EtIndonesia. Pada 14 Oktober lalu, pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un, memerintahkan brigade artileri untuk bersiap dalam keadaan siaga tembak, sebuah tindakan militer mendadak yang tidak hanya meningkatkan ketegangan antara kedua Korea, tetapi juga menarik perhatian dunia.
Latihan ini disertai dengan serangkaian manuver politik dan ancaman militer, terutama serangkaian provokasi terbuka Korea Utara terhadap Korea Selatan. Pengamat politik Wu Jianmin berpendapat bahwa konfrontasi militer antara Korea Utara dan Korea Selatan bukan hanya persaingan antar kedua negara, tetapi juga mencerminkan pertarungan politik internasional yang kompleks.
Pada 14 Oktober 2024, Kim Jong Un memerintahkan brigade artileri Korea Utara untuk bersiap dalam keadaan siaga tembak dan menyatakan “perang hampir terjadi.” Korea Selatan segera merespon dengan mengerahkan kendaraan lapis baja dan kendaraan transportasi pasukan ke arah Garis Demarkasi Militer, menunjukkan kesiapan untuk bertempur kapan saja.
Media resmi Korea Utara, KCNA, melaporkan bahwa militer Korea Utara telah menghancurkan sebagian jalan dan jalur kereta api yang menghubungkan Korea Utara dengan Korea Selatan pada hari Selasa, sebuah langkah yang dianggap perlu dan sah karena situasi keamanan yang sangat genting akibat provokasi politik dan militer oleh “kekuatan musuh”, yang membuat negara itu berada di ujung perang.
Pada tanggal 17 Oktober, media resmi Korea Utara mengonfirmasi bahwa melalui amandemen konstitusi, Korea Selatan telah ditetapkan secara resmi sebagai “negara musuh”. Majelis Rakyat Tertinggi Korea Utara telah mengamandemen konstitusi lebih awal bulan ini, menurut sumpah Kim Jong Un untuk meninggalkan tujuan unifikasi sebagai tujuan nasional.
Wu Jianmin dalam program YouTube-nya menganalisis bahwa tindakan Kim Jong Un di atas tampaknya sebagai ancaman militer, tetapi sebenarnya memiliki motif politik yang lebih dalam. Korea Utara telah menghancurkan jalan yang menghubungkan Korea Utara dan Korea Selatan, mengklaim hal itu dilakukan untuk mencegah invasi darat oleh Korea Selatan, tetapi tujuan sebenarnya adalah untuk mencegah warga Korea Utara melarikan diri ke Korea Selatan melalui jalan-jalan tersebut selama konflik.
Mobilisasi militer Korea Utara menunjukkan sensitivitas tinggi rezim terhadap situasi internal. Kim Jong Un menyadari bahwa perang modern tidak lagi bergantung pada serangan darat berskala besar, dan hasil pertempuran lebih banyak ditentukan oleh serangan tepat sasaran dan kontrol tingkat tinggi. Oleh karena itu, apa yang disebut “siaga perang tingkat satu” oleh Korea Utara lebih merupakan sikap politik, bertujuan untuk menunjukkan “kekuatan stabil dinasti Kim” kepada publik dalam negeri, sementara juga mengirimkan sinyal keras ke komunitas internasional. Situasi militer yang tiba-tiba ini sebenarnya menyembunyikan latar belakang politik, ekonomi, dan sosial konflik panjang antara Korea Utara dan Korea Selatan.
Dilema Internal Korea Utara dan Permainan Internasional
Wu Jianmin menyebutkan bahwa Korea Utara menghadapi banyak masalah internal, termasuk kemerosotan ekonomi, kekurangan pangan, dan sanksi internasional yang telah memperburuk kondisi kehidupan rakyatnya secara dramatis. Dalam beberapa tahun terakhir, seiring dengan meningkatnya sanksi internasional terhadap pengembangan senjata nuklir Korea Utara, cadangan devisa dan sumber ekonomi negara itu hampir habis. Untuk meredakan krisis domestik, Kim Jong Un harus bergantung pada dukungan dari Tiongkok dan Rusia.
Sejak meletusnya perang Rusia-Ukraina, hubungan antara Korea Utara dan Rusia menjadi lebih dekat. Rusia membeli senjata dari Korea Utara dan menggunakan personel militer Korea Utara untuk mendukung operasi tempur di medan perang Ukraina, memberikan dana dan bantuan materi yang signifikan kepada Korea Utara. Kim Jong Un menggunakan kesempatan ini untuk terus memperkuat persenjataan Korea Utara, mencoba memanfaatkan kekacauan situasi internasional untuk mendapatkan keuntungan lebih banyak. Namun, meskipun Kim Jong Un mendapatkan beberapa dukungan ekonomi, hal tersebut tidak cukup untuk menyelesaikan masalah mendalam di dalam negeri.
