Sebuah laporan terbaru mengungkap bahwa Tiongkok tengah membangun sedikitnya 50 proyek infrastruktur “berkegunaan ganda” di negara-negara kepulauan Pasifik melalui program Belt and Road Initiative (BRI). Meski secara lahiriah proyek-proyek ini tampak sebagai fasilitas sipil, namun kenyataannya berpotensi digunakan untuk kepentingan militer. Langkah ini dipandang sebagai bagian dari upaya Beijing membangun jaringan strategis yang bisa mengancam Amerika Serikat dan sekutunya.
EtIndonesia. Menurut laporan Newsweek pada 14 April, Tiongkok secara perlahan memperluas pengaruh militer di kawasan Pasifik melalui pembangunan pelabuhan, bandara, serta infrastruktur komunikasi di bawah program BRI.
Laporan ini diterbitkan melalui kolaborasi Institut Riset Pertahanan dan Keamanan Nasional Taiwan (INDSR) bersama lembaga riset dari Selandia Baru dan Republik Ceko. Disebutkan bahwa selama dua dekade terakhir, Tiongkok telah membangun lebih dari 50 infrastruktur strategis yang berfungsi ganda—berpotensi dijadikan pangkalan militer meski diklaim sebagai proyek sipil biasa.
Shen Mingshi, wakil profesor dari Institut Studi Internasional dan Strategi Universitas Tamkang (Taiwan), mengatakan: “Laporan ini menyoroti niat strategis Beijing di kawasan Pasifik serta arah kebijakan yang mereka tempuh. Ini bisa menjadi peringatan serius bagi Selandia Baru, Australia, dan Amerika Serikat—bahwa Tiongkok tengah secara aktif memperluas pengaruhnya dan kemungkinan besar akan lebih sering menampilkan kehadiran kapal perang maupun penjaga pantai mereka di wilayah ini.”
Menurut Shen, secara geopolitik, “Jalur Sutra Maritim” menuju arah timur merupakan salah satu fokus utama BRI.
“Jika Tiongkok ingin membangun hegemoni maritim atau menjadi negara dengan kekuatan angkatan laut jarak jauh, maka mereka membutuhkan banyak pangkalan militer luar negeri. Saat ini, pangkalan resmi mereka hanya ada di Djibouti dan Ream, Kamboja. Maka dari itu, membangun basis di Pasifik Selatan menjadi sangat penting, agar mereka bisa menjangkau kawasan tengah hingga timur Pasifik, serta mengimbangi kekuatan angkatan laut Amerika dan Australia.”
Laporan menyebutkan bahwa infrastruktur ini membentuk rangkaian titik strategis sepanjang 3.000 mil, dari Papua Nugini hingga Samoa, yang oleh para ahli dijuluki sebagai “rantai mutiara”.
Dr. Chung Chih-tung dari INDSR Taiwan menjelaskan: “Ini adalah upaya nyata Tiongkok untuk memperluas kehadiran militernya di wilayah Pasifik. Yang paling penting adalah untuk menembus ‘rantai pulau pertama dan kedua’ yang selama ini dianggap sebagai penghalang alami terhadap ekspansi Tiongkok. Jika pelabuhan dan bandara ini memiliki kehadiran militer Tiongkok, maka secara otomatis akan memberi tekanan besar kepada AS dan sekutunya.”
Namun, para pakar juga menilai bahwa jejaring ini lebih bersifat simbolik daripada nyata dalam hal kemampuan militer.
Masih menurut Dr. Chung: “Hanya satu-dua kapal muncul di sana belum cukup untuk menjadi kekuatan militer yang benar-benar bisa diandalkan. Jika Tiongkok benar-benar ingin menembus rantai pulau pertama dan mengerahkan militer di wilayah tengah atau timur Pasifik, maka rantai logistik mereka akan sangat panjang, dan itu adalah kelemahan besar. Tapi tetap saja, keberadaan militer semacam ini akan digunakan untuk menunjukkan bahwa Tiongkok adalah kekuatan besar yang bisa menantang dominasi AS.”
Salah satu basis militer yang sedang disorot adalah Pangkalan Angkatan Laut Ream di Kamboja, yang direnovasi dengan dana Tiongkok dan diresmikan pada 6 April. Sehari kemudian, kapal perang Tiongkok dan Kamboja menggelar latihan bersama di sana. Kapal-kapal Tiongkok secara rutin berotasi di pangkalan ini.
Menurut Shen Mingshi: “Setelah meningkatnya kewaspadaan global, AS dan Australia akan semakin waspada terhadap keterlibatan Tiongkok di negara-negara Pasifik, terutama soal pengelolaan atau penyewaan pelabuhan. Mereka mungkin akan menggandeng Jepang, bahkan India, untuk mengalokasikan sumber daya dan membantu negara-negara ini dalam pembangunan infrastruktur.”
Shen menyebutkan bahwa pada pernyataan bersama Quad (Kerja Sama Keamanan Empat Negara) tahun lalu, sudah ada komitmen untuk membantu negara-negara Pasifik Selatan membangun jaringan kabel bawah laut dan infrastruktur komunikasi, guna menghindari ketergantungan pada proyek infrastruktur dari Tiongkok yang bisa merusak stabilitas kawasan.
Sementara itu, kantor berita Kyodo melaporkan bahwa kapal Pasukan Bela Diri Maritim Jepang akan bersandar di Pangkalan Ream, Kamboja, pada 19–22 April. Menteri Pertahanan Jepang Itsunori Onodera menegaskan bahwa:
“Tiongkok kini secara aktif berusaha mengamankan pelabuhan dan titik logistik di luar negeri—dan langkah mereka semakin terlihat nyata.”
Kehadiran kapal Jepang ini diharapkan dapat mendorong Pangkalan Ream menjadi pelabuhan yang lebih terbuka, bukan monopoli eksklusif Beijing. (Jhon)
Sumber ; NTDTV.com