EtIndonesia. Menurut laporan Fox News, situasi menjadi lebih serius ketika Presiden terpilih AS, Donald Trump menyadari bahwa pembangunan kapal selam nuklir Angkatan Laut Amerika telah terjebak dalam “Pusaran kematian”.
Baru-baru ini, Gedung Putih telah meminta Kongres untuk dana darurat sebesar 7,3 miliar dolar AS untuk membangun kapal selam perang nuklir untuk melawan Tiongkok, serta kapal selam peluru kendali kelas Columbia yang akan menyumbang 70% kekuatan penangkalan nuklir Amerika di tahun-tahun mendatang.
Orang-orang cerdas seperti Elon Musk, Vivek Ramaswamy, dan Departemen Efisiensi Pemerintah (DOGE) mungkin dapat mempercepat produksi kapal selam dan kapal induk. Karena, jika Angkatan Laut Amerika tidak dapat segera mengatasi masalah ini, keunggulan maritim Tiongkok akan semakin meluas.
Dalam hal teknologi perang laut, penguasaan Amerika atas teknologi tenaga nuklir adalah “permata mahkota” yang tidak tergantikan. Kapal selam yang didorong oleh reaktor nuklir kecil yang tenang namun mematikan ini memberikan keuntungan penting bagi Amerika dalam konfrontasi mereka dengan Tiongkok di Pasifik. Namun, sejak Trump meninggalkan jabatan, kecepatan pembangunan dan perawatan kapal selam nuklir telah menurun secara signifikan. Misalnya, angkatan laut awalnya berencana membangun dua kapal selam serang setiap tahun, tetapi saat ini galangan kapal hampir hanya mampu menyelesaikan satu. Penyerahan kapal selam kelas Columbia pertama juga tertunda satu setengah tahun. Sementara itu, pekerjaan perawatan mengalami tekanan yang serius.
Krisis Manufaktur: Keterlambatan dan Kompetisi
Berbagai faktor menyebabkan situasi ini, termasuk keterlambatan yang disebabkan oleh pandemi COVID-19, masalah rantai pasokan, inflasi, dan kekurangan tenaga kerja. Sementara itu, Tiongkok sedang mengembangkan reaktor kapal selam baru dan Rusia juga menampilkan teknologi kapal selam nuklir terbaru mereka.
Pada Juni lalu, kapal selam terbaru Rusia, K-561 “Kazan,” berlabuh di pelabuhan Kuba dan lebih lanjut mengembangkan kapal selam tak berawak “Poseidon” yang berkekuatan nuklir dan bersenjata nuklir. Sebagai tanggapan, Kantor Akuntabilitas Pemerintah AS (GAO) menyatakan bahwa angkatan laut sedang berusaha maju dengan “rencana pembangunan kapal selam nuklir terbesar dalam 30 tahun terakhir”. Namun, kemajuan tidak lancar dan Kongres tidak puas karena angkatan laut tidak sepenuhnya mengungkapkan betapa seriusnya masalah ini.
Ketua Komite Alokasi Pertahanan DPR, dari Partai Republik, Ken Calvert, secara terbuka menyatakan bahwa tanpa intervensi, dia tidak yakin industri kapal Angkatan Laut dapat kembali ke jalur yang benar.
Kapal Selam Nuklir: Kekuatan Penangkalan Maritim yang Vital
Kapal selam peluru kendali balistik kelas Columbia memiliki panjang 571 kaki, lebih panjang dari Monumen Washington. Selama patroli, “pembom siluman” ini hampir tidak terdeteksi. Kapal selam ini dirancang untuk membawa 16 rudal nuklir. Pembangunan kapal selam baru sangat sulit, tetapi waktunya mendesak. Kapal selam kelas Ohio yang tua akan pensiun setelah 42 tahun bertugas, sehingga kapal selam kelas Columbia pertama harus beroperasi pada tahun 2027. Untuk mempertahankan kekuatan penangkalan nuklir pada dekade 2030, Angkatan Laut Amerika perlu merampungkan setidaknya satu kapal selam kelas Columbia baru setiap tahun. Pada saat itu, jumlah hulu ledak nuklir Tiongkok diperkirakan akan bertambah tiga kali lipat.
Kapal selam serang kelas Virginia difokuskan pada tugas-tugas konvensional seperti meluncurkan misil Tomahawk atau mengerahkan tim Navy SEAL. Selain memiliki kemampuan kontrol maritim dan proyeksi kekuatan, kapal selam ini juga memainkan peran penting dalam pengintaian intelijen. Mereka menggunakan sonar untuk mendengarkan komunikasi, membuat peta dasar laut, dan menerjunkan sensor bawah air miniatur, terus memantau aktivitas kapal selam Tiongkok dan Rusia.
Analis Brent Sadler mengatakan: “Waktu bertahan lebih lama, kecepatan lebih besar, dan kemampuan operasi sensor canggih membuat kapal selam bertenaga nuklir menjadi predator laut papan atas.” Jelas, kapal selam ini adalah target utama bagi angkatan laut Tiongkok.
Ancaman Tiongkok dan Rusia
Saat ini, Angkatan Laut Tiongkok memiliki 370 kapal perang, sementara angkatan laut Amerika hanya memiliki 292 kapal. Selain itu, armada “penjaga laut” Tiongkok juga memiliki ratusan kapal, termasuk beberapa kapal selam nuklir. Kapal selam nuklir kelas Jin Tiongkok yang ditingkatkan dapat membawa misil nuklir berhulu ledak jamak. Komandan armada Pasifik Amerika, Samuel Paparo, secara terbuka menyatakan bahwa kapal selam ini “jelas dibangun menargetkan Amerika,” dan menyatakan bahwa militer Amerika akan terus memantau ancaman tersebut.
Sementara itu, teknologi kapal selam nuklir Rusia sudah maju beberapa dekade, seperti yang bisa dilihat dari film “The Hunt for Red October”.
Saat ini, Angkatan Laut Amerika secara nominatif memiliki 66 kapal selam perang bertenaga nuklir, tetapi hanya sekitar 40 yang benar-benar siap digunakan, sisanya sedang dalam perawatan. Sekarang adalah waktu bagi Trump dan timnya untuk turun tangan dan mendorong kebangkitan.
Untungnya, Angkatan Laut Amerika masih memiliki kesempatan untuk membalikkan keadaan. Pertama, Kongres perlu segera menyetujui anggaran 7,3 miliar dolar AS; kedua, menggunakan dana yang ada untuk membayar pesanan massal sebelumnya, meningkatkan gaji pekerja galangan kapal, meningkatkan jalur produksi, untuk mempercepat kecepatan pembangunan. Meskipun kontrak harga tetap mengharuskan galangan kapal untuk mengontrol biaya secara ketat, peningkatan efisiensi tetap merupakan prioritas.
Semua ini memerlukan tindakan tegas dari Gedung Putih. Jika Trump dan timnya dapat menyelesaikan masalah ini, mereka akan membawa kebangkitan terbesar bagi industri kapal selam nuklir Amerika sejak era Reagan.
Pembangunan kapal selam tidak hanya membutuhkan waktu, tetapi juga memerlukan teknologi yang tepat dan kontrol kualitas yang ketat. Meskipun tugasnya rumit, jika tim Trump dapat menghadapi tantangan ini, Amerika akan kembali memperkuat keunggulannya dalam industri kapal selam bertenaga nuklir. Jika tidak, Pasifik Barat mungkin benar-benar akan menjadi “danau dalam” bagi Xi Jinping. (jhn/yn)