Kemiskinan dan penindasan di Korea Utara, khususnya perbedaan kekayaan yang besar antara dinasti Kim dan rakyat biasa, secara bertahap memperdalam ketidakpuasan sosial di dalam masyarakat Korea Utara. Kim Jong Un dengan ketat dan secara otoriter mencoba mengendalikan situasi untuk mencegah pemberontakan rakyat. Namun, dia juga menyadari bahwa jika situasi lepas kendali, yang pertama kali terancam adalah dirinya sendiri dan seluruh dinasti Kim. Sanksi internasional terhadap Korea Utara, terutama dari Amerika Serikat dan PBB, memaksa Korea Utara untuk mencari jalan keluar baru. Kim Jong Un mencoba mencari pengaruh yang lebih besar di Asia Timur melalui kerja sama dengan Putin dan Xi Jinping. Dia berharap melalui aliansi dengan Tiongkok dan Rusia untuk mendapatkan lebih banyak dukungan militer dan ekonomi. Namun, ketergantungan ini juga membuat Korea Utara semakin terisolasi di panggung internasional. Komunitas internasional secara luas mengutuk catatan hak asasi manusia dan perilaku ancaman nuklir Korea Utara, membuat jalur Kim Jong Un untuk mendapatkan pengakuan internasional semakin sulit.
Risiko Perang Korea Utara vs Korea Selatan dan Intervensi Internasional
Ketegangan militer antara Korea Utara dan Korea Selatan bukan hanya pertarungan antara dua negara, tetapi juga melibatkan permainan kekuatan besar. Amerika Serikat, Jepang, serta Tiongkok dan Rusia, semuanya memainkan peran penting dalam isu Semenanjung Korea. Khususnya, kerja sama militer antara Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan sangat meningkatkan kemampuan penangkalan terhadap Korea Utara.
Pada tahun 2023, Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan secara resmi menandatangani perjanjian aliansi militer tiga pihak, memperkuat kerja sama pertahanan di Asia Timur. Amerika Serikat tidak hanya menyediakan peralatan militer canggih kepada Korea Selatan dan Jepang, tetapi juga melalui latihan militer dan berbagi intelijen, memastikan ketiga negara tetap konsisten dalam menghadapi ancaman Korea Utara. Kehadiran aliansi ini membuat Korea Utara harus mempertimbangkan reaksi Amerika Serikat dan Jepang saat mencoba memprovokasi Korea Selatan.
Di sisi lain, Tiongkok dan Rusia menjaga jarak mengenai isu Korea Utara. Meskipun Tiongkok secara resmi mendukung stabilitas dan perdamaian di Semenanjung Korea, namun hubungan antara Beijing dan Pyongyang tetap kompleks. Tiongkok tidak ingin melihat kejatuhan rezim Korea Utara, karena hal itu akan menyebabkan pengungsi membanjiri timur laut Tiongkok dan juga akan memungkinkan pengaruh Amerika Serikat ke perbatasan Tiongkok. Namun, Beijing tidak senang dengan uji coba nuklir dan peluncuran misil Korea Utara, sehingga dalam beberapa kasus mengadopsi kebijakan dukungan yang “terbatas” terhadap Korea Utara.
Rusia adalah pendukung penting Korea Utara dalam hal militer dan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir. Sejak perang Ukraina, Putin dan Kim Jong Un telah bertemu beberapa kali, mencapai serangkaian kesepakatan kerja sama militer. Rusia menyediakan senjata, teknologi, dan dana sebagai imbalan atas dukungan militer Korea Utara. Kerja sama ini tidak hanya membantu meringankan tekanan ekonomi Korea Utara tetapi juga memberi Kim Jong Un lebih banyak keberanian dalam tindakan provokatifnya di Asia Timur. Namun, dukungan Rusia juga memiliki batasannya; Putin tidak ingin aksi militer Korea Utara menjadi terlalu eskalatif, karena itu bisa memicu balasan gabungan dari Amerika Serikat, Korea Selatan, dan Jepang, dan bahkan bisa menyebabkan Rusia sendiri menjadi lebih terisolasi secara internasional.
