Masalah Pengeluaran Konsumen Tiongkok  Menjadi Isu Internasional

Ketergantungan negara ini pada investasi dan ekspor mengancam perekonomian domestiknya sekaligus memengaruhi harga di seluruh dunia

Panos Mourdoukoutas

Tiongkok  adalah negara dengan masyarakat yang lebih memilih menabung secara hemat dibandingkan menjadi konsumen yang makmur. Penduduknya belum membelanjakan uang secara bebas dan menikmati hasil kerja keras mereka seperti rekan-rekan mereka di negara-negara pasar berkembang lainnya.

Rendahnya pengeluaran konsumen membuat Tiongkok  bergantung pada kebijakan stimulus fiskal dan moneter yang berulang, yang menciptakan gelembung aset, serta pada ekspor yang memicu persaingan dengan mitra dagang utamanya.

Sudah hampir lima dekade sejak kapitalisme mulai diterapkan dalam sistem perencanaan terpusat ala Soviet, yang membawa Tiongkok menuju status sebagai ekonomi terbesar kedua di dunia. PDB per kapita meningkat dari beberapa ratus dolar pada akhir era Mao menjadi sekitar $13.000 pada 2024.

Meskipun PDB per kapita terus meningkat, Tiongkok  belum menjadi masyarakat konsumen seperti Amerika Serikat, ekonomi terbesar di dunia, maupun negara-negara pasar berkembang lainnya.

Pada 2023, pengeluaran konsumen di Tiongkok  hanya menyumbang 39,2 persen dari PDB, sedikit naik dari 35,6 persen satu dekade sebelumnya. Sebagai perbandingan, pengeluaran konsumen menyumbang 67,8 persen dari PDB di Amerika Serikat, 63 persen di Brasil, 60,4 persen di India, dan 52,7 persen di Uni Eropa.

Rendahnya pengeluaran konsumen membuat ekonomi Tiongkok bergantung pada sumber pertumbuhan lainnya. Salah satu sumbernya adalah investasi swasta untuk pembangunan perumahan, kompleks apartemen, dan pusat komersial. Sumber lainnya adalah pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur, termasuk jalan raya, rel kereta, pelabuhan, dan bandara.

Meskipun jenis pengeluaran ini penting untuk membantu ekonomi berkembang bertransisi menjadi ekonomi maju, diperlukan keseimbangan yang lebih baik. Hal ini terlihat dari banyaknya bangunan kosong, bandara kosong, dan jalan raya kosong. Proyek-proyek ini dibangun oleh perusahaan konstruksi milik negara dan dibiayai oleh bank milik negara untuk menjaga pertumbuhan ekonomi, bukan untuk memenuhi kebutuhan nyata masyarakat.

Sumber pertumbuhan lainnya untuk ekonomi Tiongkok adalah perdagangan internasional, yaitu ekspor barang dan jasa ke dua pasar terbesar negara ini, Amerika Serikat dan Uni Eropa. Pada 2022, perdagangan menyumbang 38,35 persen dari PDB Tiongkok, naik dari 35,89 persen pada 2019. Sebagai perbandingan, perdagangan menyumbang 27,04 persen dari PDB di AS, 46,84 persen di Jepang, dan 49,97 persen di India.

Ketergantungan Tiongkok  pada perdagangan internasional untuk pertumbuhan ekonominya dapat diterima pada dekade pertama setelah pembukaan pasar global pada tahun 1978. Saat itu, Tiongkok  masih merupakan pemain kecil di pasar dunia, dan eksportirnya berperan sebagai “pengikut harga.” Mereka dapat mengekspor sebanyak yang mereka mau tanpa memengaruhi harga global, sehingga menghindari gesekan dengan mitra dagang.

Kini, Tiongkok telah menjadi pemain besar di pasar global, menjadikan eksportirnya sebagai “penentu harga” yang dapat memengaruhi harga dunia. Hal ini memicu persaingan dengan mitra dagang, yang mana kesulitan menandingi harga produk Tiongkok.

Inilah bagaimana rendahnya pengeluaran konsumen di Tiongkok berubah dari masalah domestik menjadi isu internasional.

Penyebab Utama  Rendahnya Konsumsi di Tiongkok

Georgios Koimisis, profesor ekonomi dan keuangan di Manhattan University, mengungkapkan bahwa ketergantungan Tiongkok  pada investasi dan ekspor bukanlah akibat dari rendahnya pengeluaran konsumen, melainkan penyebab utamanya.

