Krisis Populasi: Kebijakan Insentif Korea Selatan Tak Mampu Menghentikan Tren YOLO

secretchina.com

Pemerintah Korea Selatan sedang berupaya keras untuk menahan penurunan drastis tingkat kelahiran. Namun, saat ini, otoritas di Seoul sulit meyakinkan banyak anak muda berusia 20-an dan 30-an yang mengusung gaya hidup YOLO (You Only Live Once) bahwa menjadi orang tua adalah investasi yang lebih baik daripada pakaian modis atau restoran mewah.

Menurut laporan Reuters pada 27 Agustus, setelah bertahun-tahun mencoba berbagai insentif, Korea Selatan tetap gagal mengatasi krisis populasi dan terus memecahkan rekor dunia untuk tingkat kelahiran terendah. Pada tahun 2023, angka tersebut mencapai titik terendah dalam sejarah. Sebagai ekonomi terbesar keempat di Asia, Korea Selatan berencana membentuk departemen pemerintahan baru yang khusus menangani tantangan krisis populasi ini.

Sosiolog menyatakan bahwa prioritas gaya hidup pribadi yang dianut oleh generasi muda Korea Selatan berusia 20-an dan 30-an (yang dikenal sebagai Generasi Y dan Z) menyebabkan mereka menghabiskan lebih banyak uang daripada rata-rata di negara lain, serta menabung lebih sedikit. Fenomena ini tidak mendukung peningkatan angka kelahiran di negara tersebut.

Saat menjual kaos Supreme miliknya di festival fesyen barang bekas di Seongsu-dong, pusat mode mewah di Seoul, Park Yeon, seorang pengguna Instagram yang berusia 28 tahun dan bercita-cita menjadi penyanyi, mengatakan bahwa pilihannya dalam pengeluaran pribadi lebih didorong oleh minat pada pakaian dan perjalanan. Ia hampir tidak menyisihkan anggaran untuk menikah dan memiliki anak.

Park Yeon menuturkan, “Saya sangat menyukai konsep YOLO. Setelah saya melakukan sesuatu untuk memanjakan diri, tabungan saya tidak cukup setiap bulan. Mungkin suatu saat saya akan menikah, tetapi kebahagiaan saat ini—itu lebih penting, bukan?”

Mengenai tren YOLO di kalangan anak muda Korea, Profesor Sosiologi Jung Jae-hoon dari Seoul Women’s University mengatakan, “Mereka mengejar status. Kebiasaan konsumsi tinggi mereka menunjukkan bahwa para kawula muda sedang berusaha keras untuk menciptakan citra kesuksesan mereka sendiri di dunia maya, daripada fokus untuk menetap dan memiliki anak, yang dianggap sebagai tujuan yang sulit tercapai.”

Selama tiga tahun terakhir, bahkan dengan peningkatan suku bunga yang signifikan, Korea Selatan tidak berhasil menahan pengeluaran konsumtif para pemuda. Data dari Bank Sentral Korea menunjukkan bahwa pada kuartal pertama tahun ini, tingkat tabungan pemuda berusia 30-an turun menjadi 28,5% dari 29,4% lima tahun lalu, sementara tingkat tabungan kelompok usia lainnya meningkat.

Sementara itu, kelompok usia 20-an dan 30-an di Korea Selatan adalah konsumen terbesar di department store dan hotel bintang lima, dengan pengeluaran untuk perjalanan meningkat dari 33,3% dalam tiga tahun terakhir menjadi 40,1%. Menurut data dari Hyundai Card, selama tiga tahun terakhir hingga Mei tahun ini, proporsi pengeluaran konsumen Korea Selatan berusia 20-an di department store kelas atas hampir dua kali lipat, meningkat menjadi 12%. Sebaliknya, proporsi pengeluaran dari kelompok usia lainnya menurun.

Menurut data dari perusahaan riset pasar Euromonitor, pendapatan restoran prasmanan mewah di Korea Selatan tahun lalu meningkat 30,3%, sementara pendapatan restoran cepat saji meningkat 10,5%. Pendapatan keseluruhan industri makanan dan minuman di Korea Selatan meningkat 9%.

Sebagai contoh, penjualan makanan penutup stroberi musiman seharga 90.000 won (sekitar 68 dolar AS) yang disajikan tanpa batas di Hotel Seoul Dragon City (destinasi populer di Instagram) meningkat 1,5 kali lipat dibandingkan musim dingin tahun lalu, meskipun harga hotel tersebut meningkat sebesar 12,5%.

Sebaliknya, laporan Commonwealth Bank of Australia menunjukkan bahwa karena tekanan biaya hidup, pengeluaran kelompok usia 25 hingga 29 tahun di Australia pada kuartal pertama tahun ini turun 3,5% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Sementara itu, laporan penelitian ekonomi oleh Morgan Stanley tahun lalu menunjukkan bahwa selera unik orang Korea membuat mereka menjadi negara dengan konsumsi merek mewah per kapita tertinggi di dunia, dan juga menjadi tujuan utama untuk konsumsi merek mewah.

 Chanel, Celine, dan Dior telah menandatangani kontrak dengan grup musik pop Korea yang fokus pada remaja, seperti Blackpink dan NewJeans, untuk menjadi duta merek global mereka.

Pada Mei lalu, perusahaan riset PMI Co.5 merilis laporan survei yang menunjukkan bahwa kesulitan ekonomi adalah alasan utama mengapa orang Korea enggan memiliki anak. Dari 1.800 responden, sekitar 46% menyatakan bahwa keputusan untuk tidak memiliki anak disebabkan oleh ketidakpastian pekerjaan atau tingginya biaya pendidikan.

Pada tahun 2021, Pew Research Center di Amerika Serikat melakukan survei di 17 negara maju yang menunjukkan bahwa Korea Selatan adalah satu-satunya negara yang menempatkan kesejahteraan material sebagai faktor utama dalam menemukan makna hidup. Di negara maju lainnya, keluarga atau kesehatan adalah faktor utama. (jhon)