EtIndonesia. Pada kuartal pertama tahun 2025, dunia otomotif Tiongkok diguncang isu besar. BYD, yang selama ini digadang-gadang sebagai ikon industri kendaraan energi baru dan lambang kebangkitan teknologi Tiongkok, kini justru diterpa badai krisis. Lebih dari 300 gerai dealer 4S BYD di kawasan Tiongkok Timur dan Selatan menutup pintu secara massal. Sebagian mengalami kebangkrutan, sebagian lainnya memilih kabur diam-diam di malam hari—meninggalkan karyawan yang menuntut hak, serta konsumen yang kehilangan kepastian terhadap layanan purna jual.
Fenomena ini tidak hanya memperlihatkan keretakan struktur keuangan BYD, tetapi juga membuka tabir praktik bisnis yang selama ini tertutupi euforia “keberhasilan” industri kendaraan listrik Tiongkok.
Laporan ini akan mengupas tuntas sisi gelap dan dinamika krisis BYD, mulai dari kisah para mantan manajer dealer, skandal penumpukan stok, manipulasi laporan keuangan, skema ekspor abu-abu, hingga masalah besar di pasar global dan potensi meledaknya “gelembung” Evergrande versi otomotif.
Penutupan Massal Dealer dan Kehancuran Rantai Distribusi
Gelombang Kebangkrutan: Ratusan Dealer 4S Kolaps
Dari data yang dihimpun media dan lembaga keuangan, pada triwulan pertama 2025, lebih dari 300 dealer BYD di Tiongkok Timur dan Selatan telah resmi menutup operasional. Puluhan di antaranya digugat bank akibat gagal membayar kewajiban, sementara banyak yang menutup toko secara diam-diam dan menghilang, meninggalkan ratusan karyawan dan ribuan konsumen tanpa kejelasan.
Salah satu suara hati datang dari mantan manajer dealer BYD di Distrik Jiading, Shanghai, yang menceritakan bagaimana, sejak akhir 2024, pihak perusahaan memaksa dealer menampung unit mobil dalam jumlah jauh melebihi permintaan pasar.
“Jika kami menolak menandatangani kontrak pembelian, lisensi dealer langsung dicabut. Masalahnya, bukan kami tak mau menjual, tapi memang tidak ada pembeli!” ungkapnya dengan nada frustrasi.
Dealer Berubah Jadi Gudang Mobil Mati
Sejumlah kanal YouTube seperti “Perspektif Rakyat Melihat Tiongkok” menampilkan video nyata tentang tumpukan stok mobil BYD yang menggunung di lahan-lahan parkir hingga gudang-gudang kosong. Pemandangan lautan mobil baru, berjejer rapi namun tak laku terjual, menjadi bukti krisis distribusi di lapangan.
Menurut laporan Asian Finance, sebagian mobil baru BYD bahkan “diamankan” di gedung-gedung mangkrak untuk menghindari audit dan inspeksi pasar, menimbulkan kecurigaan akan praktik manipulasi internal demi menutupi tekanan keuangan.
“Sales Push” dan Manipulasi Laporan Keuangan
Dealer sebagai Tempat Pembuangan Stok
Guna mempercantik laporan keuangan, merebut subsidi pemerintah, dan menjaga harga saham, BYD mendorong penyaluran stok besar-besaran ke dealer. Alih-alih menjadi rantai distribusi sehat, dealer justru berubah fungsi menjadi “gudang sementara”—mobil menumpuk, cash flow dealer tercekik, akhirnya bangkrut.
Target penjualan BYD tahun 2025 dipatok tinggi, yakni 5,5 juta unit. Namun realitas di lapangan memperlihatkan gelombang penutupan dealer, protes karyawan, dan konsumen yang kehilangan hak layanan. Salah satu kasus besar terjadi di Qiancheng Auto, Jinan, Shandong—dealer nasional dengan omzet tahunan sekitar Rp 60 triliun dan 1.200 karyawan. Pada 17 April 2025, Qiancheng Auto mengumumkan “jaminan purna jual” macet, seluruh layanan servis dan asuransi jadi “cek kosong” akibat dana beku dan kredit bank lokal tersendat. Lebih dari 20 gerai kosong melompong.