Wu Jianmin mengatakan, bahwa meskipun pertarungan militer antara Korea Utara dan Korea Selatan tampak tegang, namun kedua belah pihak sebenarnya tetap berhati-hati terhadap perang total. Kim Jong Un menyadari bahwa Korea Utara, baik dalam hal kekuatan ekonomi, peralatan militer, maupun dukungan internasional, tidak bisa bersaing dengan Korea Selatan. Lebih lanjut, jika perang pecah, aliansi Amerika Serikat-Korea Selatan-Jepang akan sepenuhnya menghancurkan infrastruktur militer Korea Utara, dan bahkan bisa mengakhiri rezim Kim.
Namun, awan perang belum sepenuhnya menghilang. Situasi di Semenanjung Korea sangat tidak stabil, dan setiap provokasi militer bisa memicu reaksi berantai. Aksi drone Korea Selatan dan serangan balon Korea Utara, meskipun tampak sebagai konfrontasi skala kecil, sebenarnya menyembunyikan perang psikologis besar di antara mereka. Konfrontasi antara Korea Utara dan Korea Selatan tidak hanya mempengaruhi keamanan kedua negara tetapi juga langsung mengancam perdamaian dan stabilitas di Asia Timur.
Peran Masyarakat Internasional dan Prospek Masa Depan
Wu Jianmin menekankan bahwa konflik antara Korea Utara dan Korea Selatan bukanlah masalah regional semata, tetapi juga memiliki dampak mendalam terhadap tatanan politik global. Negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Jepang, Tiongkok, dan Rusia telah menginvestasikan banyak energi dalam isu ini. Di masa depan, bagaimana masyarakat internasional terlibat, menengahi, dan menyelesaikan konflik ini akan menentukan arah masa depan Semenanjung Korea.
Saat ini, ada kesepakatan umum di masyarakat internasional bahwa masalah Korea Utara harus diselesaikan melalui cara-cara diplomatik. Meskipun Korea Utara telah berulang kali melakukan uji coba rudal dan mengancam akan menggunakan senjata nuklir, masyarakat internasional tetap berkomitmen untuk memaksa Korea Utara menghentikan program nuklirnya melalui kombinasi negosiasi dan sanksi. Namun, sensitivitas tinggi rezim Korea Utara terhadap tekanan eksternal membuat setiap negosiasi penuh dengan ketidakpastian.
Sikap Amerika Serikat dalam masalah Semenanjung Korea sangat jelas, yaitu tidak akan membiarkan Korea Utara menggunakan ancaman nuklir untuk menyandera masyarakat internasional. Amerika Serikat telah berulang kali menyatakan bahwa jika Korea Utara terus melakukan uji coba nuklir, Amerika akan semakin memperketat sanksi terhadap Korea Utara dan bekerja sama dengan sekutu-sekutunya untuk mengambil tindakan militer yang lebih tegas. Di sisi lain, Amerika Serikat juga bersedia melakukan dialog langsung dengan Korea Utara dalam kondisi tertentu, dengan harapan dapat menghindari perang melalui jalur diplomatik.
Bagi Tiongkok, menjaga stabilitas di Semenanjung Korea adalah tujuan strategis yang paling penting. Tiongkok tidak ingin melihat runtuhnya rezim Korea Utara, karena hal ini akan memicu ketidakstabilan regional yang sulit diprediksi. Namun, Tiongkok juga tidak ingin Korea Utara melangkah terlalu jauh dalam isu senjata nuklir, karena ini tidak hanya mengancam keamanan Tiongkok, tetapi juga bisa mendorong lebih banyak negara untuk bergabung dalam sistem keamanan Asia Timur yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Oleh karena itu, Tiongkok telah menerapkan kebijakan seimbang dalam menghadapi masalah Korea Utara, baik dengan memberikan bantuan untuk menjaga stabilitas rezim Korea Utara, maupun dengan memberikan tekanan dalam kerangka sanksi internasional.
Di masa depan, situasi di Semenanjung Korea kemungkinan besar akan tetap berada dalam kondisi “ketegangan tingkat rendah”. Sementara di kedua belah pihak, Korea Utara dan Korea Selatan, akan tetap mempertahankan konfrontasi militer dalam batasan tertentu, tetapi kemungkinan terjadinya perang skala penuh tetap rendah. Bagi Kim Jong-un, melancarkan perang tidak hanya berisiko menggulingkan rezimnya, tetapi juga akan memperburuk krisis ekonomi Korea Utara. Oleh karena itu, dia lebih mungkin untuk terus menggunakan “diplomasi ancaman” untuk mendapatkan keuntungan, daripada benar-benar melancarkan aksi militer besar-besaran.
Wu Jianmin berpendapat bahwa meskipun masa depan Semenanjung Korea penuh dengan ketidakpastian, namun upaya bersama dari masyarakat internasional akan membantu meredakan ketegangan.(jhn/yn)