Ucapan Deng Xiaoping Terbukti, Kini PKT Menjadi Musuh Bagi Dunia

Chu Yiding

Pada 9 April 1974, Deng Xiaoping memimpin delegasi atas nama Partai Komunis Tiongkok (PKT) menghadiri Sesi Khusus Keenam Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-28 dan menyampaikan pidato. Dalam pidato tersebut, Deng dengan tegas menyampaikan kepada dunia:

“Tiongkok saat ini bukan, bahkan di kemudian hari pun tidak akan menjadi negara adidaya. Jika pada suatu hari nanti Tiongkok berubah warna, menjadi sebuah negara adidaya, juga menyebut diri sebagai raja dan bertindak hegemoni, menindas dimana-mana, mengagresi negara lain, dan mengeksploitasi pihak lain, maka, sudah sewajarnya masyarakat dunia memberikan predikat imperialisme sosial kepada Tiongkok, maka sewajarnya mengungkapnya, menentangnya, dan bersama rakyat Tiongkok, menggulingkannya”.

Waktu berjalan cepat, dalam sekejap mata setengah abad telah berlalu. Pada September tahun ini, PBB akan mengadakan sidang Majelis Umum ke-79.

Bila saja ucapan Deng Xiaoping di PBB 50 tahun silam itu kita tinjau kembali, maka tidak sulit bagi kita untuk melihat, bahwa kini PKT telah menjadi “imperialisme sosial” yang disebutkan Deng dalam pidatonya kala itu. Dengan demikian PKT kini sudah semakin mendekati hari digulingkan oleh rakyat Tiongkok dan dunia.

Dari bersandar pada crazy rich hingga imperial dream

Pada Oktober 2017 lalu, PKT secara resmi memasukkan semboyan yang disebut “membangun komunitas takdir bersama bagi umat manusia” ke dalam konstitusi partainya. Pada Desember tahun yang sama, ketika Xi Jinping menghadiri konferensi kerja tahunan para utusan diplomatik yang ditempatkan di luar negeri, ia menjelaskan gagasannya tentang “perubahan besar yang belum pernah terlihat dalam satu abad terakhir”. Pada 2021, Xi Jinping lebih lanjut mengusulkan konsep “kebangkitan Timur dan kemerosotan Barat” berdasarkan “perubahan besar” yang ia canangkan sebelumnya. Dengan demikian, bingkai tentang bangkitnya sebuah kekaisaran Partai Komunis Tiongkok telah mulai terbentuk.

Pada 18 Desember 2023, media corong PKT “Renmin Rebao” menerbitkan sebuah artikel dalam rangka memperingati 45 tahun Sidang Pleno Ketiga Komite Sentral PKT ke-11, yang juga merupakan peringatan 45 tahun “reformasi dan keterbukaan”. Artikel bertajuk “Satu-Satunya Cara Membangun Negara Kuat dan Meremajakan Bangsa” ini memiliki total lebih dari 10.000 kata. Dalam artikel tersebut nama Xi Jinping sampai 48 kali disebutkan tetapi nama Deng Xiaoping sama sekali tidak muncul. Mengapa demikian?

Tentu saja, hal ini disebabkan karena PKT saat ini sudah tidak lagi membutuhkan kemasan berlabel reformasi di era Deng Xiaoping. Bahkan baik target yang ingin dicapai PKT, jalur yang ditempuh, dan cara yang digunakan telah terekspos tanpa sembunyi-sembunyi di hadapan dunia.

Reformasi ekonomi yang diprakarsai oleh Deng Xiaoping yang disebut sebagai teori “tahap awal menuju era sosialisme” yang “membiarkan segelintir orang menjadi kaya terlebih dahulu”. Tujuan Deng pada saat itu hanyalah untuk menyelesaikan masalah keruntuhan perekonomian Tiongkok yang terpaksa dihadapi rezim akibat dari 1 dekade berlangsungnya Revolusi Kebudayaan (1966-1976).

Ideologi pemandu Deng Xiaoping, “sang kepala arsitek” ini adalah “menyeberangi sungai lewat meraba bebatuan”, alias bertindak spekulatif dan belum tahu bagaimana hasilnya. Adapun soal apakah yang harus dilakukan rezim setelah membuat beberapa orang menjadi kaya lebih dahulu, jelas dalam benak Deng belum ada jawabannya.

