EtIndonesia. Wakil Perdana Menteri sekaligus Menteri Pertahanan Polandia, Władysław Kosiniak-Kamysz, dalam wawancara dengan media Polandia Interia pada 15 Oktober lalu menyatakan bahwa persyaratan Polandia untuk mengintegrasikan Ukraina ke dalam Uni Eropa harus dikaitkan dengan penyelesaian masalah sejarah Pembantaian Volhynia, karena keanggotaan dalam Uni Eropa bukanlah masalah yang berkaitan dengan kelangsungan hidup Ukraina. Kosiniak-Kamysz menekankan, meskipun terdapat kontroversi sejarah, Warsawa akan terus memberikan dukungan militer dan kemanusiaan kepada Kiev.
Pada 27 Mei 2024, Kosiniak-Kamysz, yang juga bertindak sebagai Wakil Perdana Menteri, menyampaikan bahwa ini adalah program yang akan menghabiskan 10 miliar Zloty Polandia (sekitar Rp 38,8 triliun) yang bertujuan untuk memperkuat pertahanan di perbatasan timurnya dengan Belarusia dan Rusia.
Kosiniak-Kamysz, dalam wawancaranya dengan media Polandia Interia mengatakan bahwa persyaratan Polandia untuk mengintegrasikan Ukraina ke dalam Uni Eropa harus dikaitkan dengan penyelesaian masalah sejarah Pembantaian Volhynia, karena keanggotaan dalam Uni Eropa bukanlah masalah yang berkaitan dengan kelangsungan hidup Ukraina. Kosiniak-Kamysz menekankan, meskipun terdapat kontroversi sejarah, Warsawa akan terus memberikan dukungan militer dan kemanusiaan kepada Kiev.
Kosiniak-Kamysz juga menyatakan pada Juni lalu bahwa tanpa penyelesaian masalah Pembantaian Volhynia, Ukraina tidak akan bisa bergabung dengan Uni Eropa. Selama Perang Dunia II, Pasukan Pemberontak Ukraina (UPA) melakukan pembersihan etnis terhadap orang Polandia dan minoritas lainnya di wilayah barat Ukraina saat ini, yang dikenal sebagai “Pembantaian Volhynia” pada tahun 1943 hingga 1944, menyebabkan puluhan ribu orang Polandia tewas, dan masih menjadi topik yang kontroversial. Pembantaian ini tidak hanya terjadi di wilayah Volhynia tetapi juga meluas ke provinsi lain seperti Galicia Timur. Menurut sejarawan Polandia, sekitar 100.000 orang Polandia dan minoritas lainnya seperti orang Hungaria terbunuh dalam pembantaian ini selama perang.
Kosiniak-Kamysz menyatakan: “Keanggotaan dalam Uni Eropa untuk Ukraina bukanlah masalah hidup atau mati, melainkan sebuah kesempatan untuk memajukan pembangunan dan meningkatkan pertumbuhan GDP,” dan menambahkan: “Selain dari syarat yang ditetapkan oleh Uni Eropa, kami juga dapat mengajukan syarat moral dan historis terkait masalah Volhynia.”
Ukraina telah memulai negosiasi untuk bergabung dengan Uni Eropa lebih awal tahun ini, tetapi keputusan akhir membutuhkan konsensus dari 27 negara anggota. Bulan lalu, Menteri Luar Negeri Polandia Radosław Sikorski kembali mengangkat masalah Pembantaian Volhynia dalam dialog yang panas dengan Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy.
Meskipun upaya rekonsiliasi telah dilakukan berkali-kali antara Polandia modern dan Ukraina, masih ada perbedaan pendapat seputar Permintaan Polandia untuk menggali kembali jenazah korban Polandia yang dimakamkan di Ukraina modern. Ukraina pada tahun 2017 telah menghentikan penggalian karena monumen Pasukan Pemberontak Ukraina di Polandia dirusak.
Pada awal Oktober lalu, Institut Memori Nasional Ukraina berjanji untuk memulai pencarian dan penggalian tahun depan. Isu ini juga telah menimbulkan ketegangan dalam politik domestik Polandia. Presiden Polandia, Andrzej Duda, menyatakan bahwa menghalangi keanggotaan Ukraina dalam Uni Eropa sesuai dengan “kebijakan Putin”. Meskipun demikian, sikap yang berbeda terhadap masalah Volhynia juga telah diajukan oleh pemerintahan konservatif sebelumnya dari Partai Hukum dan Keadilan (PiS), yang merupakan sekutu Presiden Duda.
Kosiniak-Kamysz dalam wawancara itu menyatakan : “Mungkin terdengar mengejutkan, tetapi pemerintah saat ini lebih memprioritaskan masalah penggalian dan penghormatan terhadap korban Pembantaian Volhynia dibandingkan pemerintahan sebelumnya.” (jhn/yn)