Dokumenter pemenang penghargaan State Organs akan ditayangkan selama seminggu mulai 15 November.
ETIndonesia—Para penonton yang menghadiri pemutaran dokumenter tentang pemanenan organ secara paksa berharap lebih banyak orang-orang mengetahui tentang kejahatan negara mengerikan ini yang terjadi di Tiongkok.
Nabil Hamati, warga Brooklyn yang bekerja di bidang medis, mengatakan kepada The Epoch Times bahwa film ini, yang diputar pada 9 November di bioskop Village East by Angelika, memberikan perspektif baru padanya dan membuatnya bersyukur dengan kehidupan yang ia miliki di Amerika. Dia mengaku tidak mengetahui tentang praktik negara Tiongkok yang melakukan pemanenan organ paksa terhadap para tahanan hati nurani sebelum menonton dokumenter ini. Ia merasa tersentuh atas ketabahan dua keluarga dalam film tersebut dalam mencari orang-orang mereka tercinta.
“Sejak zaman Yesus hingga sekarang, harapan adalah satu-satunya yang kita miliki,” kata Hamati.
“Jadi jika Anda tidak memiliki harapan, Anda mungkin akan menyerah dan melupakannya. Jadi, bagus bahwa orang-orang memiliki harapan, terus berjuang, dan mudah-mudahan suatu hari kita bisa menempatkan Partai Komunis [Tiongkok] di masa lalu.”
Dokumenter State Organs: Unmasking Transplant Abuse in China mendalami kisah Yun Zhang dan Shawn Huang, yang hilang secara misterius pada awal 2000-an. Film ini menggambarkan perjalanan memilukan keluarga mereka yang mencarinya selama lebih dari 20 tahun. Dalam pencarian tersebut, mereka menemukan industri pemanenan organ yang dilegalkan oleh rezim komunis Tiongkok.
Hamati mendorong orang lain agar menyebarkan berita ini, yang mana akan menginspirasi “seluruh komunitas manusia untuk bekerja bersama mengakhiri masalah besar ini.”
Adiknya, Maya Hamati, mengatakan bahwa film ini “sangat informatif.” “Setidaknya saya rasa yang paling bisa kita lakukan adalah menyebarkan kesadaran tentang hal-hal semacam ini,” katanya kepada The Epoch Times.
“Setelah Perang Dunia II, kita diberitahu ‘tidak pernah lagi,’ tetapi telah ada banyak contoh di mana ‘tidak pernah lagi’ terjadi lagi dan terus terjadi.” Oleh karenanya, Maya menambahkan. film ini perlu dibicarakan dan dipahami. “Karena semakin banyak kita melakukannya, semakin sedikit ruang bagi lebih banyak korupsi.”
Selama beberapa dekade, Tiongkok menjadi salah satu tujuan utama untuk transplantasi organ. Pasalnya, rumah sakit di sana sering menawarkan waktu tunggu singkat untuk organ yang cocok. Fenomena ini dimungkinkan karena Partai Komunis Tiongkok memperlakukan para tahanannya, terutama yang dipenjara karena keyakinan mereka, sebagai “bank organ hidup.”
‘Membawanya ke Cahaya’
Pada tahun 2020, pengadilan independen berbasis di London mengeluarkan putusan penuh setelah penyelidikan selama 18 bulan. Tribunal tersebut menemukan, dengan keyakinan tinggi, bahwa rezim Tiongkok telah memanen organ secara paksa dari tahanan hati nurani selama bertahun-tahun, dengan korban utama adalah praktisi Falun Gong.
Falun Gong, juga dikenal sebagai Falun Dafa, adalah latihan meditasi spiritual yang didasarkan pada prinsip Sejati-Baik-Sabar. Praktisi Falun Gong telah mengalami penganiayaan brutal di Tiongkok sejak 1999.
Lynne Dilorenzo, seorang pemilik bisnis, terharu setelah menonton dokumenter tersebut. Dia merasa tersentuh oleh kisah seorang guru yang disiksa dan dilecehkan secara seksual di penjara sebelum dokter mengambil organ-organnya. Wanita itu kemungkinan meninggal “untuk seseorang yang mungkin kaya, yang mampu membeli organ,” katanya kepada The Epoch Times.
“Siapa saja orang-orang ini yang menerima organ? Apakah mereka mengetahui bagaimana cara organ-organ itu didapatkan?”
Dilorenzo mengatakan menonton film tersebut membuatnya merasa “sangat berat,” dan dia berencana memberitahukan kepada keluarga dan temannya tentang film ini.
“Semua orang perlu menyadari apa yang sedang terjadi, karena ini adalah genosida, dan kita semua perlu mengungkapnya dan menghentikannya,” ujarnya.
Kevin Dious, kepala staf CEO Reddit, mengatakan kepada The Epoch Times bahwa “tragis dan menyedihkan” mengetahui tentang penganiayaan di Tiongkok. Dia mengkhawatirkan bahwa hal-hal seperti ini masih bisa terjadi dan tersembunyi di era teknologi dan media modern ini.
“Kita harus menceritakan kisah-kisah ini dan orang-orang perlu mengetahuinya,” katanya.
“Inilah kekuatan film, dapat menjangkau orang-orang dengan cara yang mungkin tidak bisa dilakukan media pada umumnya.”
Setelah pemutaran film, sutradaranya, pemenang Penghargaan Peabody Raymond Zhang, menjawab pertanyaan dari penonton. Dia berbicara tentang bagaimana beberapa bioskop di Taiwan menerima ancaman bom karena menayangkan film tersebut pada Oktober.
Biro Investigasi Kriminal Taiwan, dalam pernyataan yang dikeluarkan pada 9 Oktober, mengatakan ancaman bom dikirim dari alamat IP luar negeri melalui proxy VPN. Biro Investigasi Taiwan mengatakan tidak menemukan bahan peledak di bioskop mana pun dan mengimbau masyarakat agar tetap tenang.
Zhang mengatakan kepada The Epoch Times bahwa dia lahir di Tiongkok dan masih mencintai tanah kelahirannya. Harapan terbesarnya adalah agar rakyat di sana bisa “hidup lebih aman,” ujarnya.
Cinema Village di Greenwich Village, Manhattan, dijadwalkan untuk menayangkan film ini mulai 15 November. (asr)
Sumber : The Epoch Times