Pada Januari 1979, kurang dari sebulan setelah RRT dan AS menjalin hubungan diplomatik, Deng Xiaoping sudah tidak sabar lagi untuk memulai kunjungan ke Amerika Serikat. Di antara rombongan Deng saat itu terdapat Li Shenzhi, Wakil Presiden Akademi Ilmu Sosial Tiongkok merangkap Direktur Institut Urusan Amerika Serikat. Dalam pesawat khusus yang menerbangkan mereka ke AS ia bertanya kepada Deng: “Mengapa kita begitu mementingkan hubungan dengan Amerika Serikat?” Deng Xiaoping menjawab: “Semua negara yang menjalin hubungan baik dengan Amerika Serikat telah menjadi kaya”. Di kemudian hari, ucapan Deng ini menjadi populer.

Pada tahun 2000, Jiang Zemin yang berwatak licik menerima wawancara eksklusif di program 60 Menit CBS, di sana ia melafalkan potongan Pidato Lincoln di Gettysburg dalam bahasa Inggris. Pidato ini disampaikan oleh Presiden Lincoln pada tahun 1863 untuk memperingati para prajurit yang mengorbankan hidup mereka untuk mengakhiri perbudakan kulit hitam dalam Perang Saudara. Dalam pidatonya ini, Lincoln untuk pertama kali mengemukakan konsep pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Ini adalah sumber asli dari Prinsip Tiga Rakyat yang dianut Sun Yat-sen dalam mendirikan Republik Tiongkok.

Alasan mengapa Jiang Zemin menerima wawancara ini adalah untuk mendapatkan dukungan opini publik AS, dan mencari peluang bagi RRT untuk bergabung dengan WTO.

Dari Deng Xiaoping hingga Jiang Zemin, PKT hanya mempunyai satu tujuan yakni bersandar pada crazy rich. Menggunakan kekayaan dunia bebas Barat untuk memperpanjang umur PKT.

Namun, setelah bergabung dengan WTO pada 2001, dengan masuknya investasi dan teknologi dari Barat ke Tiongkok, dan terbukanya pasar Barat bagi Tiongkok, sikap Beijing terhadap Barat mulai berubah secara bertahap. Dari semboyan “Kebangkitan Negara Besar” pada 2006 hingga “Negeriku yang Luar Biasa” pada 2018, apa yang PKT tunjukkan kepada dunia persis yang dikatakan Deng Xiaoping dalam pidatonya di depan PBB, yaitu Tiongkok “telah berubah warna” dan sedang berjalan menuju “imperialisme sosial”. PKT juga telah memperlihatkan hasratnya untuk menjadi “negara adikuasa” yang “menghegemoni dunia”. Bukankah begitu?

Ekspansi yang disembunyikan dalam kemasan berlabel “kebangkitan”

Dalam 10 tahun pertama (2001-2011) sejak bergabung dengan WTO, Tiongkok yang mengandalkan investasi, teknologi dan pasar dari Barat telah berhasil menaikkan PDB-nya menjadi 10 kali lipat dari sebelumnya. Kinerja dari sikap spekulatif Deng itu rupanya membuat para pemimpin Beijing dapat meninggalkan pemikiran “menyeberangi sungai lewat meraba bebatuan” dan memasuki tahun-tahun “menyeberangi sungai dengan membawa uang”.

Tentu saja PKT merasa lebih kuat setelah mengantongi banyak uang, dan mulai menjalankan diplomasi yang disebut “diplomasi negara besar”. Namun, yang disebut diplomasi negara besar ia interpretasikan sebagai diplomasi “Serigala perang”.

Sejak 2013, PKT mulai melakukan reklamasi pulau-pulau karang dan terumbu di Laut Tiongkok Selatan. Pada 2015, Xi Jinping berjanji kepada Presiden AS Obama bahwa mereka tidak akan memiliterisasi pulau-pulau hasil reklamasi tersebut. Namun hingga 2022, 3 dari 7 pulau buatan dan terumbu karang yang direklamasi oleh PKT di Laut Tiongkok Selatan telah sepenuhnya dipakai untuk kebutuhan militer.

