ETIndonesia. Situasi di Suriah semakin genting seiring dengan perhatian Rusia yang teralihkan oleh perang dengan Ukraina. Dalam perkembangan terbaru, Hayat Tahrir al-Sham (HTS) atau Tentara Pembebasan Suriah yang didukung oleh Turkiye dan negara-negara Barat melancarkan serangan balik yang signifikan.
Dalam dua hari, mereka berhasil merebut Aleppo—kota terbesar kedua di Suriah dengan populasi sekitar 2,1 juta jiwa—dan memberikan pukulan telak kepada pasukan gabungan Rusia, Suriah, dan Iran. Pasukan oposisi kemudian bergerak maju ke selatan menuju provinsi Idlib dan Hama.
Kepergian Assad dan Kemenangan Cepat Oposisi
Presiden Suriah Bashar al-Assad dilaporkan melarikan diri ke Moskow untuk meminta bantuan dari Presiden Vladimir Putin dan belum kembali ke negaranya. Pasukan oposisi membuka penjara di Aleppo, membebaskan sejumlah besar tahanan, termasuk tahanan politik rezim Assad. Ironisnya, kota yang direbut kembali oleh Assad dengan bantuan Rusia selama lima tahun, kini jatuh ke tangan oposisi hanya dalam dua hari.
Respons Rusia dan Pergantian Komando
Menanggapi situasi ini, Rusia dengan cepat mengirimkan bantuan senjata ke Suriah dan mengerahkan pembom strategis Tu-160 untuk melakukan pengeboman intensif di wilayah Aleppo dan area lain yang dikuasai pemberontak, menyebabkan korban besar di kalangan sipil dan militer. Meskipun demikian, pasukan Rusia yang ditempatkan di Suriah gagal menghentikan laju serangan oposisi.
Letnan Jenderal Sergey Kisel, komandan tertinggi Rusia di Suriah, dilaporkan telah dipecat akibat kegagalan ini. Informasi ini pertama kali muncul dari akun Telegram Rybar, yang memiliki hubungan dekat dengan Kementerian Pertahanan Rusia. Ada kabar bahwa Kolonel Jenderal Alexander Chaiko akan menggantikan posisi Kisel.
Rekam Jejak Kisel dan Tantangan di Suriah
Sergei Kisel sebelumnya terlibat dalam dua perang Chechnya dan invasi ke Georgia pada tahun 2008. Setelah April 2018, ia menjabat sebagai komandan Korps Pertama Tank Pengawal dan memiliki reputasi militer yang cemerlang. Namun, selama invasi Rusia ke Ukraina pada tahun 2022, ia mengalami kegagalan besar saat mencoba merebut Kharkiv, kota terbesar kedua di Ukraina. Setelah kegagalan tersebut, ia dipindahkan ke Suriah untuk memimpin pasukan gabungan Rusia dan Suriah.
Di Suriah, Kisel mengira akan menghadapi pasukan yang tidak terorganisir dan dapat dengan mudah mengembalikan reputasinya. Namun, situasinya jauh lebih kompleks. Pasukan oposisi yang didukung Turkiye bergerak dengan cepat, memaksa pasukan gabungan Rusia dan Suriah mundur secara besar-besaran, bahkan meninggalkan peralatan militer mereka dalam pelarian.
Kerugian dan Dampak bagi Rusia
Di bawah tekanan hebat pasukan pemberontak, tentara Rusia kehilangan beberapa pangkalan militer penting. Ada laporan bahwa pasukan khusus Rusia, SSO, mengalami kerugian signifikan. Pasukan ini dipimpin oleh Vadim Baikulov, seorang “Pahlawan Rusia” yang terkenal. Namun, Baikulov dikabarkan sedang berlibur di Moskow dan tidak kembali ke Suriah untuk memimpin pasukannya.
Pasukan pemberontak berhasil menyita sejumlah besar peralatan militer, termasuk lima pesawat tempur, tank T-72A, kendaraan infanteri BMP-1, kendaraan lapis baja BT-280, meriam M46 130mm, dan artileri anti-pesawat S-60. Keberhasilan ini membuat mereka berseloroh bahwa rezim Assad adalah pemasok senjata terbesar bagi mereka.
Bahkan blogger militer Rusia, Rybar, mengkritik kinerja para jenderal yang gagal di Ukraina dan kini gagal pula di Suriah. Jika Jenderal Chaiko juga tidak mampu membalikkan keadaan, ada kemungkinan Jenderal Sergei Surovikin—dikenal sebagai “Jenderal Armageddon” karena taktik militernya yang keras di Suriah—akan kembali diberi peran penting.
