Stephen Xia dan Sean Tseng
Korea Utara dilaporkan mengirimkan hingga 100.000 tentara untuk mendukung Rusia dalam perangnya melawan Ukraina, kini lebih dari 10.000 sudah dikerahkan. Meskipun mengirim pasukan dapat membantu Rusia, ini adalah langkah berisiko bagi Kim Jong Un yang bisa mendatangkan petaka bagi Korea Utara.
Pasukan Korea Utara tak pernah terlibat dalam pertempuran di luar negeri sejak Perang Korea berakhir pada 1953. Pelatihan singkat yang diberikan Rusia—hanya beberapa minggu—tidak cukup untuk mempersiapkan mereka menghadapi perang modern. Mereka kurang pengalaman dengan taktik militer saat ini, terutama yang melibatkan drone dan perang elektronik, yang mana bisa mendatangkan hasil buruk di medan perang.
Medan datar di Ukraina sangat berbeda dari pegunungan Korea Utara, menambahkan tantangan yang ada. Hambatan bahasa dan perbedaan budaya juga menyulitkan koordinasi dengan pasukan Rusia; laporan menyebutkan bahwa hanya ada satu penerjemah untuk setiap 30 tentara.
Tentara Korea Utara juga dilengkapi dengan senjata usang seperti mortir 60 mm, senapan AK-12, dan rudal anti-tank dasar, yang mana tidak efektif dalam perang modern yang didominasi serangan presisi dan pengawasan canggih.
Pada 6 November, Kementerian Pertahanan Ukraina melaporkan bahwa korban di pihak Rusia telah melebihi 700.000, dengan lebih dari 1.300 kerugian dalam sehari. Jika pasukan Korea Utara menghadapi kondisi serupa, kurangnya pengalaman mereka bisa menyebabkan kerugian yang jauh lebih tinggi.
Pejabat AS melaporkan bahwa pasukan Korea Utara pertama kali bentrok dengan pasukan Ukraina pada 4 November di wilayah Kursk, Rusia, meskipun jumlah korban belum diketahui.
Rencana Rusia kemungkinan dimulai dengan mengamankan wilayah Kursk—tempat pasukan Ukraina terus maju sejak Agustus—sebelum bergerak ke Ukraina. Sebagai tanggapan, pemerintahan Biden mengizinkan serangan lebih dalam ke wilayah Rusia menggunakan senjata buatan AS dan berniat memberikan bantuan maksimal kepada Ukraina sebelum Presiden terpilih Donald Trump menjabat.
Meski berbahaya, Kim melihat peluang. Pyongyang menukar senjata usang dan nyawa tentaranya dengan uang, teknologi, dan janji pertahanan bersama dari Rusia. Laporan menunjukkan bahwa Rusia setuju membayar $2.000 per bulan untuk setiap tentara Korea Utara—jumlah yang kemungkinan besar langsung masuk perbendaharaan rezim korut.
Dengan lebih dari 10.000 tentara yang dikerahkan, Korea Utara bisa menghasilkan lebih dari $200 juta per tahun. Rusia juga berjanji untuk menyediakan 600.000 hingga 700.000 ton beras setiap tahun, yang man dapat mengatasi sekitar 20 persen kekurangan pangan Korea Utara.
Korea Utara juga mencari bantuan Rusia dalam mengembangkan senjata nuklir taktis, rudal, dan teknologi satelit militer. Meskipun belum pasti bahwa Rusia akan memenuhi janjinya, kemitraan ini meningkatkan peluang Korea Utara untuk memperoleh kemampuan militer canggih. Rezim ini berharap mendapat pengalaman langsung dalam perang modern dan menguji senjatanya melawan persenjataan yang disuplai Barat ke Ukraina.
Namun, biayanya langsung terasa dan sangat serius. Jika pasukan Korea Utara digunakan dalam serangan massal—taktik dari Perang Korea—mereka mungkin tidak akan bertahan lebih dari beberapa minggu.
Di dalam negeri, langkah ini bisa memicu keresahan. Di Korea Utara, semua pria berusia 17 hingga 30 tahun wajib menjalani dinas militer, dengan hampir sepertiga populasi aktif bertugas. Para tentara ini adalah suami dan anak-anak dari warga. Laporan menunjukkan bahwa Kim berusaha mencegah keluarga mengetahui tentang penempatan tentara, tetapi upaya ini tak sepenuhnya berhasil.
Perang yang keras bisa membuat moral pasukan Korea Utara jatuh, bahkan mendorong beberapa tentara untuk membelot. Ukraina telah meluncurkan program bernama “I Want to Live,” yang menawarkan makanan, tempat tinggal, dan keamanan bagi pembelot. Korea Selatan mempertimbangkan untuk mengirim personel untuk membantu Ukraina, yang mana akan memberikan lebih banyak insentif bagi tentara Korea Utara untuk membelot dan terpapar informasi tanpa sensor tentang dunia dan perang.
Jika Moskow tidak mendukung tentara Korea Utara yang terluka atau tewas, situasinya bisa jadi semakin memburuk.
Di tingkat internasional, Korea Utara berisiko merusak hubungannya. Nilai strategis Pyongyang bagi Moskow bisa menurun jika Rusia terus kesulitan dalam perang meski didukung Korea Utara. Selain itu, tindakan Korea Utara bisa merenggangkan hubungannya dengan Tiongkok, sekutu terpentingnya, yang man semakin memperumit posisinya di panggung global.
Meski Korea Utara berharap mendapat dukungan Rusia dalam konflik masa depan di Semenanjung Korea—berdasarkan pakta pertahanan bersama mereka baru-baru ini—dukungan ini sangat bergantung pada hasil perang di Ukraina. Biaya tinggi dalam bentuk nyawa dan potensi ketidakstabilan politik dapat melampaui manfaat yang tak pasti.
Dalam politik internasional dan perang, salah perhitungan bisa membawa konsekuensi serius—kenyataan yang mungkin segera harus dihadapi Korea Utara.
Pandangan yang diungkapkan dalam artikel ini adalah opini penulis dan tidak mencerminkan pandangan The Epoch Times.
Stephen Xia, mantan insinyur PLA, mengkhususkan diri dalam bidang peralatan penerbangan dan manajemen teknologi rekayasa. Setelah pensiun dari dinas militer, ia telah mengikuti perkembangan peralatan militer dunia