Pada Maret 2019, pesawat militer Tiongkok melintasi garis tengah Selat Taiwan. Ini adalah pertama kalinya dalam hampir 20 tahun sejak Juli 1999 pesawat militer Tiongkok dengan sengaja melintasi perbatasan. Pada September 2020, Kementerian Luar Negeri RRT secara sepihak menyatakan tidak ada garis tengah di Selat Taiwan. Pada Juni 2022, Beijing mengklaim kedaulatan penuh atas Selat Taiwan. Jika kapal AS ingin memasuki Selat Taiwan, mereka harus mendapatkan persetujuan Beijing terlebih dahulu.

Dalam tiga tahun terakhir, militer Tiongkok dan Korea Utara telah berulang kali meluncurkan rudal ke zona ekonomi eksklusif di sekitar Jepang. Jet tempur RRT dan Rusia dalam berbagai formasi gabungan sering kali memasuki zona identifikasi pertahanan udara Korea Selatan. Angkatan Laut RRT dan Rusia telah berkali-kali melakukan latihan militer gabungan di Pasifik Barat dan Laut Tiongkok Selatan. Bahkan, pada Agustus 2023, lokasi latihan militer gabungan RRT dan Rusia telah dipindahkan ke perairan di Kepulauan Aleutian, Alaska yang dekat dengan Amerika Serikat.

Pada Agustus 2023, Beijing merilis peta Tiongkok versi terbaru, yang menimbulkan protes keras dari banyak negara tetangga, termasuk India, Malaysia, Indonesia, Vietnam, Filipina, Brunei, Jepang dan Taiwan.

Pada 24 Oktober 2023, sebuah jet tempur RRT dengan sengaja mengarahkan pesawatnya menubruk ke arah pesawat pembom B-52 AS yang sedang terbang di Laut Tiongkok Selatan, hingga jarak terdekat antara kedua pesawat tersebut kurang dari 3 meter. Hari itu juga, Pentagon mempublikasikan rekaman video kejadian berbahaya itu di situs webnya dan mengklaim bahwa insiden serupa telah terjadi tidak kurang dari 180 kali dalam 2 tahun terakhir.

Dari 2022 hingga 2023, kapal Penjaga Pantai RRT berulang kali memprovokasi kapal Filipina di perairan Filipina. Pada Agustus tahun ini, insiden tersebut meningkat sampai pesawat militer RRT melakukan gerakan yang berbahaya terhadap pesawat militer Filipina. Pada saat yang sama, berbagai latihan militer angkatan laut dan udara Tiongkok acap kali diadakan di sekitar Taiwan. Sejak 17 hingga 18 September 2023, jumlah total pesawat militer yang diterbangkan RRT secara provokatif di Selat Taiwan dalam sehari bisa mencapai 103 kali.

Pada Juli 2024, pesawat pembom dari militer Tiongkok dan Rusia mengadakan latihan gabungan di dekat Alaska, Amerika Serikat.

Pada 9 hingga 11 Juli 2024, NATO mengadakan pertemuan puncak peringatan 75 tahunnya di Washington, ibu kota Amerika Serikat. Sehari sebelum pembukaan KTT NATO tersebut, PKT mengirimkan pasukan khusus angkatan darat ke Belarus untuk melakukan latihan militer bersama dengan tentara Belarusia. Lokasi latihan militer tersebut berjarak kurang dari 5 kilometer dari perbatasan Polandia, atau kurang dari 50 kilometer dari perbatasan Ukraina.

Akibat dari upaya Beijing menerapkan “imperialisme sosial”

Ekspansi Beijing yang tidak terkendali telah menjadikan RRT sebagai negara penantang tatanan dunia terbesar setelah Perang Dunia II, dan sebagai kekuatan “sosial-imperialisme” yang baru muncul setelah berakhirnya Perang Dingin. Tanpa perlu berpanjang lebar, kita sekarang dapat melihat bahwa di bidang keamanan dan ekonomi, komunis Tiongkok sudah tidak lagi berpihak ke dunia Barat, sudah berlawanan dengan semua negara-negara Barat yang menganut kebebasan.

Di satu sisi, negara-negara Barat terus menarik investasinya dari Tiongkok dalam beberapa tahun terakhir seiring dengan meningkatnya risiko geopolitik, mengakibatkan Tiongkok harus kehilangan statusnya sebagai pabrik dunia, dan membuat perekonomian RRT mengalami kelesuan yang berjangka panjang.

