Benarkah Xi Jinping Akan Mundur? Bocoran Kesepakatan Rahasia dan Perang Dingin di Balik Layar

EtIndonesia. Sebuah babak baru drama politik Tiongkok terkuak hari ini ketika Presiden Amerika Serikat, Donald Trump melakukan percakapan telepon selama satu setengah jam dengan Xi Jinping. Dalam pembicaraan yang diumumkan secara resmi oleh kantor berita Xinhua, Xi bahkan secara terbuka mengundang Trump untuk melakukan kunjungan ke Beijing. Namun di balik publikasi yang tampak biasa itu, tersembunyi serangkaian anomali yang mengundang tanda tanya besar di kalangan pengamat dan diplomat internasional: apakah ini pertanda kekuasaan Xi Jinping di ujung tanduk?

Keanehan Fatal di Rilis Xinhua: Xi Jinping Tanpa Gelar Presiden

Salah satu kejanggalan paling mencolok justru datang dari siaran resmi Xinhua, lembaga berita Pemerintah Tiongkok yang sangat ketat dalam penggunaan protokol dan gelar negara. Pada rilis pertama terkait percakapan telepon ini, Xinhua menulis judul “Xi Jinping dan Presiden AS, Trump melakukan percakapan telepon” tanpa mencantumkan gelar “Presiden” pada Xi Jinping. Padahal, sesuai tradisi dan protokol resmi Tiongkok, setiap komunikasi atau pertemuan antarpemimpin negara harus menyebutkan gelar secara lengkap di kalimat pertama.

Tak lama kemudian, Xinhua mengedit berita tersebut dengan menambahkan gelar Presiden pada Xi Jinping. Namun, keanehan tetap terlihat jelas karena kedua versi—yang salah dan yang sudah diperbaiki—masih bisa diakses secara bersamaan di situs resmi Xinhua. Pengamat luar negeri, Tang Jun, menilai ini bukan sekadar kelalaian teknis, melainkan sebuah sinyal politik yang sangat besar: apakah Xi Jinping benar-benar masih menjabat sebagai Presiden Tiongkok, atau justru status itu kini tengah dipertanyakan oleh lingkaran dalam kekuasaan?

Pertemuan Tidak Lazim di Tengah Rumor Perubahan Kekuasaan

Sehari sebelumnya, Xi Jinping diketahui menerima kunjungan Presiden Belarusia, Alexander Lukashenko, di kompleks Zhongnanhai. Yang menarik, lokasi pertemuan bukanlah di ruang-ruang kenegaraan utama seperti Balai Rakyat ataupun Gedung Tamu Negara Diaoyutai—melainkan di sebuah rumah pribadi Xi, tepat di sebelah kantornya sendiri di bagian barat laut Fengzeyuan, Zhongnanhai. Fakta ini bocor lewat media Belarusia, yang mempublikasikan foto outdoor plakat Chunyi Zhai, bangunan privat Xi, menambah keyakinan bahwa Xi telah kehilangan akses ke kantor Sekretaris Jenderal di Yingtai, pulau kecil di danau selatan Zhongnanhai yang selama ini dikenal sebagai pusat kekuasaan tertinggi PKT.

Dalam pertemuan itu, Xi bahkan secara terang-terangan mengatakan: “Kantor saya ada di sebelah.” 

Ini pertama kalinya dia menerima tamu penting di lokasi tersebut—sebuah langkah yang secara protokol sangat janggal dan memperkuat dugaan bahwa ia sudah tidak lagi bekerja di kantor Sekjen resmi. Bloomberg juga menyoroti hal ini dalam laporan tanggal 5 Juni, menegaskan perubahan lokasi sebagai indikator pergolakan kekuasaan internal.

Selain itu, pertemuan ini juga diwarnai pengumuman rencana parade militer memperingati 80 tahun kemenangan Perang Dunia II pada 3 September mendatang di Beijing, di mana Vladimir Putin dijadwalkan hadir. Xi bahkan mengundang Lukashenko untuk hadir, sekaligus pada KTT Shanghai Cooperation Organization. Namun, bagi banyak pengamat, parade militer dan undangan besar-besaran ini justru dibaca sebagai upaya Xi menegaskan eksistensinya di tengah ancaman perubahan kekuasaan.

