Menghadapi Meningkatnya Ancaman dari PKT, AS Berada di Persimpangan Jalan

Xie Tian

Amerika saat ini berada di persimpangan jalan—— orang-orang dari kedua sisi spektrum politik menyadari hal tersebut. Sebuah survei yang dilakukan Statista menunjukkan bahwa permasalahan yang paling menjadi perhatian pemilih AS pada tahun 2024 adalah inflasi dan harga barang (25%), imigrasi (11%), layanan kesehatan (10%), serta pekerjaan dan perekonomian (10%). Singkatnya, yang paling dipedulikan para pemilih adalah perekonomian!

Namun, sebagai peneliti bisnis dan ekonomi, saya dan rekan kerja sering kali mencari factor-faktor di luar ekonomi untuk menemukan penyebab rangsangan atau hambatan pertumbuhan yang sebenarnya. Kita bahkan sering kali mengidentifikasi adanya faktor-faktor filosofis, ideologis dan internasional yang berkontribusi terhadap kesejahteraan ekonomi suatu negara—– dikarenakan cara kita berpikir, apa yang kita yakini, cara kita berperilaku dan cara kita berinteraksi dalam ekonomi dengan orang lain, cara kita hidup serta biaya hidup kita.

Penulis telah mengamati bahwa orang Amerika semakin khawatir terhadap ancaman eksternal dari Partai Komunis Tiongkok (PKT), serta ancaman internal dalam bentuk subversi komunis yang mengancam cara hidup kita. Kekhawatiran ini terutama terlihat di kalangan kelompok minoritas, yaitu komunitas Kuba, Tionghoa dan Vietnam-Amerika. 

Alasannya sederhana. Banyak orang dari komunitas ini datang ke Amerika Serikat setelah melarikan diri atau meninggalkan masyarakat sosialis dan komunisme di masa muda atau dewasa. Berdasarkan pengalaman hidup mereka, mereka tidak ingin lagi hidup dalam masyarakat seperti itu. Namun, bagi banyak orang Amerika yang tidak memiliki pengalaman langsung, pandangan mereka tentang sosialisme dan komunisme terutama terbentuk dari buku teks dan media.

Tahun ini adalah peringatan 75 tahun pengambilalihan Tiongkok oleh Partai Komunis. Ketika ditanya bagaimana rezim Komunis Tiongkok bisa bertahan begitu lama ketika Uni Soviet sudah lama runtuh, profesor Universitas Columbia Andrew Nathan mengaitkan hal tersebut dengan “pertumbuhan ekonomi” Tiongkok yang mengarah pada peningkatan standar hidup, terutama dalam dua hingga tiga puluh tahun terakhir. 

Namun bagaimana hal ini sebenarnya dapat dicapai? Hal ini terjadi karena Amerika Serikat membuka pasarnya, menyediakan teknologi, dan memberikan keterampilan manajemen untuk membantu Tiongkok keluar dari keruntuhan ekonomi yang terjadi setelah Revolusi Kebudayaan. Pada tahun 2001, Amerika Serikat mengizinkan Tiongkok untuk bergabung dengan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Amerika Serikat tidak hanya gagal memanfaatkan keruntuhan Uni Soviet dan blok komunis di Eropa Timur, namun juga gagal melanjutkan perayaan kemenangannya dalam memberantas komunisme sepenuhnya dari seluruh dunia. 

Sebaliknya, Amerika Serikat dan Barat telah memberikan dukungan politik, dukungan ekonomi, pasar perdagangan, dan bahkan teknologi dan kerja sama militer, yang memungkinkan rezim Komunis Tiongkok untuk bertahan dan mengambil kesempatan untuk berkembang. Hal ini pada akhirnya menjadi bumerang bagi Amerika Serikat dan negara-negara Barat, dan kini telah menjadi masalah besar bagi Amerika Serikat. 

Banyak orang di Amerika Serikat yang kecewa karena kita membantu Partai Komunis Tiongkok, namun kita menciptakan monster yang kini lebih kuat, lebih agresif, dan lebih memusuhi Barat. Pada saat yang sama, kita membiarkan Partai Komunis Tiongkok menumbangkan Amerika Serikat dan membiarkan ideologi komunis ini menyusup ke Amerika Serikat untuk menghancurkan kita.

John J. Mearsheimer adalah seorang profesor hubungan internasional di Universitas Chicago dan terkenal dengan teori “realisme ofensif”. Dia menggambarkan interaksi antara negara-negara besar terutama didorong oleh keinginan rasional untuk mencapai “hegemoni regional” dalam sistem internasional tanpa pemimpin. 

Berdasarkan teorinya, Mearsheimer yakin bahwa kekuatan Tiongkok yang semakin besar kemungkinan besar akan membawanya ke dalam konflik dengan Amerika Serikat. Mearsheimer, dalam bukunya “The Great Illusion-Liberal Dream and International Reality”, meyakini bahwa “hegemoni liberal” Amerika Serikat telah gagal.

Hegemoni liberal mengacu pada Amerika Serikat, sebagai negara yang menganut liberalisme, mencoba mempromosikan konsep sosial berdasarkan demokrasi dan kebebasan Barat ke negara dan wilayah lain melalui hegemoni regional dan global Amerika Serikat.

Akibat kegagalan hegemoni liberal AS, ditambah dengan bangkitnya nasionalisme di berbagai negara, serta peran AS dalam konflik di Afghanistan, Irak dan Suriah, serta kebijakan luar negeri AS di Ukraina dan Timur Tengah, ditambah dengan perluasan NATO dan kebangkitan Rusia dan Tiongkok, menyebabkan dunia kita beralih dari unipolar ke multipolar.

Dalam dunia multi-kutub saat ini, sangatlah penting bagi Amerika Serikat untuk memiliki posisi kepemimpinan yang jelas dalam diplomasi negara-negara besar. Kebangkitan Tiongkok dan kebangkitan kekuatan Rusia berarti hegemoni liberal sedang perlahan-lahan menghilang, dan Amerika Serikat kini menghadapi dua pesaing potensial yang mungkin sama-sama kompetitif. 

Salah satu alasan saya setuju dengan penilaian Profesor Mearsheimer adalah bahwa dalam perselisihan antara Amerika Serikat, Tiongkok, dan Rusia, Amerika Serikat harus bekerja sama dengan Rusia, yang sudah mencela komunisme, daripada mengecualikan Rusia dan mendorongnya ke arah komunisme. Komunitas internasional harus bersama-sama menghadapi musuh terbesar umat manusia : rezim Komunis Tiongkok.

Tarif yang diberlakukan oleh pemerintahan Trump dan pemerintahan Biden terhadap Tiongkok merupakan tindakan keras terhadap Partai Komunis Tiongkok. Tidak peduli siapa yang memenangkan pemilu kali ini, mereka harus terus melakukan pertarungan ekonomi strategis melawan PKT.

Menurut Mearsheimer, liberalisme sedang dikalahkan oleh nasionalisme. Namun menurut analisis saya, liberalisme sebenarnya sedang dikalahkan oleh komunisme internasional—-dikalahkan oleh komunisme Tiongkok yang berada di ekternal dan kaum sosialis sayap kiri yang berada di internal. 

Selain apa yang diidentifikasi Mearsheimer sebagai faktor persaingan antara nasionalisme, realisme dan liberalisme, yang menyebabkan hal tersebut terjadi adalah komunisme Tiongkok.(lin/mgl)

FOKUS DUNIA

NEWS