EtIndonesia. Polisi Tiongkok menangkap empat eksekutif Taiwan yang bekerja di Foxconn dengan tuduhan “penerimaan suap ilegal,” yang menyebabkan mereka belum bisa kembali ke Taiwan. Dewan Urusan Daratan Taiwan (MAC) menyatakan bahwa kasus ini sangat aneh dan tidak menutup kemungkinan bahwa ini adalah hasil dari penyalahgunaan wewenang oleh beberapa polisi yang korup.
Menurut pernyataan MAC pada hari Rabu (8/10), keempat eksekutif tersebut ditahan di Zhengzhou karena dugaan “penerimaan suap ilegal”. Zhengzhou adalah lokasi pabrik perakitan iPhone terbesar di dunia, milik Foxconn, anak perusahaan Hon Hai Precision Industry Co., Ltd.
MAC mengutip pernyataan Hon Hai yang mengatakan bahwa karyawan tersebut tidak merugikan perusahaan, dan perusahaan tidak pernah melaporkan kasus apa pun ke polisi Tiongkok.
MAC menyebut tuduhan terhadap mereka sangat aneh. Dalam pernyataannya, MAC menyebutkan bahwa insiden ini mungkin disebabkan oleh penyalahgunaan kekuasaan oleh beberapa aparat setempat, yang telah secara serius merusak kepercayaan perusahaan. MAC mendesak Pemerintah Tiongkok untuk segera menyelidiki dan menangani masalah ini.
Sebelumnya, ada laporan bahwa karyawan Foxconn di Tiongkok telah memberi tahu keluarga eksekutif Taiwan bahwa insiden ini adalah hasil dari konspirasi antara pihak setempat dan polisi Tiongkok untuk menciptakan kasus palsu demi keuntungan pribadi.
Menurut laporan Bloomberg, alasan pasti di balik penangkapan mereka masih belum jelas. Pabrik Foxconn di Zhengzhou adalah pusat perakitan iPhone terbesar di dunia, yang dijuluki “Kota iPhone”. Pabrik tersebut mempekerjakan ratusan ribu pekerja.
Media Taiwan melaporkan bahwa empat karyawan Hon Hai ini ditangkap oleh polisi setempat di Zhengzhou awal tahun ini dengan tuduhan “penerimaan suap ilegal”. Dua dari mereka tidak dapat dibuktikan menerima aliran dana suap, sehingga dituduh oleh polisi atas dugaan penyalahgunaan dana.
Dalam beberapa tahun terakhir, banyak eksekutif perusahaan asing di Tiongkok yang ditahan oleh pihak berwenang Tiongkok, yang memicu kekhawatiran akan keselamatan karyawan di perusahaan multinasional. Seorang eksekutif dari perusahaan farmasi Jepang, Astellas Pharma Inc., dituntut atas tuduhan spionase pada Agustus 2024 lalu, sementara seorang jurnalis Australia, Cheng Lei, dibebaskan tahun lalu setelah ditahan selama lebih dari tiga tahun.
Sebelum eksekutif Astellas tersebut dituntut, Beijing mendenda perusahaan riset asal Amerika, Mintz Group, sekitar 1,5 juta dolar AS atas tuduhan pengumpulan data ilegal. Beberapa bulan sebelumnya, pejabat Tiongkok menggerebek kantor perusahaan itu dan menahan lima karyawan Tiongkoknya.
Lebih banyak insiden serupa terjadi pada tahun 2023. Perusahaan konsultasi AS, Bain & Co., menyatakan bahwa otoritas Tiongkok telah menanyai karyawan di kantor mereka di Shanghai. Badan keamanan nasional Tiongkok juga secara terbuka merilis penggerebekan terhadap perusahaan konsultasi Capvision, yang berbasis di New York dan Shanghai, menuduh perusahaan tersebut membantu spionase kekuatan asing.
Pihak berwenang juga menahan seorang eksekutif dari WPP Group, salah satu perusahaan iklan terbesar di dunia, serta dua mantan karyawan mereka.
Pada bulan Juni, MAC meningkatkan level peringatan perjalanan ke Tiongkok menjadi yang tertinggi kedua, menyarankan warga Taiwan untuk menghindari perjalanan yang tidak penting guna menghindari kemungkinan penahanan atau interogasi ilegal, terutama setelah Beijing memperketat undang-undang keamanan nasionalnya.
Seiring dengan tindakan keras dari Pemerintah Tiongkok dan ketidakpastian ekonomi di negara itu, perusahaan asing mulai menarik diri dari Tiongkok. Beberapa merek top Amerika seperti Apple, Starbucks, dan McDonald’s mulai mencari cara untuk mengurangi ketergantungan mereka pada pasar Tiongkok.
Pada bulan Agustus, pemerintah kota Shanghai mengakui bahwa salah satu tantangan ekonomi yang paling mendesak saat ini adalah “pengosongan rantai produksi Apple,” mengacu pada keputusan Apple untuk memindahkan sebagian produksi elektroniknya ke negara-negara seperti India dan Vietnam. (jhn/yn)