EtIndonesia. Pada masa pertama Donald Trump menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat tahun 2017 lalu, dia melancarkan perang dagang terhadap Tiongkok dengan alasan melawan “perdagangan tidak adil”. Kebijakan ini membawa dampak besar terhadap perdagangan global dan rantai pasokan dunia. Kini, Trump akan kembali dilantik sebagai Presiden AS dalam dua bulan mendatang dan telah menyatakan kemungkinan untuk meningkatkan perang dagang sebagai bagian dari agenda “Make America Great Again”. Sebagai ekonomi terbesar kedua di dunia dan mitra dagang utama AS, strategi Tiongkok dalam menghadapi situasi ini menjadi fokus perhatian media dunia. Pergeseran dinamika AS-Tiongkok pun diperkirakan akan terus membentuk ulang peta perdagangan global.
Trump Terpilih Lagi, Tiongkok Semakin Gelisah
Selama masa jabatan pertamanya, Trump secara resmi melancarkan perang dagang terhadap Tiongkok pada tahun 2019. Perang dagang ini tidak hanya mengubah peta perdagangan dan rantai pasokan global, tetapi juga menjadikan gagasan “decoupling” atau pemisahan dari Tiongkok sebagai isu populer sekaligus tantangan nyata. Dampaknya turut berkontribusi pada kesulitan ekonomi yang saat ini dialami Tiongkok.
Sejak awal kampanye Trump untuk kembali mencalonkan diri sebagai Presiden AS, isu perdagangan dengan Tiongkok menjadi salah satu topik yang sering dia soroti dan juga menjadi perhatian para pengamat dari berbagai kalangan.
Meskipun ada perdebatan mengenai hasil perang dagang Trump terhadap Tiongkok di masa lalu, ada kesepakatan umum bahwa perang dagang tersebut telah merugikan Tiongkok. Negara-negara Asia Tenggara dan India justru mendapatkan keuntungan dari kesulitan yang dialami Tiongkok. Dengan terpilihnya kembali Trump sebagai Presiden AS, kondisi yang akan dihadapi Tiongkok sebagai ekonomi terbesar kedua di dunia menjadi perhatian utama para pengamat.
Laporan Reuters pada 7 November memberikan gambaran utama tentang fokus perhatian ini:
– Tiongkok menghormati hasil pemilu AS dan mengucapkan selamat atas kemenangan Donald Trump. Di tengah ancaman tarif baru dari AS, sebuah surat kabar resmi Tiongkok menyerukan pendekatan ‘pragmatis’ untuk menangani perbedaan bilateral.
– Donald Trump, yang berjanji untuk memberlakukan tarif keras terhadap Tiongkok, menang telak atas kandidat Demokrat Kamala Harris dalam pemilu pada Selasa November lalu, merebut kembali Gedung Putih. Ia akan dilantik pada Januari tahun depan.
-Juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok menyatakan, : “Kami menghormati pilihan rakyat Amerika dan mengucapkan selamat kepada Tuan Trump atas terpilihnya kembali sebagai Presiden” Dalam beberapa tahun terakhir, hubungan AS-Tiongkok selalu tegang, terutama dalam isu perdagangan dan keamanan, termasuk Taiwan dan Laut Tiongkok Selatan.
-Kemenangan Trump mungkin akan mengulang tantangan yang dihadapi selama masa jabatan pertamanya pada 2017 hingga 2021, ketika ia melancarkan perang dagang terhadap Tiongkok dan menerapkan tarif hukuman…
Media Resmi Tiongkok seakan Meremehkan Pemilu AS, Namun…
Media utama Prancis, Les Échos, pada 6 November, sehari setelah pemilu AS, mempublikasikan artikel berjudul “Pemilu Presiden AS: Dengan Kembalinya Trump, Tiongkok Bersiap untuk Ketidakpastian Baru.” Artikel ini mengungkapkan bahwa media resmi Tiongkok berusaha menunjukkan bahwa pemilu AS tidak penting bagi Tiongkok, tetapi kenyataannya sangat berbeda:
“Dengan kemenangan Donald Trump, hubungan AS-Tiongkok jelas akan memasuki periode yang lebih bergejolak. Baik Partai Republik maupun Demokrat sama-sama memandang Tiongkok sebagai pesaing strategis AS, sehingga Beijing tentu saja tidak memiliki ‘preferensi’ dalam pemilu AS. Namun, kemenangan Kamala Harris setidaknya akan memberikan kesinambungan, sementara kemenangan Trump justru membawa ketidakpastian lebih besar.
