Rahasia di Balik “Serangan Massal” Tanpa Perlidungan Tentara Korea Utara di Medan Perang

EtIndonesia. Memasuki awal tahun 2025, perhatian dunia terfokus pada performa dan pengorbanan tentara Korea Utara di medan perang Rusia-Ukraina. Laporan terbaru mengungkapkan bahwa tingginya angka korban jiwa tentara Korea Utara disebabkan oleh penggunaan taktik “serangan massal” yang usang dan tidak efektif.

Menurut berbagai sumber, tentara Korea Utara menerapkan taktik serangan kelompok besar yang terdiri dari 30 hingga 40 orang. Dalam taktik ini, mereka maju serentak tanpa perlindungan, membuat mereka menjadi sasaran empuk bagi serangan senjata cluster dan drone. Dalam satu serangan, seluruh pasukan sering kali tewas atau terluka parah. Ditambah lagi, mereka kekurangan perlengkapan modern, termasuk dukungan senjata berat dan tank. Bahkan dalam kondisi musim dingin, para tentara ini hanya mengenakan jubah putih sederhana buatan sendiri untuk bertahan dari cuaca ekstrem.

Taktik Usang dan Motivasi di Baliknya

Taktik serangan massal ini dinilai kaku dan tidak sesuai dengan perang modern. Ada tiga alasan utama di balik penerapan taktik ini:

1.  Menghindari Pembelotan
Pasukan kecil lebih rentan terhadap pembelotan karena ketakutan atau demotivasi. Dengan mengerahkan kelompok besar, peluang pembelotan dapat diminimalkan.

2.  Latihan yang Terbatas
Tentara Korea Utara dilatih untuk bertempur secara kolektif dengan fokus pada serangan frontal. Mereka tidak memiliki pelatihan taktik fleksibel yang dibutuhkan dalam perang modern.

3.  Kekurangan Peralatan
Tanpa senjata berat dan tank yang memadai, tentara hanya bisa mengandalkan jumlah dan keberanian untuk menghadapi musuh.

Namun, dalam konteks perang modern yang didominasi oleh senjata presisi seperti drone, taktik ini tidak hanya usang tetapi juga menjadi bencana. Formasi besar menjadi target yang sangat mudah bagi musuh.

Motivasi Politik di Balik Partisipasi Korea Utara

Laporan dari Korean Yonhap News Agency menyebutkan bahwa partisipasi tentara Korea Utara di perang Rusia-Ukraina kemungkinan besar terkait dengan strategi politik Korea Utara. Pengiriman tentara ini dapat dipandang sebagai bentuk bantuan militer untuk mendapatkan manfaat ekonomi. Beberapa analis memperkirakan bahwa Korea Utara menggunakan keuntungan dari pengiriman tentara untuk membeli barang mewah dan perlengkapan militer baru. Diperkirakan, Kim Jong-un dapat meraup keuntungan hingga 3 miliar dolar setahun dari strategi ini, meskipun tindakan ini memicu kritik internasional terhadap kebijakan militernya.

Pilihan Tragis: Bunuh Diri atau Dieksekusi

Ketakutan terhadap hukuman di Korea Utara membuat banyak tentara lebih memilih bunuh diri daripada menyerah kepada pasukan Ukraina. Pada 27 Desember 2024, juru bicara Dewan Keamanan Nasional AS, John Kirby, mengungkapkan bahwa banyak tentara Korea Utara yang dikerahkan ke front barat Rusia di wilayah Kursk lebih memilih mengakhiri hidup mereka sendiri daripada menghadapi risiko keluarganya di Korea Utara dihukum oleh rezim Kim Jong-un.

Dalam konferensi pers virtual, Kirby menegaskan bahwa “taktik lautan manusia” yang diterapkan oleh Korea Utara tidak efektif dan justru membawa kerugian besar. Menurut analisis, lebih dari 1.000 tentara Korea Utara tewas atau terluka hanya dalam satu minggu terakhir.

Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy menulis di platform X (dulu Twitter): “Data awal menunjukkan bahwa lebih dari 3.000 tentara Korea Utara tewas atau terluka di wilayah Kursk.”

Zelenskyy juga menuduh bahwa tentara Korea Utara diperlakukan sebagai “barang habis pakai” oleh komandan militer Rusia dan Korea Utara. Mereka sering dikirim ke medan perang tanpa perlindungan yang memadai, dan banyak yang menghadapi eksekusi oleh rekan mereka sendiri jika mencoba melarikan diri atau menyerah.

Reaksi Internasional terhadap Krisis Kemanusiaan

Penggunaan tentara Korea Utara dalam perang ini tidak hanya menjadi sorotan sebagai isu militer tetapi juga sebagai tragedi kemanusiaan. Banyak pihak mengkritik keras taktik Rusia dan Korea Utara, yang memanfaatkan tentara dari negara miskin sebagai “alat perang” tanpa mempertimbangkan keselamatan mereka.

Partisipasi Korea Utara dalam perang ini mencerminkan tantangan yang lebih besar: bagaimana komunitas internasional merespons negara-negara yang menggunakan manusia sebagai alat tawar-menawar geopolitik tanpa mempedulikan nilai kemanusiaan.(jhn/yn)

FOKUS DUNIA

NEWS