Trump: Saya Mampu Menghentikan Putin

EtIndonesia. Presiden AS, Donald Trump diwawancarai oleh pendiri situs olahraga OutKick, Clay Travis, pada akhir pekan lalu. Dalam perbincangan tersebut, Trump membahas hubungannya dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin. Dia mengaku memahami Putin dan sedang berusaha menghentikan kelanjutan perang.

Trump Bicara Soal Putin dan Upaya Menghentikan Perang Ukraina

Situs olahraga Amerika OutKick pada 22 Maret memuat artikel wawancara eksklusif dengan judul bahwa sang pendiri, Clay Travis, menjalani akhir pekan yang lebih keren dari kebanyakan orang. Dia menghabiskan hari Jumat dan Sabtu sebagai bagian dari tim peliput Gedung Putih, dan pada Jumat malam menaiki pesawat kepresidenan Air Force One menuju New Jersey, lalu terbang ke Philadelphia untuk menghadiri Kejuaraan Gulat NCAA. Ini menjadikan OutKick sebagai situs olahraga pertama yang bergabung dalam press pool atau rombongan media resmi Gedung Putih.

Lebih dari itu, Clay Travis juga mendapat kesempatan istimewa untuk mewawancarai Presiden Trump secara langsung di dalam Air Force One.

Ketika Clay menanyakan hubungan Trump dengan Putin, Trump menjawab: “Saya sangat mengenalnya. Kami tidak pernah mengalami konflik besar karena rekayasa ‘Rusia, Rusia, Rusia’ itu.”

Trump melanjutkan: “Kami berdiskusi secara rasional. Yang saya inginkan hanyalah agar orang-orang tidak terus terbunuh. Mereka kehilangan 2.500 anak muda setiap minggu—baik dari pihak Rusia maupun Ukraina.”

Di dalam Air Force One, Trump mengatakan kepada Clay Travis: “Saya ingin melihat apakah kita bisa menghentikan terus bertumbangannya nyawa para tentara (di perang Rusia-Ukraina). Konflik semacam ini bisa memicu Perang Dunia Ketiga.”

Clay sempat menyinggung bahwa selama masa jabatan Trump sebelumnya, Putin tidak melakukan invasi terhadap Ukraina.

Trump menjawab :“Saat saya menjabat sebagai presiden, dia tidak menginvasi negara manapun.”

Trump juga mengatakan : “Saya rasa, selain saya, tak ada satu pun di dunia ini yang bisa menghentikan Putin. Dan saya percaya, saya memiliki kemampuan untuk menghentikannya.”

Trump kemudian menyoroti bahwa aksi militer Rusia di Georgia dan Krimea terjadi pada masa pemerintahan Presiden George W. Bush dan Barack Obama, sementara invasi ke Ukraina terjadi pada masa kepemimpinan Presiden Joe Biden.

Clay Travis juga bertanya apakah Trump akan menjadi kandidat utama penerima Hadiah Nobel Perdamaian bila berhasil menengahi perang Rusia-Ukraina. 

Trump menjawab:  “Saya rasa, kami layak mendapatkan penghargaan itu karena tiga sampai empat hal berbeda.”

Salah satu yang dia maksud adalah Abraham Accords, kesepakatan bersejarah yang berhasil dicapai selama masa pemerintahannya, di mana beberapa negara Arab seperti Uni Emirat Arab dan Bahrain menormalisasi hubungan dengan Israel pada tahun 2020.

The Hill: Trump Ternyata Benar dalam Masalah Ukraina

Menariknya, dalam artikel opini yang diterbitkan oleh The Hill—sebuah media AS yang biasanya condong ke kiri dan cukup kritis terhadap Trump—pada 18 Maret, penulis Alan J. Kuperman mengatakan bahwa Trump benar dalam pandangannya tentang Ukraina. 

Artikel tersebut berjudul “Sungguh Menyedihkan, Tapi Trump Benar Mengenai Ukraina”.

Alan J. Kuperman adalah pengajar program magister Studi Kebijakan Global dan juga pendiri serta koordinator awal Program Pencegahan Proliferasi Nuklir.

Dalam artikel tersebut, Kuperman menyampaikan tiga poin utama:

  1. Perang ini sebetulnya tidak perlu terjadi.
  2. Presiden Joe Biden dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy berperan besar dalam memprovokasi dan memperbesar perang.
  3. Media Barat telah menyebarkan informasi yang menyesatkan.

Kuperman menulis: “Saya jarang setuju dengan Presiden Trump, tapi sebagian besar komentarnya yang kontroversial mengenai Ukraina belakangan ini ternyata benar. Selama lebih dari satu dekade, publik Barat dicekoki informasi palsu mengenai Ukraina. Sudah saatnya kita meluruskan tiga poin penting yang menjelaskan mengapa bukan hanya Putin, tetapi juga Zelenskyy dan Biden, yang turut bertanggung jawab atas meletus dan berlarutnya perang ini.”

Menurut Kuperman:  “Biden memiliki andil besar dalam memicu dan memperpanjang perang ini. Pada akhir 2021, saat Putin memobilisasi pasukan di perbatasan Ukraina dan menuntut agar Perjanjian Minsk dijalankan, sudah sangat jelas bahwa jika Zelenskyy tidak mengalah, Rusia akan melakukan invasi, setidaknya untuk membentuk jembatan darat antara Donbas dan Krimea.”

Lebih lanjut, Kuperman menjelaskan: “Karena Ukraina saat itu sangat bergantung pada bantuan militer dari AS, seandainya Presiden Biden bersikeras agar Zelenskyy mematuhi tuntutan Putin, maka perang bisa saja dihindari. Namun, Biden justru menyerahkan keputusan kepada Zelenskyy dan menjanjikan bahwa AS akan ‘merespons dengan cepat dan tegas’ jika Rusia menyerang. Janji ini ditafsirkan Zelenskyy sebagai lampu hijau untuk menentang Putin.”

Kuperman menambahkan bahwa jika Trump saat itu yang menjadi presiden, kemungkinan besar dia tidak akan memberi ‘cek kosong’ seperti Biden. Dalam kondisi seperti itu, Zelenskyy tidak punya pilihan selain menjalankan Perjanjian Minsk guna menghindari perang.(jhn/yn)

FOKUS DUNIA

NEWS