Indeks CSI 300 (menggabungkan 300 saham terbesar di Bursa Shanghai dan Shenzhen) mencerminkan kecemasan ini dengan turun 0,50% setelah volatilitas besar sepanjang hari. Indeks Hang Seng di Hong Kong turun 2,3%. Pada Rabu malam, siaran berita resmi utama Xinwen Lianbo dibuka dengan berita tentang kunjungan Xi Jinping ke Provinsi Hubei, seolah-olah pemilu AS tidak penting. Presiden Tiongkok (Xi Jinping) baru mengucapkan selamat kepada Trump pada Kamis, menekankan pentingnya menemukan titik ‘kesamaan.’
Yang paling dikhawatirkan Beijing adalah perang dagang baru dengan Trump. Perang ini, jika terjadi, akan berlangsung di saat yang paling buruk bagi ekonomi Tiongkok yang sedang melambat. Selama kampanye, Trump mengancam untuk mengenakan tarif setidaknya 60% pada semua produk buatan Tiongkok.”
Analisis Profesor Zhu Tian dari CEIBS di Shanghai menghitung bahwa:
“Dalam skenario terburuk, hal ini dapat mengurangi pertumbuhan ekonomi Tiongkok hingga 1% hingga 1,5% pada tahun pertama, sebelum dampaknya mereda. Namun, di tengah target pertumbuhan sekitar 5% pada 2024 yang sudah terganggu oleh krisis properti serius, Tiongkok tidak mampu meningkatkan pertumbuhan ekonominya saat ini.”
Bisakah Tiongkok Memanfaatkan Eropa untuk Melawan AS?
Majalah Forbes pada 7 November menerbitkan wawancara dengan Ker Gibbs, mantan bankir investasi dan mantan ketua Kamar Dagang Amerika di Shanghai. Dia memprediksi bahwa kemenangan Trump akan meningkatkan tarif terhadap produk impor dari Tiongkok.
Menurut Gibbs:
“Trump akan mempercepat ‘decoupling.’ Perusahaan multinasional harus memisahkan operasi mereka di Tiongkok dari dunia luar secara lebih tegas. Hal ini telah berlangsung beberapa waktu dan kemungkinan besar akan terus berlanjut di bawah pemerintahan mana pun.”
Selama era Trump jilid 1, Tiongkok berusaha merayu Uni Eropa dengan menurunkan tarif, berharap dapat membangun aliansi melawan AS. Namun, hasilnya tidak memuaskan. Apakah strategi yang sama akan berhasil di era Trump jilid 2 ? Menurut Gibbs, hal ini diragukan:
“Pada era Trump 1, Beijing mencoba merayu Eropa dengan kesepakatan perdagangan, tetapi tidak berhasil. Masalah yang sama seperti dumping, subsidi, dan praktik perdagangan tidak adil menghalangi keberhasilan mereka. Di era Trump 2, apakah Beijing bisa belajar dari pengalaman ini?”
Masalah Inti Hubungan AS-Tiongkok di Era Trump Jilid 2
Pemerintah Tiongkok sering menekankan bahwa isu Taiwan adalah inti dari hubungan AS-Tiongkok. Namun, media Jepang seperti Sankei Shimbun pada 6 November menyoroti bahwa masalah perdagangan justru menjadi fokus utama saat ini:
“Baik Trump maupun Harris, siapapun yang memenangkan pemilu AS, tekanan terhadap Tiongkok tidak akan berkurang. Tiongkok sangat khawatir dengan ketidakpastian yang dihadirkan Trump. Ancaman tarif sebesar 60% akan menjadi pukulan berat bagi ekonomi Tiongkok yang sedang lesu.”
Sementara itu, Yomiuri Shimbun mencatat perbedaan reaksi di kedua sisi Selat Taiwan:
“Presiden Taiwan, Lai Ching-te, dengan cepat mengucapkan selamat kepada Trump melalui media sosial, menekankan pentingnya kemitraan strategis dengan AS untuk stabilitas kawasan. Sebaliknya, Kementerian Luar Negeri Tiongkok menolak memberikan komentar dan hanya menyatakan bahwa mereka menghormati pilihan rakyat Amerika.” (jhn/yn)