Keterlibatan Kekuatan Asing dan Perubahan Peta Politik
Selain Rusia dan Turkiye, Amerika Serikat, Irak, dan Iran turut terlibat dalam konflik yang semakin kompleks ini. Angkatan Udara AS dilaporkan mengerahkan pesawat serang A-10 “Warthog” untuk menyerang konvoi milisi Syiah Irak yang menuju Damaskus guna mendukung rezim Assad. Serangan ini menghancurkan sekitar 50 tentara dan beberapa kendaraan militer.
Turkiye, yang pernah menandatangani Perjanjian Astana dengan Rusia dan Iran, merasa dikhianati setelah Rusia melanggar perjanjian tersebut dengan membantu Assad merebut Aleppo dan wilayah Idlib. Kini, dengan Rusia yang teralihkan perhatiannya ke Ukraina dan Iran yang sibuk menghadapi tekanan dari Israel, Turkiye melihat peluang emas untuk membalas dendam dan mendukung pasukan oposisi di Suriah.
Pasukan pemberontak, termasuk organisasi seperti Hay’at Tahrir al-Sham (HTS) dan Pasukan Demokratik Suriah (SDF), membentuk koalisi untuk menyerang pasukan pemerintah. HTS, yang sebelumnya dikenal sebagai Front al-Nusra, telah ditetapkan sebagai organisasi teroris oleh Amerika Serikat, Rusia, dan Turkiye.
Masa Depan Suriah dan Dampaknya bagi Kawasan
Kemenangan ini merupakan yang pertama bagi pasukan pemberontak Suriah sejak Maret 2020, ketika Rusia dan Turkiye menandatangani perjanjian gencatan senjata. Meskipun jalan ke depan masih panjang dan penuh ketidakpastian, jelas bahwa Rusia, Iran, dan rezim Assad mengalami kerugian besar dalam konflik ini. Bagi Turkiye, ini adalah kemenangan strategis yang mengubah peta politik di Timur Tengah.
Pertanyaannya kini adalah bagaimana Rusia akan merespons situasi ini. Dengan pergantian komandan dan tekanan internasional yang meningkat, perkembangan tahap selanjutnya masih menjadi tanda tanya besar. Dunia menanti langkah berikutnya dari Kremlin.
Konflik Ukraina-Rusia: Dampak dan Perkembangan Terbaru
Sementara itu, di front Ukraina, perang terus berlanjut memasuki hari ke-1.014. Menurut data terbaru dari staf umum Ukraina, dalam 24 jam terakhir, tentara Rusia kehilangan 1.790 personel—tingkat kerugian tertinggi ketiga tahun ini. Total terjadi 158 pertempuran di berbagai medan.
Di garis depan Kharkiv, pasukan Ukraina berhasil memukul mundur 10 serangan Rusia, dengan estimasi kerugian Rusia mencapai 130 tentara. Pasukan Ukraina juga melancarkan serangan balik yang sukses di wilayah lain, termasuk menghancurkan pos komando Brigade ke-83 Rusia di Kursk menggunakan peluncur roket HIMARS.
Situasi Politik di Georgia: Kubu Pro-Eropa vs Pro-Rusia
Di tempat lain, Georgia menghadapi krisis politik serius. Aksi protes besar-besaran terjadi setelah pemilihan parlemen yang kontroversial, di mana partai pro-Rusia, Georgia Dream, mengklaim kemenangan meski data awal menunjukkan sebaliknya. Warga yang pro-Eropa menuntut pemilihan ulang dan percepatan proses bergabung dengan Uni Eropa.
Presiden Georgia, Salome Zurabishvili, Salome Zourabichvili,
yang pro-Eropa, mendukung aksi protes dan menolak mengakui hasil pemilihan. Pemerintah Georgia, di bawah Perdana Menteri Irakli Kobakhidze yang pro-Rusia, menolak mundur dan menanggapi aksi demonstrasi dengan keras, termasuk menggunakan gas air mata dan meriam air.
Dampak Regional dan Internasional
Situasi di Georgia mencerminkan ketegangan yang lebih luas antara kekuatan pro-Rusia dan pro-Barat di wilayah bekas Uni Soviet. Uni Eropa telah mengecam tindakan keras pemerintah Georgia terhadap demonstran dan mempertimbangkan sanksi. Keputusan Georgia untuk menunda negosiasi bergabung dengan Uni Eropa hingga akhir tahun 2028 memicu kemarahan lebih lanjut dari kubu pro-Eropa.
Penutup
Perkembangan di Suriah, Ukraina, dan Georgia menunjukkan dinamika geopolitik yang kompleks dan berubah dengan cepat. Dengan berbagai kekuatan regional dan internasional yang terlibat, situasi ini memiliki potensi untuk mempengaruhi stabilitas global. Dunia menanti dengan waspada bagaimana konflik-konflik ini akan berkembang dan apa dampaknya bagi tatanan internasional. (kyr)
Sumber : berbagai sumber