Seorang pemuda kiriman atau pemuda yang “dididik”dari Korea Utara yang sedang belajar di Rusia memutuskan untuk melarikan diri ke Korea Selatan setelah menolak perintah wajib pulang dari pemerintah Korea Utara. Menurut laporan Radio Free Asia (RFA), yang didanai pemerintah Amerika Serikat, menyebutkan bahwa bagi siswa di seluruh dunia, liburan musim panas adalah waktu kebebasan yang penuh kegembiraan. Namun demikian, bagi mahasiswa dari Korea Utara, liburan musim panas berarti harus pulang ke negara asal untuk menjalani kamp pemeriksaan ideologi yang sangat tertutup, yang dianggap sebagai pengalaman hidup di neraka
www.aboluowang.com
Laporan RFA menyebutkan bahwa seorang pria Korea Utara bermarga Kim, yang lahir di Pyongyang, berhasil melarikan diri dari Korea Utara beberapa tahun lalu dan menetap di Korea Selatan. Di Korea Selatan, ia bertemu dengan teman lamanya dari Korea Utara, yang kemudian mengungkapkan alasannya melarikan diri.
Teman tersebut awalnya belajar di Rusia, tetapi selama masa studi, ia menerima perintah dari pemerintah Korea Utara yang mengharuskan semua mahasiswa untuk segera pulang, membuatnya sangat ketakutan hingga akhirnya memutuskan untuk melarikan diri.
Laporan juga menyebutkan bahwa perintah ini adalah peraturan terbaru yang diumumkan oleh pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un, pada Juli 2024 lalu, yang mewajibkan semua mahasiswa Korea Utara yang belajar di Rusia, Tiongkok, dan negara lain untuk pulang selama liburan musim panas guna menjalani “pemeriksaan ideologi”.
Menurut laporan dari Daily NK, pemerintah Korea Utara biasanya mengharuskan mahasiswa yang belajar di luar negeri untuk kembali ke negara asal selama liburan musim panas dan berkumpul di Pyongyang untuk menjalani 15 hingga 20 hari sesi pembelajaran ideologi dan evaluasi di tempat-tempat seperti Universitas Rakyat atau pusat studi Liga Pemuda.
Tujuan dari tindakan ini adalah untuk mencegah mahasiswa terpengaruh oleh kapitalisme dan untuk menghilangkan pikiran yang dianggap tidak pantas. Ini juga dilakukan untuk mencegah mahasiswa yang sering berinteraksi dengan dunia luar agar tidak memiliki keinginan untuk membelot. Proses ini juga dikenal sebagai “proses dehidrasi” (menghilangkan pengaruh dari luar).
Pemeriksaan ideologi ini mencakup sesi kritik terbuka, di mana mahasiswa yang dianggap memiliki “masalah ideologi” harus berdiri di atas panggung untuk menerima kecaman terbuka, sementara mahasiswa lain diwajibkan untuk mengkritik mereka dengan keras.
Mahasiswa yang mengalami hal ini sering kali masuk ke dalam daftar pengawasan polisi rahasia dan di masa depan mungkin menghadapi hukuman yang lebih berat, termasuk tidak dapat kembali ke universitas asal atau tidak bisa keluar negeri lagi. Dalam kasus yang parah, mereka dapat langsung dikirim ke kamp kerja paksa, yang akan menghancurkan masa depan mereka.
Sebelumnya, pemeriksaan ideologi semacam ini hampir dilakukan setiap tahun, tetapi akibat pandemi COVID-19, pemerintah Korea Utara menutup perbatasannya sejak Januari 2020, menyebabkan banyak mahasiswa terjebak di luar negeri.
Hingga pada Juli lalu, Kim Jong-un mengumumkan bahwa peraturan ini akan diberlakukan kembali. Dengan semakin lamanya waktu yang dihabiskan di luar negeri, mahasiswa-mahasiswa ini semakin terpengaruh oleh ideologi kapitalisme, sehingga pemerintah Korea Utara mulai memperketat pemeriksaan dan pengawasan ideologi terhadap mereka.
Mahasiswa Korea Utara yang belajar di luar negeri mulai khawatir mereka tidak akan dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat di negara asal mereka dan takut ditangkap oleh polisi rahasia.
Laporan dari Radio Free Asia menyebutkan bahwa beberapa mahasiswa elit Korea Utara memilih untuk tidak pulang dan bersembunyi di Rusia. Mahasiswa-mahasiswa ini mungkin akan membelot di masa depan dan mencari kehidupan yang lebih bebas. (jhon)