Ide Xi tentang Swasembada Tiongkok  Tak Lebih dari Mimpi Belaka

Pemimpin Tiongkok  ingin mengurangi kerentanan negaranya terhadap dunia luar. Namun, ia hanya berhasil setengahnya—dan hanya dalam setengah dari persamaan ketergantungan.

Milton Ezrati

Pemimpin Partai Komunis Tiongkok (PKT), Xi Jinping, telah menetapkan tujuannya dengan jelas: ia ingin mengurangi kerentanan ekonomi Tiongkok terhadap dunia luar. Ia berusaha mencapai hal ini dengan mengurangi ketergantungan industri Tiongkok, terutama sektor teknologi, pada sumber daya dari luar negeri.

Sebagian dari motivasi Xi tidak diragukan lagi berasal dari tindakan mantan Presiden AS, Joe Biden, yang memutus penjualan semikonduktor canggih dan peralatan pembuat chip ke Tiongkok. Namun, Xi tampaknya melewatkan satu poin penting. Bahkan jika Tiongkok bisa memproduksi semua kebutuhannya sendiri, ekonominya tetap sangat bergantung pada ekspor, sehingga tetap rentan terhadap kondisi global. Kecuali Tiongkok dapat mengonsumsi semua yang diproduksinya—sebuah skenario yang sangat tidak mungkin—maka kemandirian yang dicari Xi akan sulit tercapai.

Parameter upaya ini berasal dari rencana Made in China 2025″. Program yang pertama kali dirilis pada tahun 2015 ini mengalokasikan miliaran dana negara untuk investasi di sektor yang dianggap sebagai teknologi masa depan. Sektor-sektor tersebut meliputi kendaraan listrik (EV), baterai, kedirgantaraan, pembuatan kapal, kecerdasan buatan (AI), robotika, perangkat medis, kincir angin, panel surya, dan peralatan medis.

Investasi dalam sektor-sektor ini melonjak pada tahun 2023, dengan Beijing menggelontorkan sekitar $45 miliar, naik drastis dari $15 miliar pada 2019. Berkat investasi ini, TIongkok telah mencapai kemajuan besar di beberapa sektor, sementara di sektor lain hasilnya kurang memuaskan dan hanya menghasilkan pemborosan sumber daya.

Keberhasilan dan Kegagalan

Keberhasilan terbesar tampaknya ada di sektor kendaraan listrik (EV). Tiongkok  kini memproduksi lebih dari setengah EV dunia. Hampir setengah dari penjualan mobil di Tiongkok tahun lalu adalah plug-in atau hibrida buatan dalam negeri. Pada tahun 2024, Tiongkok menjual sekitar 31,4 juta kendaraan, baik di dalam maupun luar negeri, menurut Asosiasi Produsen Mobil Tiongkok.

Industri kimia juga mengalami kemajuan. Sebelumnya, Tiongkok  harus mengimpor sebagian besar kebutuhan kimianya, dengan defisit perdagangan sebesar $40 miliar pada tahun 2020. Namun, lonjakan investasi telah mengubah situasi ini. Kini, Tiongkok mampu memenuhi semua kebutuhan kimianya secara domestik dan bahkan mengekspor bahan kimia, mencatat surplus $34 miliar tahun lalu.

Huawei juga menunjukkan kemajuan dalam produksi perangkat elektronik. Meskipun ponsel Mate 60 miliknya masih belum bisa bersaing secara langsung dengan iPhone buatan Apple, perusahaan ini telah meningkatkan sistem operasinya untuk mengatasi pembatasan Google terhadap sistem Android mereka.

Namun, beberapa sektor lain tidak berjalan sesuai rencana. Misalnya, rencana “Made in China 2025” tidak menargetkan dominasi pangan, dan itu masuk akal mengingat keterbatasan lahan subur serta kelangkaan air di Tiongkok. Akibatnya, ketergantungan Tiongkok pada impor pangan justru meningkat, dengan 5% dari serealnya berasal dari luar negeri.

Di sektor kedirgantaraan, hasilnya beragam. Jetliner C919 buatan Commercial Aircraft Corporation of China (COMAC), yang digadang-gadang sebagai pesaing Boeing dan Airbus, memang sudah beroperasi. Namun, 40% dari komponennya masih diimpor dari Jerman, Prancis, dan Amerika Serikat.

Di sektor teknologi, realitas jauh tertinggal dari target. Rencana “Made in China 2025” bertujuan agar produksi semikonduktor dalam negeri dapat memenuhi 70% kebutuhan nasional, tetapi hingga tahun 2024, angka tersebut baru mencapai 24%. Terobosan AI seperti DeepSeek memang sesuai dengan rencana, tetapi ironisnya, perkembangan tersebut terjadi di luar kendali pemerintah, yang membuat Beijing tidak sepenuhnya puas.

Ketergantungan yang Tak Terhindarkan

Bahkan jika semua rencana “Made in China 2025” berjalan sempurna—yang sangat tidak mungkin—Tiongkok tetap tidak akan bisa benar-benar mandiri dari dunia luar. Kisah industri kimia dan EV menunjukkan hal ini. Produksi di sektor-sektor tersebut telah meningkat melebihi kebutuhan domestik, sehingga Tiongkok bergantung pada ekspor agar investasinya tetap menguntungkan.

Tanpa ekspor, banyak investasi yang akan menjadi sia-sia. Namun, ekspor membutuhkan pembeli, yang berarti ekonomi Tiongkok tetap bergantung pada kondisi global dan kebijakan negara lain. Amerika Serikat, misalnya, telah memberlakukan tarif besar terhadap EV buatan Tiongkok, begitu pula dengan Eropa.

Panel surya dan kincir angin menghadapi tantangan yang sama: mereka memerlukan pasar luar negeri agar investasi Tiongkok dapat menghasilkan keuntungan. Bahkan jika jetliner C919 sepenuhnya dibuat dengan komponen dalam negeri, tetap saja pembeli dari luar negeri diperlukan agar proyek ini menguntungkan.

Satu-satunya cara agar Tiongkok benar-benar tidak bergantung pada dunia luar adalah dengan menciptakan ekonomi yang sepenuhnya berbasis konsumsi domestik tanpa mengimpor apa pun—tetapi itu hampir mustahil. Dalam kondisi saat ini, sulit bagi Xi untuk menjaga pertumbuhan ekonomi Tiongkok tetap stabil.

Pandangan yang diungkapkan dalam artikel ini adalah opini penulis dan tidak mencerminkan pandangan The Epoch Times.

Milton Ezrati adalah editor kontributor di The National Interest, afiliasi dari Center for the Study of Human Capital di University at Buffalo (SUNY), dan kepala ekonom di Vested, sebuah firma komunikasi yang berbasis di New York. Sebelum bergabung dengan Vested, ia menjabat sebagai kepala strategi pasar dan ekonom untuk Lord, Abbett & Co. Dia juga sering menulis untuk City Journal dan menulis blog untuk Forbes. Buku terbarunya adalah “Thirty Tomorrows: The Next Three Decades of Globalization, Demographics, and How We Will Live.”

FOKUS DUNIA

NEWS