Para Akademisi Prancis Protes terhadap Kepatuhan kepada Beijing: Temukan Dua Museum Memfasilitasi Pemalsuan Sejarah

Beberapa waktu lalu, kalangan akademisi Prancis mengajukan surat terbuka, memprotes dua museum utama di Paris karena bertekuk lutut kepada Tiongkok, memfasilitasi Beijing dalam memalsukan sejarah dan menghapus identitas etnis lainnya. Mereka menyerukan agar lembaga akademik dan budaya menolak intervensi dari rezim asing yang anti-demokrasi

Secretchina.com 

Pada 31 Agustus lalu, lebih dari 20 peneliti, profesor, dan seniman dari lembaga penelitian nasional Prancis menulis surat terbuka di surat kabar terbesar, Le Monde, menyatakan bahwa meskipun ada upaya untuk mencegah intervensi kekuatan asing, Republik Rakyat Tiongkok (RRT) berhasil mengintervensi dua museum utama kami, yaitu Musée du Quai Branly dan Musée Guimet.

Mereka mengungkapkan bahwa terminologi yang digunakan oleh lembaga-lembaga tersebut mencerminkan upaya Beijing untuk memalsukan sejarah dan menghapus etnis non-Han yang dianeksasi dan dijajah oleh RRT. Pemalsuan ini kini meningkat hingga mencabut nama etnis (etnonimi) dan nama wilayah leluhur mereka.

Baru-baru ini, kalangan akademisi Prancis menemukan bahwa dalam katalog benda-benda Tibet di Musée du Quai Branly, kata “Tibet” telah dihapus dan digantikan dengan “Daerah Otonomi Tibet (Xizang)” sesuai sebutan pemerintah Beijing. Selain itu, di ruang pameran Tibet di Musée Guimet, nama “Tibet” juga diubah menjadi “Daerah Himalaya.”

Perubahan ini disesuaikan dengan perubahan terminologi yang dilakukan Tiongkok pada tahun 2023. Pada Agustus 2023 lalu, Departemen Front Persatuan Pusat Tiongkok dalam sebuah artikel di akun WeChat mereka, “Pandangan Baru dari Front Persatuan,” mengklaim bahwa Tibet seharusnya diterjemahkan sebagai Xizang, bukan Tibet. Pada Oktober tahun lalu, dalam Forum Kerjasama Internasional Tiongkok -Tibet Himalaya ke-3 yang diadakan di Nyingchi, Tibet, nama resmi dalam bahasa Inggris menggunakan pinyin Xizang menggantikan Tibet.

Kalangan akademisi Prancis menuding bahwa hal ini menunjukkan upaya Partai Komunis Tiongkok (PKT) untuk menghapus Tibet yang telah diduduki sejak tahun 1950 dari peta dan kesadaran masyarakat.

Dalam surat terbuka tersebut, beberapa ahli Tibet menekankan bahwa meskipun pada masa lalu para pemimpin Tibet, Turkestan Timur, dan Mongolia memberikan upeti kepada dinasti Manchu, daerah yang langsung diperintah oleh Dinasti Qing hanya meliputi wilayah Tiongkok. Namun, sekarang RRT melalui berbagai klaim telah menduduki wilayah-wilayah di sekitar Tiongkok untuk memperkuat kekuasaannya, tetapi dengan mengorbankan etnis yang tinggal di wilayah tersebut.

“Para ahli memahami situasi ini, namun mereka yang memuji keberhasilan PKT modern mungkin tidak menyadari hal ini. Keberhasilan PKT dicapai melalui pendirian rezim otoriter dan dominasi populasi etnis Han, serta eksploitasi ekonomi terhadap wilayah-wilayah tersebut dan sinifikasi (Hanisasi) yang kejam terhadap etnis-etnis tersebut.”

Surat terbuka tersebut juga menyebutkan bahwa museum-museum dan universitas-universitas yang mendirikan Institut Konfusius, yang merupakan corong resmi pemerintah Tiongkok, cenderung membuat pilihan semacam itu untuk menghindari bentrokan dengan rezim PKT dan kepekaan nasionalisnya yang sensitif. Karena segala kata yang menyimpang dari narasi besar “Pemikiran Xi Jinping” akan dianggap sebagai provokasi atau upaya separatis.

Lebih dari 20 ilmuwan yang menandatangani surat terbuka tersebut percaya bahwa lembaga-lembaga ini berusaha dengan segala cara untuk menjaga akses penelitian ke Tiongkok, sumber daya, dan dokumentasi, serta mendapatkan manfaat dari bantuan keuangan dan pinjaman koleksi museum, yang semuanya bergantung pada keinginan rezim Beijing. Oleh karena itu, mereka tunduk pada ancaman PKT yang dipimpin oleh Xi Jinping dan bertekuk lutut dalam memenuhi tuntutan pemalsuan sejarah dan penghapusan etnis.

Namun, tidak semua lembaga yakin harus menerima campur tangan asing. Beberapa tahun yang lalu, Museum Sejarah Nantes mengadakan pameran tentang Genghis Khan, yang juga mendapat sensor keras dari Tiongkok, misalnya melarang penggunaan kata “Genghis Khan” dan “Kekaisaran,” yang diganti dengan “Putra Langit dan Padang Rumput” dan “Budaya Padang Rumput Besar Tiongkok.”

Namun, pihak Museum Sejarah Nantes menolak membiarkan Tiongkok memanfaatkan pameran benda-benda sejarah untuk menghapus nama Genghis Khan serta sejarah dan budaya Mongolia, guna memenuhi narasi baru PKT. Sehingga, museum tersebut memutuskan untuk bekerja sama dengan museum-museum dan kolektor pribadi dari Mongolia, dan berhasil merencanakan sebuah pameran tanpa partisipasi Tiongkok tetapi tetap memiliki nilai akademis yang tinggi.

Tahun 2024 ini menandai 60 tahun hubungan diplomatik antara Prancis dan Tiongkok, dan Museum Guimet Prancis berencana untuk meluncurkan pameran bertema ibu kota Dinasti Tang, Chang’an, pada musim gugur. Apakah mereka akan tetap diam tentang keberadaan Kekaisaran Tibet dan fakta bahwa Chang’an diduduki oleh pasukan Tibet pada tahun 763?

Surat terbuka tersebut menyimpulkan bahwa saat ini, museum-museum di Prancis yang membiarkan sejarah diubah adalah simbol kelemahan yang besar. Lembaga akademik dan budaya Prancis harus menolak intervensi dari rezim asing yang anti-demokrasi, dan ini sudah sangat mendesak. (jhon)