“Rasio konsumsi terhadap PDB yang rendah di Tiongkok sebagian besar disebabkan oleh ketergantungan yang berkepanjangan pada model pertumbuhan berbasis investasi dan ekspor, yang menekan pendapatan rumah tangga relatif terhadap PDB,” kata Koimisis kepada The Epoch Times.

Model ini menekankan akumulasi modal dan daya saing manufaktur, sering kali dengan mengorbankan gaji dan transfer sosial. Hasilnya adalah ketidakseimbangan struktural di tingkat rumah tangga, dengan pendapatan yang dapat dibelanjakan terbatas. Masalah ini diperburuk oleh jaring pengaman sosial yang lemah, yang memaksa masyarakat untuk menabung dalam jumlah besar sebagai langkah berjaga-jaga.

Selain itu, ketimpangan pendapatan yang signifikan memperburuk situasi. Kekayaan terkonsentrasi di kalangan individu berpenghasilan tinggi yang cenderung lebih banyak menabung dan sedikit membelanjakan. Hal ini meninggalkan rumah tangga berpenghasilan rendah dengan sumber daya yang tidak memadai untuk mendorong pertumbuhan konsumsi.

Kesamaan dengan Jepang pada 1980-an

Masalah pengeluaran konsumen di Tiongkok memiliki kemiripan dengan Jepang pada 1980-an. Jepang mengalami pertumbuhan pesat selama periode ini, namun gagal bertransisi dari ekonomi berbasis ekspor ke ekonomi berbasis konsumen. Jepang tetap bergantung pada ekspor, investasi swasta, serta stimulus fiskal dan moneter untuk pertumbuhan.

Kebijakan ini memicu gesekan dengan mitra dagang dan menciptakan gelembung properti yang tidak tertandingi. Ketika gelembung properti tersebut pecah, Jepang memasuki masa stagnasi berkepanjangan, yang menyebabkan posisinya turun dari ekonomi terbesar kedua menjadi keempat di dunia.

Salah satu alasan kegagalan Jepang adalah jam kerja yang panjang dan tingkat tabungan yang tinggi. Pada pertengahan 1980-an hingga awal 1990-an, tingkat tabungan bruto di Jepang berada di sekitar 33 persen.

Dalam beberapa tahun terakhir, Jepang berhasil membuat kemajuan menuju ekonomi berbasis konsumen. Pada 2022, pengeluaran konsumen menyumbang sekitar 54 persen dari PDB, sementara tingkat tabungan bruto turun menjadi 28,8 persen.

Tiongkok : Masih Jauh dari Ekonomi Berbasis Konsumen

Tiongkok  belum menunjukkan kemajuan secara signifikan untuk menjadi ekonomi berbasis konsumen. Penduduknya bekerja dalam jam kerja yang panjang dan menabung sebagian besar pendapatannya. Pada September 2024, rata-rata jam kerja mingguan di Tiongkok adalah 48,6 jam, dibandingkan dengan 41,7 jam di India, 34,3 jam di Amerika Serikat, dan 31,2 jam di Prancis. Selain itu, tingkat tabungan bruto Tiongkok mencapai 44,3 persen.

Sistem pensiun yang tidak memadai juga menekan pengeluaran konsumen, terutama di kalangan generasi yang lebih tua.

Faktor-Faktor Penyebab dan Potensi Solusi

Laporan terbaru dari Rhodium Group mengidentifikasi beberapa faktor yang membuat masyarakat Tiongkok lebih cenderung menabung daripada membelanjakan, seperti tingkat pendapatan rumah tangga yang rendah dan distribusi pendapatan yang  tidak merata.

Rhodium Group tidak melihat adanya solusi kebijakan yang cepat untuk mempercepat pertumbuhan konsumsi rumah tangga di Tiongkok. Namun, mereka merekomendasikan transfer fiskal kepada rumah tangga berpenghasilan rendah dan restrukturisasi ekonomi untuk mengurangi masalah ini.

“Mengurangi tingkat tabungan saja tidak akan cukup untuk secara signifikan meningkatkan pengeluaran, mengingat rendahnya tingkat tabungan di kalangan rumah tangga berpenghasilan rendah,” menurut laporan tersebut.

Panos Mourdoukoutas adalah seorang profesor ekonomi di LIU di New York. Ia juga mengajar analisis sekuritas di Universitas Columbia. Karyanya telah dipublikasikan di jurnal dan majalah profesional, termasuk Forbes, Investopedia, Barron’s, New York Times, IBT, dan Journal of Financial Research. Ia juga penulis banyak buku, termasuk “Business Strategy in a Semiglobal Economy” dan “China’s Challenge.”

FOKUS DUNIA

NEWS