Ekonomi Tiongkok Lesu, Industri Baja Terperosok ke Dalam Krisis Hingga Pinjaman Bank Menurun Tajam

Tang Rui dan Gao Yu – NTD

Ekonomi Tiongkok yang lesu telah membuat industri baja terperosok ke dalam musim dingin yang panjang. Pada saat yang sama, pinjaman baru dari bank-bank di daratan Tiongkok pada  Juli mencapai titik terendah dalam hampir 15 tahun. Bagaimana prospek ekonomi Tiongkok ke depan? 

Data yang dirilis oleh Bank Sentral Tiongkok pada 13 Agustus menunjukkan bahwa pinjaman baru dari bank-bank pada Juli hanya sekitar RMB.260 miliar. Angka ini merupakan angka terendah sejak Oktober 2009 dan lebih rendah dari perkiraan pasar.

“Penurunan besar dalam pinjaman baru menunjukkan bahwa sebagian besar perusahaan di Tiongkok sudah ‘menyerah,’ tidak ingin meminjam uang, dan  tidak berani meminjam untuk berinvestasi,” ujar analis politik dan ekonomi senior, Qin Peng.

Baru-baru ini, Dongling Group, sebuah perusahaan yang berbasis di Baoji, Shaanxi, tiba-tiba mengajukan restrukturisasi kebangkrutan di pengadilan. Perusahaan ini, yang pernah disebut sebagai raksasa baja swasta di Tiongkok, kini menghadapi krisis di mana 18.000 karyawannya berpotensi kehilangan pekerjaan.

Informasi publik menunjukkan bahwa Dongling Group memiliki pendapatan operasional sebesar RMB.125,7 miliar tahun lalu, menempatkannya di peringkat ke-205 dalam daftar 500 perusahaan swasta terbesar di Tiongkok. Namun, kini mereka harus melakukan restrukturisasi kebangkrutan, ini sungguh mengejutkan banyak pihak.

“Pemulihan pasar real estat tampaknya masih jauh dari kenyataan, karena ekonomi Tiongkok keluar dari resesi  juga tampaknya masih sangat jauh. Oleh karena itu, penutupan, merger, dan restrukturisasi industri baja mungkin menjadi sesuatu yang tak terhindarkan,” ujar Profesor ekonomi dari Aiken School of Business di University of South Carolina, Xie Tian.

Produsen baja terbesar di dunia, China Baowu Steel Group, baru-baru ini juga memperingatkan dalam rapat internalnya bahwa industri baja Tiongkok mungkin akan menghadapi musim dingin yang panjang dan sulit bagi para pelakunya.

“Kita mengetahui bahwa resesi ekonomi di Tiongkok sebenarnya paling terlihat pada penurunan tajam di sektor real estate. Semua perusahaan yang terkait dengan konstruksi, termasuk kaca, logam, kayu, serta peralatan rumah tangga, semuanya akan terkena dampaknya dan terpuruk,” ujar Xie Tian.

Pada 15 Agustus, Biro Statistik Nasional Tiongkok merilis data yang menunjukkan bahwa dari 70 kota yang disurvei pada  Juli, harga rumah di 66 kota mengalami penurunan dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Selain itu, investasi pengembangan real estat pada periode Januari hingga Juli turun 10,2% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

Sementara itu, data dari Bank Sentral Tiongkok menunjukkan bahwa pada tujuh bulan pertama tahun ini, jumlah peningkatan total pembiayaan sosial telah turun sebesar RMB.3,22 triliun dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu dengan penurunan sebesar 14,6%.

Oleh karena itu, komunitas ekonomi memperdebatkan bahwa ekonomi Tiongkok mungkin memasuki mode resesi besar seperti yang dialami Jepang pada tahun 1990-an.

“Saat ini, karena gelembung properti, kehancuran kekayaan, dan kebangkrutan, jumlah orang yang putus asa dan bunuh diri meningkat setiap hari. Jumlah orang yang gagal membayar hipotek dan mengalami kebangkrutan finansial juga terus meningkat. Jadi, situasi gelembung properti di Tiongkok jauh lebih serius dibandingkan dengan Jepang, dan dampaknya terhadap masyarakat juga lebih besar,” Xie Tian menyimpulkan. (Hui)