Hamas Ajukan Syarat, Kesepakatan Gencatan Senjata Israel-Hamas Kembali Alami Kendala

Secretchina.com

Pada Jum’at (6/9/2024), negosiasi gencatan senjata antara Israel dan kelompok militan Palestina, Hamas, kembali menemui jalan buntu. Hal ini menjadi tantangan besar bagi upaya mediasi Presiden Amerika Serikat, Joe Biden. Meskipun Amerika Serikat, Qatar, dan Mesir terus melakukan negosiasi, sikap keras dari kedua belah pihak, terutama tuntutan baru dari Hamas dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, membuat kesepakatan yang hampir tercapai tersebut kembali terhambat.

Menurut laporan The Washington Post, ketika negosiator hampir menyelesaikan perincian kesepakatan, Hamas tiba-tiba meminta Israel untuk membebaskan lebih banyak tahanan Palestina sebagai syarat pembebasan sandera Israel. Permintaan ini disebut sebagai “syarat beracun” oleh pejabat Amerika Serikat, yang memandangnya sebagai hambatan serius bagi tercapainya kesepakatan. Sebelumnya, Netanyahu bersikeras bahwa militer Israel harus tetap ditempatkan di sepanjang Koridor Philadelphia, di perbatasan Gaza dan Mesir, yang juga menjadi salah satu kendala dalam perundingan.

Tantangan terbesar dalam negosiasi ini adalah nasib sekitar 100 sandera Israel yang berada di tangan Hamas. Eksekusi enam sandera pada akhir Agustus lalu oleh Hamas telah memicu protes besar-besaran di Israel, di mana masyarakat menuding pemerintah gagal dalam upaya penyelamatan sandera.

 Meskipun pejabat Amerika menyatakan bahwa 90% dari kesepakatan sudah tercapai, Netanyahu menegaskan bahwa masih ada perbedaan serius antara kedua pihak. Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, juga mengakui bahwa kesepakatan bisa runtuh kapan saja jika kedua belah pihak tidak mencapai kata sepakat.

Pemerintahan Biden telah mengusulkan rencana yang mencakup gencatan senjata selama enam minggu dan pembebasan tahanan oleh kedua belah pihak. Namun, masalah utama tetap mengenai apakah militer Israel harus mundur dari Koridor Philadelphia. 

Amerika Serikat berusaha mencari solusi kompromi, yang memungkinkan penarikan militer Israel dari daerah berpenduduk padat sambil menenangkan pihak Mesir. Namun, para ahli menilai bahwa Netanyahu dan pemimpin Hamas, Yahya Sinwar, lebih mengutamakan kepentingan politik masing-masing, sehingga sulit untuk mencapai kesepakatan.

Di tengah situasi ini, pemerintahan Biden sendiri dilanda perpecahan. Beberapa penasihat mendesak agar tekanan lebih besar diberikan kepada Netanyahu, bahkan ada yang secara terbuka mengkritik dia sebagai penghambat perundingan. 

Namun, ada juga yang memperingatkan bahwa tekanan publik bisa menjadi bumerang dan memperburuk ketegangan. Pengamat mengatakan bahwa jika pemerintahan Biden gagal mencapai gencatan senjata, hal ini akan mengaburkan warisan politiknya dan memperlihatkan menurunnya pengaruh Amerika Serikat di Timur Tengah.

Jika kesepakatan tercapai, ini bisa menjadi apa yang disebut “kejutan Oktober” yang dapat menguntungkan Wakil Presiden Kamala Harris dalam pemilu presiden AS mendatang, memberikan keuntungan dalam persaingan melawan kandidat dari Partai Republik, Donald Trump. Saat ini, Amerika Serikat memiliki sedikit pilihan selain melanjutkan upaya mendorong tercapainya kesepakatan.

Sandera Hamas Menjadi Kunci Utama, 500.000 Orang Israel Gelar Protes Mendorong Gencatan Senjata

Isu yang paling rumit dalam kesepakatan gencatan senjata adalah jumlah sandera yang masih selamat dari sekitar 100 orang yang diculik. Warga Israel merasa bahwa Netanyahu belum berupaya keras untuk mencapai kesepakatan agar para sandera bisa pulang dengan selamat.

Pada malam tanggal 7 September, puluhan ribu warga Israel turun ke jalan di Tel Aviv, kota terbesar kedua di Israel sekaligus pusat ekonominya, dalam unjuk rasa besar-besaran. Mereka menuntut agar pemerintah Netanyahu segera mencapai kesepakatan dengan Hamas untuk gencatan senjata. 

Panitia acara, “Forum Keluarga Sandera dan Orang Hilang”, mengklaim bahwa jumlah peserta mencapai 500.000 orang. Di berbagai wilayah Israel lainnya juga ada aksi serupa dengan perkiraan 250.000 orang turun ke jalan. Menurut The Times of Israel, jika jumlah 500.000 ini benar, maka ini akan menjadi aksi unjuk rasa terbesar dalam sejarah Israel. (jhon)