Mengapa Mereka Tidak Mau Kembali ke Tiongkok Lagi? Padahal Mereka Mencintainya

oleh Wang He

Anne Stevenson-Yang dari Amerika Serikat (AS) datang ke Tiongkok pada awal 1985 dan bekerja untuk majalah bulanan milik pemerintah “China Pictorial” edisi bahasa Inggris. Di usianya yang 20-an pada saat itu, dia merasa bahwa Pemikiran Mao Zedong (dibaca: mau ce tung) dan sosialisme “sangat hebat”. Dia mengatakan: “Saya ingin belajar… demi menyembuhkan beberapa penyakit sosial di Amerika Serikat, sehingga kita dapat menggapai semacam masyarakat yang lebih ideal”.

Pada tahun 1988, Anne Stevenson menikah dengan Yang Zhifang, seorang warga negara Tiongkok dan kembali ke Amerika Serikat bersama suaminya. Pada tahun 1993, dia kembali ke Tiongkok dan menjabat sebagai perwakilan dari Dewan Bisnis AS-Tiongkok (US-China Business Council) untuk Beijing. Dia sering melakukan kontak resmi dengan pejabat Partai Komunis Tiongkok (PKT). Sebelum kembali ke AS untuk menetap pada 2014, dia telah tinggal di Republik Rakyat Tiongkok (RRT) selama 25 tahun.

Selama berada di Tiongkok, Anne Stevenson pernah membuka beberapa perusahaan. Misalnya, J Capital Research, yang didirikan pada 2007, sejauh ini, Perusahaan telah menerbitkan laporan penelitian mengenai perusahaan-perusahaan Tiongkok yang terdaftar di berbagai industri untuk investor AS. Namun, Anne Stevenson tidak lagi “disukai” oleh Beijing karena mengungkap kebohongan yang dilakukan perusahaan-perusahaan Tiongkok lewat laporan keuangan. Selain itu, setelah kembali ke Amerika Serikat, sebagai analis ekonomi dan bisnis Tiongkok, Anne Stevenson sering menghadiri beberapa dengar pendapat terkait RRT yang diselenggarakan oleh Kongres AS, di sana dia mengungkapkan perihal penipuan keuangan perusahaan Tiongkok atau risiko berinvestasi di Tiongkok. 

Baru-baru ini, Anne juga menerbitkan buku baru “Wild Ride A short history of the opening and closing of the Chinese economy” (Perjalanan Liar: Sejarah Singkat Pembukaan dan Penutupan Perekonomian Tiongkok) berdasarkan 25 tahun pengalaman hidupnya dan penelitian mendalam di Tiongkok, memberitahu pembaca bahwa reformasi dan keterbukaan adalah sandiwara yang dimainkan oleh PKT untuk pengusaha asing”. Karena reformasi dan keterbukaan adalah langkah jangka pendek bagi Partai Komunis Tiongkok untuk menarik uang dari dunia, begitu sudah ada uang, PKT belum tentu bersedia untuk terus berpartisipasi dalam komunitas internasional, atau ketika PKT membuka diri sampai batas tertentu dan merasa dominasinya mulai terancam, maka PKT tidak akan lagi terbuka.

Dalam bukunya, Anne secara pesimistis memperkirakan bahwa RRT mungkin akan kembali ke jalur pengasingan diri, dan menutup negara seperti pada tahun-tahun sebelum tahun 1980-an. Dia juga merefleksikan pengalaman langsungnya mengenai “berpartisipasi secara membabi buta” dalam buku tersebut. 

Meskipun Anne masih merindukan mertuanya yang berada di Tiongkok dan sejumlah Chinese food, bahkan merindukan teman-teman Tiongkok yang lebih mudah bergaul dan lebih santai daripada orang-orang Amerika, dia tidak pernah lagi menginjakkan kakinya di Tiongkok setelah epidemi COVID-19. Karena PKT terus “berbelok ke kiri” dalam tahun-tahun terakhir, beberapa teman Anne ditangkap tanpa alasan jelas oleh PKT.

