EtIndonesia. Ketegangan geopolitik meningkat ketika Korea Utara mengirimkan pasukan tambahan serta drone bunuh diri ke Rusia untuk mendukung invasi Moskow terhadap Ukraina. Pihak militer Korea Selatan mengonfirmasi pengiriman ini pada 23 Desember, menyebut langkah tersebut sebagai bagian dari upaya Korea Utara untuk memperkuat aliansinya dengan Rusia dalam konflik yang tengah berlangsung.
Pengiriman Militer Korea Utara ke Rusia
Menurut juru bicara Kepala Staf Gabungan Korea Selatan, Korea Utara telah mengirimkan sistem artileri roket multi-laras kaliber 240 mm, artileri swa-gerak kaliber 170 mm, serta persenjataan lainnya ke Rusia. Selain itu, Korea Utara juga bersiap memproduksi lebih banyak drone bunuh diri yang telah banyak digunakan di medan perang antara Rusia dan Ukraina. Pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un, telah memerintahkan produksi massal peralatan militer tersebut sebagai bagian dari strategi dukungan terhadap Rusia.
Korea Selatan, Amerika Serikat, dan Ukraina telah mengonfirmasi bahwa sekitar 12.000 tentara Korea Utara telah dikirimkan ke Rusia. Menurut militer Korea Selatan, Korea Utara juga berencana melakukan uji coba rudal hipersonik jarak menengah menjelang pelantikan Donald Trump, sekaligus mengirim lebih banyak balon sampah ke wilayah Korea Selatan sebagai bentuk provokasi.
Peringatan Amerika Serikat dan Tindakan Ukraina
Amerika Serikat telah mengeluarkan peringatan kepada warganya untuk segera meninggalkan Belarus, mengingat situasi yang semakin tidak stabil. Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy, juga meminta badan intelijen Slowakia untuk menyelidiki hubungan Perdana Menteri Fico dengan Rusia, mengindikasikan kekhawatiran atas kemungkinan kolusi politik yang dapat memperkuat posisi Rusia di Eropa Timur.
Ancaman Provokasi Strategis Korea Utara
Pejabat Staf Gabungan Korea Selatan mengungkapkan bahwa dengan dukungan Rusia, Korea Utara berpotensi melakukan berbagai provokasi strategis di tahun depan. Ini termasuk peluncuran rudal balistik antarbenua dan uji coba nuklir, yang bertujuan meningkatkan “nilai tawar” dalam perundingan dengan Amerika Serikat.
Komandan Pasukan Amerika Serikat di Korea, Brunson, menegaskan bahwa Amerika Serikat dan Korea Selatan akan memastikan kesiapan mereka melalui latihan militer gabungan yang intensif untuk menghadapi berbagai ancaman yang mungkin timbul.
Unjuk Rasa Anti-Rusia di Negara-Negara Bekas Uni Soviet
Selain dinamika di Semenanjung Korea, aksi protes anti-Rusia juga merebak di beberapa negara bekas Uni Soviet seperti Serbia, Georgia, dan Libya.
Pada 22 Desember, ibu kota Georgia, Tbilisi, dilanda gelombang demonstrasi besar-besaran yang menuntut pemerintahan pro-Rusia yang saat ini berkuasa. Warga yang mendukung Uni Eropa menuduh partai pemerintah memenangkan pemilu secara curang dan khawatir akan pergeseran Georgia menjauh dari jalur demokrasi Barat. Presiden Georgia mengancam akan mempertimbangkan upaya “menumbangkan kekuasaan konstitusional” jika belum ada kesepakatan untuk menggelar pemilu parlemen baru hingga 29 Desember.
Di Serbia, puluhan ribu warga turun ke jalan untuk menuntut pengunduran diri Presiden Aleksandar Vučić. Demonstrasi besar ini telah melumpuhkan aktivitas di kota-kota utama. Hubungan antara Serbia dan Rusia yang selama ini dianggap “persahabatan sekuat besi” mulai retak setelah Vučić menandatangani perjanjian perdagangan bebas dengan Tiongkok pada Oktober 2023, yang dianggap bertentangan dengan kepentingan Rusia.
Krisis di Belarus dan Libya
Media sosial juga dipenuhi kabar bahwa Belarus (Belarusia) mungkin akan mengalami kudeta pada 24–25 Januari. Pemerintah Amerika Serikat telah mengeluarkan peringatan perjalanan kepada warganya di Belarus sejak 18 Desember 2024, mengingat potensi penangkapan dan kerusuhan yang mungkin terjadi.
Sementara itu, setelah kehilangan pengaruh di Suriah, Rusia mengalihkan sebagian kekuatannya ke Libya. Di Libya, pemimpin agama tertinggi menyerukan persatuan rakyat untuk mengusir pasukan Rusia dan melindungi kekayaan sumber daya alam negara tersebut.
Perdana Menteri Libya, Abdul Hamid Dbeibah, yang didukung PBB, secara tegas menolak aktivitas militer Rusia di pangkalan Libya bagian timur. Menurut laporan The Guardian, Libya kini menjadi produsen minyak terbesar di benua Afrika, yang menunjukkan pentingnya peran Rusia dalam ekonomi dan strategi militernya di wilayah tersebut.
Konfrontasi Politik di Slovakia
Pada 22 Desember, Perdana Menteri Slovakia, Robert Fico, melakukan kunjungan mendadak ke Moskow untuk bertemu dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin, tanpa pengumuman sebelumnya. Langkah ini memicu reaksi keras dari warga Slovakia, yang kemudian menggelar aksi protes besar-besaran. Demonstran meneriakkan seruan “Rusia, cukuplah!” dan menyebut Fico sebagai “pengkhianat.” Mantan Perdana Menteri Igor Matovič dan tokoh oposisi lainnya turut serta dalam unjuk rasa tersebut.
Menteri Luar Negeri Ceko, Jan Lipavský, mengecam pertemuan Fico dan Putin, menyatakan bahwa kebijakan Pemerintah Ceko telah berhasil membebaskan negara dari ketergantungan energi Rusia, sehingga tidak perlu “merendah” di hadapan Moskow.
Presiden Ukraina, Zelenskyy, pada 23 Desember mengungkapkan melalui media sosial bahwa Fico dan Putin tidak memberikan konferensi pers bersama atau menjawab pertanyaan wartawan setelah pertemuan mereka di Moskow.
Zelenskyy menuduh bahwa Putin menawarkan diskon besar bagi Slovakia dengan imbalan “penukaran kedaulatan” atau “transaksi gelap,” dan menekankan pentingnya aparat penegak hukum Slovakia untuk menyelidiki tindakan ini. Ia mempertanyakan apa balasan Rusia terhadap langkah Fico, menandakan potensi eskalasi konflik politik di Eropa Timur.
Kesimpulan
Situasi geopolitik saat ini menunjukkan pergeseran aliansi dan peningkatan ketegangan di berbagai belahan dunia. Pengiriman pasukan dan drone bunuh diri Korea Utara ke Rusia, diikuti oleh aksi protes anti-Rusia di beberapa negara bekas Uni Soviet, mencerminkan dinamika konflik global yang semakin kompleks. Dengan langkah-langkah strategis yang diambil oleh berbagai pihak, dunia tengah menghadapi tantangan besar dalam menjaga stabilitas dan perdamaian internasional.