Di sisi lain, demi menjaga stabilitasnya sendiri dalam konfrontasi jangka panjang dengan seluruh dunia Barat pada hari-hari mendatang, PKT terpaksa harus membentuk aliansi dengan negara-negara sekitarnya yang sama-sama anti-Amerika Serikat dan anti-Barat. Akibatnya, “Pakta Warsawa” abad ke-21 di Eurasia saat ini dibentuk di sekitar kelompok kepemimpinan poros Beijing, Moskow, Teheran, dan Pyongyang, serta kekuatan negara sub-kelas satu seperti Belarus, Afghanistan, dan Organisasi teroris Timur Tengah.

Akan tetapi, pemimpin “Pakta Warsawa” yang baru ini adalah Partai Komunis Tiongkok.

Konfrontasi global baru di abad ke-21 ini tidak sebatas hanya pada tingkat militer dan keamanan, tetapi juga tercermin pada tingkat ekonomi. Organisasi Kerja Sama Ekonomi Shanghai (SCO) dan Organisasi BRICKS yang dipimpin oleh Partai Komunis Tiongkok dan dipromosikan bersama oleh Rusia, telah menjadi penantang dalam persaingan ekonomi dengan AS dan Eropa dalam Perang Dingin baru ini.

Sejak 2019, Beijing dan Moskow telah bekerja sama untuk mempromosikan tren de-dolarisasi internasional di negara-negara SCO dan BRICKS, dan mendorong negara-negara anggota untuk melakukan transaksi perdagangan luar negeri satu sama lain di luar Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT). Karena dolar AS merupakan mata uang standar untuk transaksi dalam organisasi SWIFT, maka penyelesaian transaksi perdagangan antar negara di luar SWIFT tidak perlu bergantung pada dolar AS.

Dasar nilai dolar adalah kredit dari pemerintah AS. Alasan mengapa RMB dan rubel tidak dapat menggantikan dolar AS adalah karena kelayakan kredit pemerintah Tiongkok dan Rusia tidak dapat melebihi kelayakan kredit pemerintah federal AS. Oleh karena itu, tujuan gerakan de-dolarisasi yang dicanangkan bersama oleh RRT dan Rusia bukan untuk menggantikan status internasional dolar AS, melainkan untuk menyerang kekuatan dasar Amerika Serikat di tingkat ekonomi. Ketika Xi Jinping mengunjungi Kerajaan Arab Saudi, produsen minyak terbesar di dunia ini pada Desember 2022, ia secara terbuka meminta keluarga kerajaan Saudi untuk menerima pembayaran minyak yang dibeli RRT dengan mata uang renminbi. Motif mendasar yang berada di balik tindakan Beijing ini tak lain adalah untuk memenangkan konfrontasi global baru di tingkat ekonomi.

Tentu saja, selain de-dolarisasi, perang tanpa batas yang dilakukan Partai Komunis Tiongkok terhadap Barat di tingkat ekonomi juga mencakup Inisiatif Satu Sabuk Satu Jalan, dumping harga rendah, dan monopoli sumber daya langka.

Memperoleh antipati dari semua orang di dunia

Setelah berakhirnya Perang Dingin, negara-negara Barat mempercayai kebohongan politik dari reformasi institusional yang dijanjikan oleh Partai Komunis Tiongkok. Orang-orang Barat yang berharap dapat membantu PKT dalam pelaksanaan reformasi, dengan semangat pergi ke Tiongkok daratan dengan membawa serta teknologi, dana, dan pasar mereka. Dan selama 20 tahun terakhir ini mereka seakan-akan telah ikut berpartisipasi dalam memperjuangkan kebangkitan PKT. Bahkan orang-orang Barat secara naif percaya bahwa selama mereka berhasil membantu ratusan juta orang rakyat Tiongkok keluar dari kemiskinan, maka PKT akan melakukan reformasi dan menjadikan Tiongkok sebagai anggota dunia demokratis. Ini adalah win-win solution yang diimpikan oleh orang-orang Barat yang naif.

Namun hal yang tidak disangka oleh orang-orang Barat adalah bahwa Partai Komunis Tiongkok tidak memerlukan win-win solution. Tetapi situasi saling menguntungkan yang diinginkan Beijing adalah mau 2 kali menang (ucapan Jin Canrong, seorang pembimbing nasional PKT).