Pada tahun 2023, suami Anne meninggal dunia. Sebelum meninggal ia meminta Anne untuk menguburkan sebagian abu jenazahnya di sebuah gunung di Beijing, tempat orang tuanya dimakamkan. Namun karena dia khawatir dengan risiko ditahan oleh pihak berwenang PKT, dia belum dapat memenuhi keinginan terakhir suaminya. Anne Stevenson mengatakan: “Saya sangat menyesal belum dapat merealisasikannya, tetapi saya benar-benar tidak berani kembali”.

Mirip dengan pengusaha Anne Stevenson, orang yang mencintai Tiongkok tetapi tidak berani datang lagi adalah sarjana Jepang Tomoko Ako, seorang profesor studi Tiongkok modern di Universitas Tokyo.

Pada tahun 2002, hunian gua di Provinsi Shaanxi menyambut pernikahan pertama pasangan Jepang. Pasangan Jepang ini adalah Tomoko Ako dan suaminya yang sinology: Shiroyama Hidemi, yang saat itu menjabat sebagai reporter kantor berita Jepang.

Saat itu, Tomoko Ako di Kedutaan Besar Jepang untuk Tiongkok bertanggung jawab atas upaya pengentasan kemiskinan di Tiongkok. Dia belajar tentang budaya Yangjiagou, Shaanxi, terutama sangat menikmati seni teknik pemotongan kertas Shaanxi, pernikahan tradisional yang khas serta tandu kembang bagi pengantin. Menurutnya hunian gua setempat juga sangat indah, karena sebagai “kawasan lama revolusioner”, itu adalah tempat yang sangat bersejarah.

Tomoko Ako tidak hanya melangsungkan pernikahannya di dalam sebuah gua di Shaanxi, tapi juga memiliki seorang “ibu Tionghoa”. Dia juga mencoba membantu petani di daerah tua Shaanxi untuk meningkatkan produksi apel dan mengundang para ahli dari Jepang untuk membantu menanam apel organik.

Namun, Tomoko Ako yang mencintai Tiongkok telah 3 kali dipaksa berurusan dengan polisi RRT. Yang pertama adalah ketika memperbincangkan soal korupsi dalam pengentasan kemiskinan dengan seorang reporter Tiongkok di Mongolia Dalam. Yang kedua adalah, ketika Tomoko berada di Guizhou untuk mempelajari tentang masalah petisi yang diajukan oleh para transmigran pembangunan waduk. Yang ketiga adalah, ketika Tomoko Ako berusaha membantu pengacara Pu Zhiqiang berkomunikasi dengan rekannya dari Jepang, dia dibawa oleh polisi RRT untuk “Minum teh (bermakna: diinterogasi)”. Hal ini mulai memberinya pemahaman baru tentang pemerintahan Komunis Tiongkok.

Namun, yang benar-benar mengubah sikap Tomoko adalah penangkapan teman-temannya di Hong Kong dan Tiongkok. Dalam sebuah wawancara pada 2023, Tomoko mengatakan kepada VOA: “Saya sangat menyukai Tiongkok, dan sikap ini tidak berubah”. Namun, “Saya sangat membenci pemerintah (Komunis) Tiongkok! Karena pemerintah RRT menangkap teman-teman saya”. Tomoko Ako dan suaminya mengenal banyak pengacara, jurnalis, dan cendekiawan di Tiongkok, serta banyak teman di Hong Kong, termasuk mantan anggota Dewan Legislatif. Kini, teman-teman pasangan tersebut menjadi tahanan rumah atau bahkan dipenjara. Dia percaya bahwa ini adalah masalah dalam sistem Tiongkok, yang tidak memiliki supremasi hukum dan membatasi kebebasan berbicara.

Sebagai seorang sarjana yang mempelajari isu-isu Tiongkok, di masa lalu Tomoko sering melakukan kerja lapangan di pedesaan Tiongkok. Namun ketika dia kembali ke Tiongkok pada 2019 lalu yang awalnya bermaksud untuk mengunjungi pengacara Jiang Tianyong di Provinsi Henan, tetapi dibatalkan karena dikuntit oleh petugas keamanan Tiongkok. 

