EtIndonesia. Kanada sebagai tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G7 yang akan digelar bulan ini, telah mengundang sejumlah negara non-anggota seperti Ukraina, Australia, Brasil, dan Afrika Selatan. Namun, India—yang sejak tahun 2019 hampir selalu hadir dan bahkan membanggakan diri sebagai negara dengan “pengaruh global yang kian menguat”—secara mengejutkan kali ini tidak termasuk dalam daftar undangan.
Sejak tahun 2019, India secara de facto telah menjadi “tamu tetap” dalam pertemuan G7, meskipun bukan anggota resmi. Pemerintahan Modi bahkan menjadikan partisipasi itu sebagai simbol pengakuan atas “kebangkitan India” di panggung dunia. Maka dari itu, tidak diundangnya India pada pertemuan G7 tahun 2025 kali ini, bagaikan tamparan keras di muka. Banyak pihak menilai, keputusan Kanada tidak semata-mata bersifat prosedural, melainkan memiliki makna politik yang lebih dalam.
Pada tahun 2023, seorang tokoh agama Sikh berkewarganegaraan Kanada, Hardeep Singh Nijjar, tewas ditembak dalam sebuah aksi pembunuhan di Vancouver. Sejak itu, hubungan bilateral antara Kanada dan India memburuk drastis. Pemerintah Kanada secara terbuka menuduh agen intelijen India terlibat dalam serangkaian aksi kriminal, termasuk pembunuhan dan pembakaran, serta menekan diaspora India di Kanada agar menjadi mata-mata. Situasi ini memunculkan krisis diplomatik serius, hingga menyebabkan kedua negara saling mengusir diplomat.
Dalam konteks tersebut, keputusan Kanada untuk tidak mengundang India ke KTT G7 dapat dimaknai sebagai bentuk “penghinaan sistemik” — yakni secara terbuka mencoret India dari “lingkaran dalam” negara-negara inti di panggung global.
Lebih jauh lagi, di internal politik India—khususnya di kalangan elite New Delhi—muncul suara-suara nyaris paranoid yang menyebut bahwa semua ini bermula dari sebuah pesawat tempur: J-10CE buatan Tiongkok.
Awal Mei lalu, konflik udara kembali pecah antara India dan Pakistan. Angkatan Udara Pakistan untuk pertama kalinya mengerahkan jet tempur J-10CE buatan Tiongkok dalam operasi tempur nyata. Dalam waktu singkat, jet ini berhasil menghancurkan sejumlah pesawat utama milik India, termasuk jet tempur canggih buatan Prancis seperti Rafale. Hasil ini bukan hanya memukul semangat tempur AU India dari segi taktis, tapi juga menghancurkan citra strategis India sebagai “penguasa langit Asia Selatan”.
Setelah kekalahan dalam pertempuran udara tersebut, Kementerian Luar Negeri India berupaya meredakan citra buruk dengan mengirim tim diplomatik ke berbagai negara, berusaha memperbaiki persepsi global. Namun sayangnya, tanggapan dari dunia internasional sangat dingin. Bahkan beredar kabar bahwa beberapa negara menolak memberikan sambutan dengan protokol tinggi. Pertempuran udara itu tak hanya menjatuhkan pesawat-pesawat India, tapi juga merobek tabir terakhir dari strategi “belanja senjata global” yang selama ini dijalankan India.
Penolakan undangan G7 terhadap Modi kemudian memicu kegaduhan di media domestik India. Beberapa suara bahkan secara terang-terangan menyatakan: “Kalau saja Rafale kita tidak dijatuhkan oleh J-10CE, mana mungkin Barat memandang rendah India seperti ini?”
Walau terdengar agak berlebihan, sentimen tersebut mencerminkan kecemasan yang mendalam: India mulai kehilangan tempatnya di hati dunia Barat.
Namun sejatinya, konflik India-Pakistan hanyalah pemicu kecil. Yang benar-benar membuat negara-negara G7 ragu adalah sikap strategis India yang plin-plan, retorika besar tanpa tindakan nyata. Selama ini, India cenderung memainkan peran ambigu antara blok Barat dan negara-negara seperti Rusia dan Tiongkok, menjadikan para sekutu Barat merasa tidak bisa mengandalkan India sebagai mitra strategis sejati.(jhn/yn)