Menurut jajak pendapat Perusahaan AS “GALLUP”, pada Maret 1989, (3 bulan sebelum insiden pembantaian Tiananmen), proporsi jajak pendapat Amerika Serikat yang berpandangan positif terhadap Tiongkok mencapai 72%, sementara hanya 13% responden yang berpandangan negatif. Sejak pembantaian Tiananmen pada 1989 hingga 2019, tingkat jajak pendapat negatif di Tiongkok dalam 30 tahun terakhir terus berfluktuasi di sekitar 50%, sedangkan tingkat jajak pendapat positif hanya berkisar di antara 30 hingg 50%.

Namun angka ini mulai berubah secara signifikan setelah 2019. Pada Februari tahun ini, proporsi responden yang berpandangan negatif terhadap Tiongkok telah naik menjadi 77%, sementara proporsi mereka yang berpandangan positif turun menjadi 20%.

Pada saat yang sama, jajak pendapat yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Pemilu Universitas Nasional Chengchi di Taipei pada Februari tahun ini menunjukkan, bahwa proporsi orang yang menganggap dirinya adalah orang Tiongkok telah turun menjadi 2,4%, mencapai titik terendah sejak 1992.

“Pew Research Center” yang terkenal di Amerika Serikat merilis jajak pendapat pada Juli 2023 tentang pandangan warga Amerika Serikat keturunan Asia terhadap negara-negara Asia dan negara asal mereka. Jajak pendapat tersebut menunjukkan bahwa 52% warga Amerika Serikat keturunan Asia memiliki pandangan negatif terhadap Tiongkok. Sekitar 78% warga Amerika Serikat keturunan Asia memiliki pandangan positif terhadap Amerika Serikat. Pada saat yang sama, 68% dari mereka memiliki pandangan positif terhadap Jepang, 62% berpandangan positif terhadap Korea Selatan, dan 56% terhadap Taiwan. Sekitar 37% warga Amerika Serikat keturunan Asia mempunyai pandangan positif terhadap Vietnam dan Filipina, dan 33% mempunyai pandangan positif terhadap India. Dan hanya 20% yang berpandangan positif terhadap Tiongkok.

Jajak pendapat tersebut juga mencerminkan bahwa bahkan di antara warga Amerika Serikat keturunan Tionghoa, hanya 41% yang memiliki pandangan positif terhadap Tiongkok.

Dengan meninjau kembali pidato Deng Xiaoping pada sesi khusus Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1974, satu pertanyaan yang pasti ditanyakan adalah, apa itu “imperialisme sosial”?

Istilah imperialisme sosial ini pertama kali dikemukakan oleh Vladimir Lenin. Menurut Lenin, imperialisme sosial adalah sosialisme dalam kata-kata, dan imperialisme dalam praktik.

Lenin pernah menyimpulkan bahwa imperialisme adalah tahap tertinggi dari kapitalisme. Jadi, apakah imperialisme sosial juga dapat diartikan sebagai tahap tertinggi dari sosialisme?

Lenin juga mengatakan: Imperialisme adalah kapitalisme yang dekaden, monopolistik, parasit, dan sekarat. Jadi, bisakah kita juga menyimpulkan bahwa imperialisme sosial adalah sosialisme yang korup, monopolistik, parasit, dan sekarat?

Coba kita tanyakan: Apakah negara yang kini didominasi oleh satu partai saat ini tidak korup? Tidak monopoli? Tidak parasit? Jika semua jawabannya diawali masih, (masih korup, masih monopoli, masih parasit), maka menurut penilaian Lenin, negara yang didominasi oleh satu partai ini adalah sebuah kerajaan yang sedang sekarat.

Alasan yang membuat PKT sulit keluar dari kondisi sekaratnya adalah, apa yang diucapkan dalam pidato Deng Xiaoping kepada dunia di depan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1974: “ ….. maka sudah sewajarnya masyarakat dunia memberikan predikat Tiongkok sebagai imperialisme sosial. Hal tersebut perlu diekspos, ditentang, bahkan rezim tersebut harus digulingkan melalui kerja sama dengan rakyat Tiongkok”. (sin/whs)