Ini adalah perjalanan terakhirnya ke Tiongkok. Pada tahun 2023, Tomoko mengatakan kepada media: “Saya awalnya ingin melakukan penelitian di Tiongkok, tetapi sekarang saya tidak pernah berani masuk ke Tiongkok lagi”. Dia tidak setuju dengan permintaan PKT agar pemohon visa memberikan sejumlah besar informasi pribadi atas dasar keamanan nasional. Namun yang tak kalah penting adalah dia juga khawatir menghadapi penangkapan oleh pihak RRT (dalam beberapa tahun terakhir, media telah banyak melaporkan ikhwal kasus penangkapan terhadap mantan profesor Jepang di Tiongkok, seperti Yuan Keqin, mantan profesor Universitas Pendidikan Hokkaido, Jepang, Fan Yuntao, profesor Universitas Asia, Jepang, dan Hu Shiyun, profesor Tiongkok di Universitas Kobe Gakuin, dan lain-lain).

Baik Anne Stevenson atau Tomoko Ako yang mencintai Tiongkok, namun pengalaman hidup mereka selama bertahun-tahun di Tiongkok secara bertahap membuat mereka bisa membedakan antara orang Tiongkok dan rezim Komunis Tiongkok. 

Kedua wanita tersebut memiliki sifat yang hampir sama, mereka suka berteman, berbagi kebahagiaan atau hobi dengan orang-orang Tiongkok, serta berkeinginan untuk membuat Tiongkok menjadi tempat yang lebih baik. Namun, rezim Komunis Tiongkok selain memanfaatkan mereka, juga memperlakukan integritas, kebaikan, kejujuran mereka sebagai pertentangan dan ancaman hanya gegara mempertanyakan beberapa perlakuan pemerintah yang oleh mereka dianggap kurang tepat. 

Sehingga memperlakukan mereka secara berbeda, bahkan memberikan beberapa ancaman fisik kepada mereka. Kejadian yang menimpa teman-teman Tiongkok telah membuat mereka merasa ancaman tersebut nyata dan mengerikan, sehingga mereka tidak lagi mau menginjakkan kaki di Tiongkok.

Faktanya, dalam beberapa tahun terakhir ini PKT terus berupaya “banting setir ke kiri” dan membuat lingkungan dalam negeri memburuk secara signifikan, dan sikapnya terhadap orang asing, terutama orang Amerika dan Jepang sudah semakin tidak bersahabat. 

Belum lagi soal kebebasan berbicara yang semakin ketat pengontrolannya, memperluas definisi mengenai spionase, penggerebekan terhadap kantor perusahaan konsultan manajemen asing di Tiongkok, penangkapan pengusaha asing dan skandal jaminan sosial lainnya. Pada 2024 ini saja, terjadi insiden penusukan terhadap beberapa guru asal Amerika Serikat yang berwisata di Jilin, siswa sekolah dasar Jepang masing-masing menjadi korban pembacokan di Kota Suzhou dan juga dibacok sampai tewas di Kota Shenzhen.

Apakah dengan demikian teman-teman asing masih berani datang ke Tiongkok yang berada di bawah kekuasaan PKT? 

Tidak mengherankan, setelah PKT membebaskan pemblokiran ketat terhadap wabah COVID-19, orang asing tidak lagi mau datang ke Tiongkok, sehingga jumlah pengunjung ke Tiongkok menurun drastis. Seperti yang pernah diucapkan oleh Duta Besar AS untuk Tiongkok Nicholas Burns, bahwa terdapat sekitar 15.000 orang pelajar Amerika di Tiongkok enam atau tujuh tahun yang lalu, namun sekarang hanya tinggal 350 orang saja. 

Contoh lainnya, maskapai penerbangan asing menarik diri dari pasar Tiongkok dan saat ini hanya mengoperasikan 60% penerbangan sebelum epidemi terjadi. Jumlah penerbangan antara AS dan RRT bahkan cuma sekitar seperlima dari jumlah penerbangan pada 2019.

Mari kita kembali dan melihat Anne Stevenson dan Tomoko Ako, yang satu adalah menantu perempuan asing bagi Tiongkok, dan yang lainnya adalah pakar Jepang dalam studi Tiongkok modern yang telah menganggap Tiongkok sebagai rumah kedua mereka. Namun, keduanya sekarang tidak berani datang lagi ke Tiongkok. Apakah hal ini bukan berarti mencabik-cabik wajah buruk PKT?! (sin/whs)

Sumber : Epochtimes.com