Tiongkok Kemungkinan Kehilangan Target Pertumbuhan karena Perlambatan Ekonomi  di Kuartal Ketiga 

oleh :  Antonio Graceffo

Data ekonomi kuartal ketiga Tiongkok menunjukkan terjadinya perlambatan yang terus berlanjut, sehingga tidak mungkin mencapai target pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) tahun 2024.

Ekonomi Tiongkok menunjukkan tanda-tanda perlambatan secara signifikan, dengan inflasi inti yang turun ke level paling rendah dalam kurun waktu lebih dari tiga tahun terakhir. Penurunan ini menimbulkan kekhawatiran mengenai kemampuan negara ini  mencapai target pertumbuhan sekitar 5% pada tahun 2024.

Pada  Agustus, indeks harga konsumen (IHK), tidak termasuk makanan dan energi, naik hanya 0,3 persen YoY menandai pertumbuhan paling lambat sejak Maret 2021. Meskipun inflasi secara keseluruhan naik 0,6 persen, hal ini terutama disebabkan oleh kenaikan harga pangan yang disebabkan oleh cuaca buruk, namun angka tersebut masih jauh dari ekspektasi.

Lemahnya permintaan – ditambah dengan penurunan harga di sektor utama seperti kendaraan listrik dan elektronik – telah meningkatkan tekanan deflasi. Tanpa intervensi pemerintah, ekonomi berisiko berputar ke dalam siklus penurunan harga, upah, dan pendapatan perusahaan. 

Sentimen pasar juga tertekan, dengan indeks saham dan mata uang Tiongkok mengalami kerugian yang berkelanjutan. Selama sebulan terakhir, dollar sedikit melemah sebagai antisipasi terhadap The Federal Reserve yang akan memangkas suku bunga, tetapi penurunan ini tidak memberikan dorongan pada yuan, yang tetap saja flat.

Faktor kunci yang berkontribusi pada kenaikan inflasi yang tidak terlalu besar adalah lonjakan harga makanan. Harga sayuran segar melonjak 21,8% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, menambah 0,44 poin persentase pada Consumer Price Index atau Indeks Harga Konsumen (CPI) secara keseluruhan. Meskipun ada langkah-langkah stimulus seperti penurunan suku bunga dan program-program seperti insentif, upaya-upaya ini tidak cukup untuk mengimbangi hambatan dari pasar perumahan yang lesu dan lemahnya kepercayaan konsumen. Sementara itu, harga di tingkat pabrik tetap mengalami deflasi sejak akhir 2022, dengan indeks harga produsen turun 1,8 persen YoY, melampaui perkiraan penurunan 1,5 persen.

Perlambatan juga terlihat pada produksi industri dan penjualan ritel Tiongkok, yang mana keduanya goyah pada Agustus. Produksi industri tumbuh  laju paling lambat sejak Maret, meningkat 4,5% YoY, turun dari 5,1% di  Juli. Penjualan ritel, indikator utama belanja konsumen, mengalami bulan kedua yang paling lambat tahun ini, naik hanya 2,1% dibandingkan dengan 2,7% di  Juli. Angka-angka ini tidak hanya meleset dari ekspektasi tetapi juga menyoroti melemahnya permintaan domestik meskipun Agustus adalah puncak periode liburan musim panas.

Terlepas dari upaya-upaya untuk menstabilkan ekonomi, investasi aset tetap Tiongkok telah melambat secara signifikan. Antara Januari dan Agustus, investasi aset tetap hanya tumbuh 3,4 persen, laju paling lambat sejak Desember 2023, karena pasar perumahan melanjutkan penurunan secara drastis. Investasi real estat turun 10,1 persen pada paruh pertama tahun ini, sementara penjualan properti berdasarkan luas lantai turun 19 persen dari tahun ke tahun. Selain itu, konstruksi baru dimulai anjlok 23,7 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Krisis perumahan menciptakan apa yang disebut oleh para analis sebagai ekonomi “dua kecepatan”, di mana volume ekspor meningkat sementara permintaan domestik tetap lesu. Pemimpin Tiongkok, Xi Jinping,  menekankan perlunya Tiongkok mencapai target pertumbuhan ekonomi tahunannya, dengan fokus terutama pada hasil industri, terutama di bidang manufaktur berteknologi tinggi, untuk mengimbangi dampak kemerosotan properti selama tiga tahun.

