EtIndonesia. Pada 25 Desember 2024, media Pemerintah Tiongkok melaporkan bahwa Beijing telah menyetujui pembangunan proyek bendungan hidroelektrik terbesar di dunia di bagian hilir Sungai Yarlung Zangbo. Proyek ini menimbulkan kekhawatiran besar, baik dari sisi lingkungan maupun geopolitik, terutama bagi India dan negara-negara Asia Selatan lainnya.
Sungai Yarlung Zangbo, yang dikenal sebagai Sungai Brahmaputra di India dan Sungai Jamuna di Bangladesh, adalah sumber kehidupan bagi lebih dari dua miliar orang. Proyek ini, disebut sebagai bendungan “Great Bend”, tidak hanya akan mengintensifkan ketegangan antara Tiongkok dan India, tetapi juga berpotensi merusak ekosistem regional dan memperburuk hubungan diplomatik di kawasan tersebut.
Menurut The Wall Street Journal, proyek ini menunjukkan ambisi Tiongkok untuk mengendalikan sumber daya air dari Dataran Tinggi Tibet, dengan biaya besar terhadap ekosistem dan kesejahteraan masyarakat di Tiongkok dan negara-negara tetangganya. Bendungan ini juga memperkuat pendekatan ekonomi berbasis infrastruktur besar-besaran yang mengorbankan investasi di bidang pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial.
Sejarah pembangunan bendungan di Tiongkok sering kali diwarnai oleh pengabaian hak-hak masyarakat lokal. Pada Februari 2024, ratusan orang ditangkap karena memprotes proyek bendungan lain di Tibet yang mengancam menenggelamkan desa-desa dan kuil-kuil. Bendungan baru di Motuo, Tibet, diperkirakan akan memicu reaksi serupa, terutama karena potensi dampaknya terhadap lingkungan dan komunitas lokal.
Sungai Yarlung Zangbo mengalir dari Tibet ke India dan Bangladesh. Tanpa adanya perjanjian pembagian air antara ketiga negara, pembangunan bendungan ini memicu kekhawatiran bahwa Tiongkok dapat menggunakan bendungan tersebut untuk mengontrol aliran air ke hilir. India, yang menghadapi krisis air akut, telah meningkatkan kewaspadaannya. Pada 3 Januari 2025, juru bicara Kementerian Luar Negeri India mendesak Tiongkok untuk memastikan bahwa aktivitas di hulu tidak merugikan negara-negara di hilir.
Kritik dari Amerika Serikat
Amerika Serikat juga menyatakan kekhawatirannya terhadap dampak pembangunan bendungan ini. Penasihat Keamanan Nasional AS, Jake Sullivan, dijadwalkan mengunjungi India pada 5–6 Januari untuk membahas implikasi geopolitik dari proyek tersebut. Seorang pejabat senior AS mengatakan bahwa pembangunan bendungan di Tiongkok, termasuk di Sungai Mekong, telah menimbulkan dampak merusak terhadap lingkungan dan masyarakat di negara-negara hilir.
Bendungan Great Bend akan dibangun di daerah tikungan sungai yang memiliki penurunan ketinggian hingga 6.500 kaki. Proyek ini mencakup pengeboran empat hingga enam terowongan sepanjang 12 mil melalui pegunungan berbatu. Bendungan ini dirancang untuk mengalihkan setengah dari aliran sungai, yaitu lebih dari 70.000 kaki kubik per detik, untuk menghasilkan energi yang sangat besar.
Namun, belum pernah ada proyek infrastruktur sebesar ini di kawasan yang rentan terhadap gempa bumi, sehingga meningkatkan risiko kerusakan pada infrastruktur lokal dan komunitas di lembah sungai bagian hilir.
Menurut The Wall Street Journal, proyek ini mencerminkan ambisi Presiden Xi Jinping untuk memposisikan Tiongkok sebagai kekuatan global yang dominan. Namun, pendekatan yang mengutamakan proyek infrastruktur raksasa ini mengorbankan investasi di bidang lain, seperti pendidikan dan kesehatan. Biaya proyek ini diperkirakan mencapai 137 miliar dolar, tiga kali lipat dari biaya Bendungan Tiga Ngarai, yang sudah kontroversial.
Sementara Tiongkok mempromosikan proyek ini sebagai sumber energi bersih, para ahli memperingatkan dampak negatif yang jauh lebih besar, termasuk risiko gempa, konflik sumber air dengan negara tetangga, dan kerusakan lingkungan yang luas. Proyek ini juga menunjukkan ketergantungan berlebihan Tiongkok pada industri berat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, yang telah memperlambat laju pertumbuhan dan mengikis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Seruan untuk Tindakan Global
Proyek bendungan Great Bend ini menyoroti perlunya perhatian internasional terhadap dampak lingkungan dan geopolitik yang ditimbulkan oleh ambisi infrastruktur Tiongkok. Pemerintahan AS yang akan datang di bawah Donald Trump diharapkan untuk bekerja sama dengan negara-negara Asia Selatan guna mengurangi dampak proyek ini terhadap lingkungan dan kesejahteraan masyarakat di kawasan tersebut.
Bendungan ini tidak hanya akan mengubah aliran sungai dan siklus pertanian di Asia Selatan, tetapi juga menyoroti pentingnya pengelolaan sumber daya air yang adil dan berkelanjutan di tengah meningkatnya tantangan global terhadap lingkungan.(jhn/yn)