Gelombang Rumor Suksesi dan Negosiasi Politik di Balik Layar

Di balik layar, rumor tentang perubahan kekuasaan di tubuh Partai Komunis Tiongkok semakin deras. Nama Wang Yang, mantan anggota Politbiro, santer disebut-sebut akan kembali ke Zhongnanhai sebagai Sekretaris Jenderal transisi. Menurut bocoran, kepulangan Wang Yang bukanlah perintah dari atas, melainkan hasil negosiasi alot dengan para elite Partai. Wang mengajukan sejumlah syarat keras: Menteri Luar Negeri, Wang Yi dan juru bicara Kemenlu Hua Chunying harus mundur, serta mantan Menlu Qin Gang harus dikembalikan ke posisinya untuk memulihkan hubungan diplomatik dengan Amerika Serikat.

Sumber internal menyebut, pada pertemuan rahasia di Henan, sejumlah tokoh kunci Partai secara langsung meminta Xi Jinping untuk pensiun dengan cara terhormat dan memfasilitasi transisi damai. Syarat utama yang diajukan Xi adalah jaminan keamanan penuh bagi dirinya dan keluarga, perlindungan makam serta monumen ayahnya (Xi Zhongxun), serta janji tidak akan ada aksi balas dendam atau “bersih-bersih politik.” Para senior Partai kabarnya sepakat, menawarkan “kesepakatan garis bawah”: Xi turun secara sukarela tanpa pengusiran paksa, dan hak-hak keluarga Xi tetap dijamin.

Kesepakatan ini juga melibatkan Wakil Ketua Komisi Militer, Jenderal Zhang Youxia, yang disebut-sebut telah mengamankan kendali militer dan memastikan transisi berjalan lancar.

Xi Jinping Berusaha Lakukan Serangan Balik: Trump dan Putin Jadi “Jaminan Politik”?

Meski berbagai tanda menunjukkan kekuasaannya mulai rapuh, Xi Jinping tetap berupaya melakukan “serangan balik.” Pengamat menilai, Xi memanfaatkan momentum kehadiran dua tokoh besar dunia—Trump dan Putin—untuk membangun kembali citra pengaruh internasional dan memperkuat posisinya di mata elite Partai Komunis Tiongkok.

Strategi semacam ini pernah dipakai Xi pada masa jabatan pertama Trump, saat posisi domestiknya juga lemah dan dia membutuhkan legitimasi eksternal untuk bertahan. Namun, banyak analis berpendapat, situasi kali ini jauh berbeda: kekuatan militer telah dikuasai oleh faksi Zhang Youxia, dan lawan-lawan politik Xi telah membangun konsensus anti-Xi yang solid.

Kunjungan Lukashenko ke Beijing pun ditafsirkan sejumlah kalangan sebagai “misi pengintaian” dari Putin, guna memastikan kondisi riil Xi di balik layar. Banyak yang mempertanyakan, setelah kehilangan kantor dan pengaruh formal, apakah Putin masih akan menaruh kepercayaan pada Xi dalam konteks hubungan bilateral dan aliansi strategis Tiongkok–Rusia?

Penutup: Ke Mana Arah Tiongkok Selanjutnya?

Dengan serangkaian keanehan rilis berita, perubahan lokasi pertemuan penting, serta gelombang rumor pergantian kepemimpinan, drama politik di Tiongkok kini memasuki fase genting yang jarang terjadi dalam sejarah Partai Komunis modern. Apakah Xi Jinping benar-benar akan turun secara terhormat atau justru tersingkir dalam gelombang kudeta “halus”? Akankah jaminan untuk keluarganya benar-benar dijaga? Dan, apakah parade militer serta undangan terhadap Trump dan Putin hanya menjadi “dekorasi terakhir” dari kekuasaan yang segera berlalu?

Situasi ini menandai babak baru ketidakpastian politik di Tiongkok, dengan implikasi besar bagi masa depan negeri itu, kawasan Asia Timur, dan tatanan global.

FOKUS DUNIA

NEWS