Kesenjangan antara target pertumbuhan resmi Tiongkok dan realita ekonomi saat ini menunjukkan bahwa negara ini kemungkinan besar akan gagal mencapai target pertumbuhan PDB sebesar 5%. Penekanan pada manufaktur dan ekspor mengindikasikan bahwa Partai Komunis Tiongkok (PKT) menyadari perlambatan domestik dan memprioritaskan dominasi ekonomi di luar negeri, bahkan dengan mengorbankan ekonomi internal dan standar kehidupan masyarakat.

Ekonomi dua kecepatan Tiongkok menghadapi risiko yang semakin besar karena permintaan domestik tetap lesu, sementara negara ini mengalami surplus perdagangan yang terus meningkat. Ketika surplus ini tumbuh, Tiongkok mungkin akan menghadapi tarif tambahan dari mitra dagangnya, yang akan semakin menghambat pertumbuhan dan memperburuk tekanan disinflasi. 

Untuk memitigasi hal ini, PKT perlu merangsang permintaan domestik secara lebih agresif untuk mengimbangi risiko tarif baru yang memperlambat pemulihan ekonomi. Namun demikian, dengan ekonomi yang melambat dan meningkatnya pengangguran kaum muda, konsumen Tiongkok enggan untuk meningkatkan pengeluaran mereka.

Mantan Gubernur Bank Sentral Tiongkok, Yi Gang, baru-baru ini membuat pengakuan publik yang jarang terjadi mengenai tantangan deflasi Tiongkok, dan mendesak para pembuat kebijakan aar segera mengambil tindakan. Berbicara pada Bund Summit di Shanghai, Yi menekankan kelemahan dalam permintaan domestik – terutama dalam konsumsi dan investasi – sebagai area kritis yang membutuhkan dukungan fiskal dan moneter yang lebih kuat. Ia menyatakan harapannya bahwa deflator PDB Tiongkok, sebuah ukuran luas dari tingkat harga, dapat berbalik positif dalam beberapa kuartal mendatang. Namun, mengingat lemahnya permintaan swasta saat ini dan rendahnya kepercayaan konsumen, pemulihan organik tampaknya mustahil terjadi.

Ketika Beijing berjuang untuk menghidupkan kembali permintaan rumah tangga dan menstabilkan pasar perumahan, Beijing hanya menerapkan langkah-langkah tambahan sampai saat ini. Konsumsi yang lemah, kepercayaan diri yang rendah, dan krisis di sektor properti terus membebani prospek pertumbuhan Tiongkok. Perlambatan ekonomi menjadi semakin mengakar, dan masih belum pasti apakah langkah-langkah stimulus tambahan cukup untuk membalikkan tren penurunan – atau apakah langkah-langkah tersebut akan terwujud.

Media pemerintahan partai komunis Tiongkok terus menceritakan pertumbuhan ekonomi yang stabil dan penuh dengan peluang, dengan fokus pada sektor-sektor yang berkinerja baik.  Namun, mereka menghindari pengakuan terhadap perlambatan ekonomi yang lebih luas, yang disebabkan oleh masalah struktural  mendalam dan belum memiliki solusi yang jelas dari Partai Komunis Tiongkok (PKT).

Antonio Graceffo, PhD, adalah seorang analis ekonomi Tiongkok yang telah menghabiskan lebih dari 20 tahun di Asia. Graceffo adalah lulusan dari Shanghai University of Sport, memegang gelar Tiongkok-MBA dari Shanghai Jiaotong University, dan saat ini sedang mempelajari pertahanan nasional di American Military University. Beliau adalah penulis Beyond the Belt and Road: China’s Global Economic Expansion” (2019)

Artikel ini terbit di English Epoch Times : China Likely to Miss Growth Target as Economy Slows in 3rd Quarter