Skandal “Zero Kilometer” dan Praktik Abu-abu di Pasar Mobil Bekas
Borok Industri: Penjualan Palsu ala “Evergrande Otomotif”
Jika penumpukan stok menjadi aib internal, maka skandal “zero kilometer” adalah borok eksternal yang makin memperburuk citra. Pada 23 Mei 2025, Chairman Great Wall Motors, Wei Jianjun, secara terbuka membongkar praktik: demi mengejar angka penjualan, produsen mobil (termasuk BYD) mendaftarkan plat mobil baru, lalu langsung menjualnya sebagai “mobil bekas”. Hasilnya, laporan penjualan terlihat gemilang, namun mobil justru memenuhi pasar mobil bekas tanpa benar-benar berpindah ke konsumen sesungguhnya.
Model ini mirip skema “pre-sale” apartemen mangkrak seperti kasus Evergrande: uang konsumen terkumpul, laporan keuangan bagus, namun produk riil macet, kerugian akhirnya dibebankan ke dealer dan masyarakat.
Ekspor Abu-abu: Mobil Baru Disamarkan Jadi Mobil Bekas
Yang lebih memalukan, demi menghindari ketatnya regulasi Uni Eropa, beberapa produsen mobil listrik Tiongkok diduga memalsukan status mobil baru menjadi “mobil bekas” untuk masuk pasar Eropa. Ini mempercepat proses ekspor, mengelabui inspeksi, dan mempercantik data ekspor, tapi juga mencoreng reputasi BYD secara global.
Perang Harga, Penurunan Penjualan, dan Gelembung Pasar
Data Penjualan Dipoles, Realitas di Lapangan Suram
Meski target penjualan 2025 dipasang tinggi, data menunjukkan sepanjang Januari–April 2025, penjualan BYD baru sekitar 1,38 juta unit—hanya seperempat target—dan itu pun sudah termasuk penjualan internal “zero kilometer”. Penjualan riil ke konsumen jauh lebih kecil.
BYD mengklaim masih sebagai penjual nomor satu dunia, namun dalam dua-tiga bulan terakhir mereka telah tiga kali menurunkan harga. Hingga akhir Mei, 22 model BYD dipangkas hingga Rp110 juta (sekitar 34%) per unit. Walau strategi ini sempat mendongkrak penjualan jangka pendek, pasar saham justru bereaksi negatif—saham BYD di Hong Kong turun lebih dari 10% hanya dalam sepekan, sinyal pasar mulai kehilangan kepercayaan.
Kerusakan Ekosistem Industri
Tahun 2024, industri otomotif Tiongkok sudah penuh perang harga. Hanya 39,3% dealer untung, sementara 84,4% menjual rugi di bawah harga pokok. Pemasok suku cadang pun hidup di ambang batas, margin laba hanya 10%. Dalam iklim destruktif seperti ini, strategi “banting harga” BYD dianggap “minum racun demi melepas dahaga”—masalah jangka pendek teratasi, namun risiko jangka panjang makin besar.
Wei Jianjun menegaskan: “Jika harga mobil bisa anjlok setengahnya, mustahil kualitas tetap sama. Barang murah tak pernah berkualitas.”
Kasus BYD berkarat yang viral pada Maret lalu bukan sekadar isu teknis, tapi cacat desain dan integritas produk.
Perseteruan Terbuka dengan Great Wall Motors dan Skandal Global
Perang Terbuka: Audit, Manipulasi, dan Tudingan Balik
Wei Jianjun, Chairman Great Wall Motors, secara frontal menuding BYD sebagai biang kerusakan pasar: dari praktik “zero kilometer”, penumpukan stok, hingga strategi banting harga. Sebagai balasan, BYD menuduh kritik tersebut hanya bentuk iri hati pesaing.
Pada Agustus lalu, Wei Jianjun bahkan menantang audit industri otomotif dan mengusulkan perusahaannya sebagai “kandidat pertama”. Dia juga menerbitkan white paper yang menyoroti manipulasi data, penipuan emisi, hingga kasus “fuel tank pressure” BYD. Menurutnya, BYD sukses bukan karena inovasi, tetapi karena menekan rantai pasok dan kompromi teknologi.
Skandal Ketenagakerjaan di Brasil: Luka Bagi Globalisasi BYD
Ambisi BYD merajai pasar global terganjal kasus besar di Brasil. