Runtuhnya Assad Dapat Mengganggu Kepentingan Strategis Tiongkok, Rusia, dan Iran

Alexander Liao, Olivia Li dan Sean Tseng

Runtuhnya pemerintahan Bashar al-Assad di Suriah dapat mengguncang kemitraan antara Tiongkok, Rusia, dan Iran—sebuah koalisi lunak yang didorong oleh perlawanan bersama terhadap kekuatan Barat.

Pada awalnya, ketiga negara tersebut  menjadi pendukung utama rezim al-Assad. Melemahnya dukungan mereka secara signifikan berkontribusi pada runtuhnya kekuasaan Assad.

Rusia, tempat Assad berada dalam pengasingan,  menjadi pendukung utama dengan memberikan bantuan militer dan mengerahkan tentara bayaran untuk memperkuat rezim tersebut. Namun, lebih dari dua tahun perang di Ukraina telah membebani sumber daya Rusia. Meskipun Rusia masih memiliki pangkalan laut dan udara di Suriah, kemampuannya untuk membantu Assad menjadi terbatas.

Iran juga memainkan peran penting dengan memberikan bantuan finansial dan militer secara langsung. Namun, Iran terpukul keras oleh sanksi, dan proksi-proksinya dilemahkan oleh Israel, sehingga mengurangi kapasitasnya untuk membantu Suriah.

Proksi Iran seperti Hizbullah dan Hamas telah mengalami kerugian akibat tindakan Israel setelah Hamas melancarkan serangan teroris ke Israel pada Oktober tahun lalu. Pada bulan September, dugaan peledakan ribuan pager dan walkie-talkie yang digunakan oleh Hizbullah di Lebanon oleh Israel secara signifikan melemahkan kepercayaan pada kepemimpinan kelompok tersebut.

Tiongkok telah mendukung Assad dengan memveto resolusi-resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menentang rezimnya serta menawarkan investasi dan bantuan, meskipun tidak ada laporan tentang bantuan militer langsung. Rezim Komunis Tiongkok secara historis bersikap oportunis dalam mendukung rezim-rezim anti-Barat. Ketika biaya strategis atau ekonomi menjadi terlalu tinggi, dukungan Beijing cenderung beralih.

Kekuatan yang saling berlawanan di dunia saat ini mencerminkan argumen mendiang Profesor Harvard Samuel Huntington, yang menulis “The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order”, diterbitkan pada tahun 1996.

Sang cendekiawan memprediksi dua blok global utama: satu dipimpin oleh Amerika Serikat dan sekutu-sekutu Baratnya, dan yang lainnya oleh Tiongkok, didukung oleh Rusia serta beberapa negara Islam. Meskipun deskripsinya tentang konflik pasca-Perang Dingin tampak jauh dari kemungkinan ketika bukunya diterbitkan, lanskap geopolitik global saat ini selaras dengan visinya.

Masa depan Suriah masih belum pasti. Jika negara itu terjerumus menjadi negara gagal, ia bisa menyerupai Afghanistan pasca-2001 atau Yaman masa kini yang ditandai oleh anarki, konflik internal, dan ketiadaan pemerintahan pusat.

Skenario ini akan mengganggu kepentingan strategis Rusia, Iran, dan Tiongkok. Misalnya, Rusia telah memulai penarikan besar-besaran dari Suriah. Sementara itu, Iran melihat koridor daratnya ke Lebanon—jalur penting untuk pergerakan personel militer, senjata, dan sumber daya ke Hizbullah—terganggu.  Komunis Tiongkok juga mengalami kemunduran dalam pengaruh politiknya di Suriah, yang telah bergabung dengan Inisiatif Belt and Road Initiative Beijing pada tahun 2022, namun hingga kini belum ada satu pun proyek yang diumumkan.

Lanskap internasional bisa kembali berubah jika Donald Trump kembali ke Gedung Putih. Pemerintahannya mungkin akan segera berupaya mengakhiri konflik di Timur Tengah dan Ukraina. 

Mengakhiri perang Rusia-Ukraina juga akan mengakhiri “persahabatan tanpa batas” antara Tiongkok dan Rusia, yang mana secara drastis akan mengubah hubungan mereka. Pemerintahan AS yang lebih tegas bisa saja fokus untuk menghadapi rezim Tiongkok, yang mana dianggap sebagai rival utama. Langkah seperti itu akan memberikan pukulan berat bagi blok anti-Barat yang terdiri dari Tiongkok, Rusia, dan sekutu-sekutu mereka di Timur Tengah. (asr)

FOKUS DUNIA

NEWS