EtIndonesia. Menteri Pertahanan Philipina, Gilberto Teodoro Jr., pada hari Senin (14/10) menyatakan bahwa meskipun Manila menginginkan dialog terkait masalah Laut China Selatan, Philipina tetap meragukan niat tulus Tiongkok dalam perundingan terkait kode etik di kawasan tersebut.
Baru-baru ini, Presiden Philipina Ferdinand Marcos Jr. menyampaikan seruan paling kuat dalam pertemuan ASEAN, mendesak Tiongkok dan ASEAN untuk mempercepat penyusunan “Kode Etik di Laut China Selatan” yang telah lama tertunda guna meredakan ketegangan di kawasan tersebut. Dia mengecam ancaman dan provokasi dari Beijing serta memperingatkan bahwa kerjasama ekonomi saja tidak cukup untuk meredakan kekhawatiran keamanan di kawasan tersebut.
Teodoro menyatakan bahwa meskipun Presiden Marcos telah menyetujui adanya pembicaraan “dengan niat baik” dengan Tiongkok terkait kode etik yang tertunda, dia meragukan ketulusan Beijing dalam hal ini.
Reuters mengutip pernyataan Teodoro yang mengatakan: “Sejujurnya, saat ini saya belum melihat adanya niat tulus dari Tiongkok.”
Kedutaan Besar Tiongkok di Manila tidak segera menanggapi permintaan tanggapan dari Reuters.
Menurut laporan Reuters, pada 9 Oktober, dalam KTT yang diadakan di ibu kota Laos, Vientiane, Marcos menekankan kepada para pemimpin ASEAN dan Perdana Menteri Tiongkok Li Qiang bahwa masalah Laut China Selatan harus mencapai kemajuan yang nyata. Dia menyatakan bahwa semua pihak harus menangani perbedaan dengan sikap yang “tulus dan terbuka” agar dapat meredakan ketegangan.
Dalam pernyataan dari kantor Marcos, dia menegaskan bahwa “negosiasi Pedoman Perilaku ASEAN-Tiongkok harus dipercepat.” Dia juga menyatakan: “Sangat disayangkan bahwa situasi keseluruhan di Laut China Selatan tetap tegang tanpa adanya perubahan. Kami terus-menerus menghadapi gangguan dan intimidasi (dari Tiongkok).”
Pihak Tiongkok mengklaim hampir seluruh Laut China Selatan sebagai wilayahnya, termasuk zona ekonomi eksklusif negara anggota ASEAN seperti Malaysia, Brunei, Filipina, dan Vietnam.
Pada tahun 2016, Pengadilan Internasional di Den Haag memutuskan bahwa klaim luas Tiongkok atas Laut China Selatan tidak memiliki dasar hukum, tetapi Beijing menolak untuk menerima keputusan tersebut.
“Pedoman terkait Kode Etik di Laut China Selatan” adalah kesepakatan yang diusulkan antara ASEAN dan Tiongkok, yang bertujuan untuk menetapkan aturan perilaku di wilayah yang diperebutkan, termasuk janji untuk menghindari militerisasi, menghormati kebebasan navigasi, serta menyelesaikan perselisihan secara damai. Negosiasi terkait kesepakatan ini telah berlangsung selama beberapa dekade.
Pada Minggu (13/10), dalam pernyataan ketua usai penutupan KTT ASEAN, para pemimpin menyerukan agar Tiongkok dan ASEAN segera mencapai kesepakatan terkait “Kode Etik di Laut China Selatan” berdasarkan hukum internasional.
South China Morning Post mengutip pernyataan Chester Cabalza, ketua lembaga pemikir yang berbasis di Manila Organisasi Kerjasama Pembangunan dan Keamanan Internasional (IDSC), yang mengatakan bahwa Tiongkok telah lama menggunakan perdagangan dan investasi sebagai alat tawar untuk membuat negara-negara ASEAN tetap diam dalam konflik Laut China Selatan. Namun, dengan meningkatnya minat investasi dari negara-negara Barat yang maju, strategi ini “tidak lagi efektif.”
Amerika Serikat telah beberapa kali memperingatkan bahwa jika tentara, kapal, atau pesawat Philipina diserang oleh angkatan bersenjata Tiongkok, AS berkewajiban melindungi sekutunya di Asia.
Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, dalam pertemuan ASEAN, berjanji bahwa Amerika Serikat akan terus menjaga kebebasan dan keamanan jalur perdagangan laut yang penting di Laut China Selatan. Dia menekankan bahwa AS masih merupakan investor asing terbesar di kawasan ini dan berkomitmen untuk memperkuat kemitraan dengan ASEAN. (jhn/yn)