Persiapan untuk Perang? Tiongkok dan AS Wajibkan Mobil Baru Dilengkapi Radio AM yang Kini Menjadi Sorotan

Saat ini, mobil modern berlomba-lomba memasang perangkat elektronik canggih untuk menarik pelanggan, sementara radio AM (Amplitude Modulation) konvensional mulai ditinggalkan oleh banyak produsen. Namun demikian, baru-baru ini pemerintah AS dan Tiongkok secara bersamaan memutuskan untuk mewajibkan semua mobil baru dilengkapi dengan radio AM. Radio AM memiliki keunggulan dalam menyampaikan informasi meskipun jaringan komunikasi modern lumpuh, sehingga muncul spekulasi bahwa pemerintah kedua negara sedang bersiap menghadapi kemungkinan perang

Liming/ Zheng Yu

Laporan CBS menyebutkan industri radio di Amerika Serikat telah melobi terus-menerus, sehingga Kongres AS mengesahkan “Undang-Undang Radio AM untuk Setiap Kendaraan 2024” (AM Radio for Every Vehicle Act of 2024). Undang-undang ini mewajibkan produsen mobil di AS untuk memasang radio AM di setiap mobil baru “demi kepentingan publik”.

Selama beberapa tahun terakhir, banyak produsen mobil, termasuk Tesla dan Ford, telah memutuskan untuk tidak memasang radio AM pada mobil listrik mereka dengan alasan bahwa radio AM dapat mengganggu sistem penggerak. FM dan siaran satelit dianggap cukup. Namun, pejabat dan anggota parlemen AS berpandangan bahwa dalam keadaan darurat atau perang, radio AM adalah alat komunikasi penting yang dapat memastikan bahwa masyarakat tetap bisa menerima informasi.

Menariknya, Kementerian Perindustrian dan Teknologi Informasi Tiongkok juga mengeluarkan pengumuman pada 18 September, mengumpulkan pendapat publik mengenai rencana pengembangan standar nasional “Sistem Penerima Siaran Nirkabel Mobil”. 

Dalam dokumen yang diterbitkan di situs web kementerian tersebut, disebutkan bahwa “sistem penerima siaran nirkabel di dalam mobil merupakan infrastruktur penting untuk memastikan bahwa masyarakat dapat menerima informasi darurat yang resmi secara cepat dan efektif dalam situasi darurat”. 

Dibandingkan dengan fasilitas komunikasi lainnya, sistem penerima siaran nirkabel memiliki “keunggulan unik” dalam menyampaikan informasi bencana alam dan keselamatan.

AM menyiarkan sinyal dengan cara modulasi amplitudo. Meskipun kualitas suara radio AM tidak sebaik FM, tetapi jangkauan siarannya lebih luas dan dapat menembus bangunan, pegunungan, serta dipantulkan oleh atmosfer. 

Biasanya, FM hanya memiliki jangkauan sekitar 100 km, sementara AM bisa mencapai ribuan kilometer. Dengan kata lain, ketika perang atau bencana alam terjadi dan menyebabkan kerusakan besar pada jaringan internet dan komunikasi modern, radio AM akan menjadi sarana terakhir untuk menyampaikan informasi dalam situasi ekstrem.

Selain itu, penerima radio sederhana, murah, dan mudah diproduksi massal. Jika terjadi perang atau bencana, perangkat komunikasi kuno ini dapat segera diproduksi secara massal untuk keadaan darurat.

Dalam latar belakang meningkatnya ketegangan geopolitik antara AS dan Tiongkok, keputusan kedua negara yang hampir bersamaan untuk mewajibkan pemasangan radio AM pada mobil baru menarik perhatian media. Beberapa pihak berpendapat bahwa keputusan ini mungkin merupakan persiapan untuk perang atau bencana besar.

Perlu dicatat, pada 13 Juni 2023, Komisi Peninjauan Ekonomi dan Keamanan AS-Tiongkok (USCC) di bawah Kongres AS mengadakan sidang tentang potensi konflik di Selat Taiwan dan Laut China Selatan. 

Dalam sidang tersebut, beberapa ahli AS mengatakan bahwa pemerintah PKT sedang mempersiapkan diri untuk konflik di Selat Taiwan dan bahkan perang langsung dengan AS. Mereka menyarankan agar AS memperkuat pengawasan terhadap cadangan Tiongkok di bidang militer, keuangan, energi, pangan, dan tanda-tanda mobilisasi perang.

Anggota USCC, Cliff Sims, menyatakan pada awal sidang bahwa persiapan strategis Tiongkok untuk “situasi terburuk dan ekstrem” telah menyusup ke seluruh lapisan negara. Dia mengungkapkan bahwa beberapa intelijen AS memperkirakan bahwa militer Partai Komunis Tiongkok (PKT) mungkin sudah siap untuk perang paling cepat tahun depan.

Anggota lain, Carte Goodwin, juga menyoroti bahwa Tiongkok telah mengambil serangkaian langkah untuk memperkuat cadangan pangan dan energi guna menghadapi potensi konflik.

Namun demikian, peneliti dari the Council on Foreign Relations (CFR), Zongyuan Zoe Liu, berpendapat bahwa meskipun situasi ekstrem tersebut mungkin mengacu pada konflik di Laut China Selatan atau Selat Taiwan.  Selain itu, juga bisa disebabkan oleh aktivitas mata-mata industri Tiongkok yang mengakibatkan sanksi dari Barat. 

“Saya memang percaya bahwa Tiongkok sedang mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk, tetapi saya melihat Tiongkok lebih berfokus untuk mengurangi kerentanannya daripada secara aktif memulai perang,” ujarnya. (Hui)