.org” mewawancarai banyak orang yang berimigrasi dari Uni Soviet untuk dipublikasikan dalam serial “Socialist Survivors”. Satu hal yang sering mereka kemukakan adalah kekurangan jumlah dan variasi makanan di Uni Soviet.

Mart Salumae dari Estonia mengatakan : “Orang-orang yang sejak pagi pergi bekerja dan pulang ke rumah di malam hari, menemukan barang-barang di toko makanan sudah kosong”. Pemerintah memonopoli pasokan makanan untuk masyarakat, sehingga masyarakat tidak bisa makan dengan puas, namun pemerintah selalu dapat memenuhi kebutuhan makanan kaum elit.

Viorica Robinson asal Rumania mengatakan bahwa dia sering harus mengantri selama dua hingga tiga jam di toko kelontong untuk membeli bahan masakan. Sedangkan Boris Rassin asal Latvia mengatakan bahwa pemerintah membakar buku masakan demi menutupi kekurangan di pasar terhadap bahan-bahan masakan yang tertera dalam resep.

Hal ini sangat kontras dengan makanan hari-hari Joseph Stalin berupa wiski Johnnie Walker Black Label Scotch dan kaviar sturjen.

Situasi ini tidak hanya terjadi di Uni Soviet, lihat saja Korea Utara.

Yeonmi Park, pembelot Korea Utara telah menceritakan banyak pengalaman tragis di masa kecilnya, namun terkadang sebuah gambar dapat menyampaikan ribuan kata. Hingga saat ini, tubuhnya masih kecil mungil karena malnutrisi selama bertahun-tahun yang menghambat pertumbuhannya. Dia adalah salah satu dari sedikit orang yang beruntung bisa melarikan diri dari Korea Utara. Banyak warga Korea Utara yang tampak seperti tengkorak berjalan. Sekarang, lihat foto diktator Korea Utara Kim Jong-un, secara pasti bisa dikatakan bahwa dia bisa makan kenyang setiap malam, mungkin saja terlalu kenyang.

Di Venezuela, yang jaraknya lebih dari 14.000 kilometer, situasinya sama lantaran sama-sama menganut sistem sosial.

Jadi lain kali ketika Anda bertemu dengan keponakan yang baru saja pulang dari semester pertama kuliahnya dengan mata yang berbinar dan buku “Manifesto Komunis” yang dijepit di ketiaknya, lalu bercerita panjang lebar tentang “Marxisme” baru yang keren, coba Anda ajukan pertanyaan di bawah ini kepadanya :

“Dalam utopia sosialis Anda, apakah pernah Anda pikirkan bahwa Anda akan mampu naik ke jenjang puncak pimpinan partai ?” Karena, sejarah telah membeberkan kepada kita, bahwa mereka yang berada di luar dari lingkaran dalam akan menderita, sementara kelompok kaya dan berkuasa yang akan berpesta pora.

Tentang Penulis:

Dom Lucyk adalah Direktur Komunikasi Lembaga Pemikir Kanada “SecondStreet.org”.

Artikel asli : Socialist Leaders Prove Their “Equality” Is a Myth. diterbitkan di Epoch Times edisi bahasa Inggris.

Artikel ini hanya mewakili pandangan penulis, tidak mencerminkan sikap “The Epoch Times”.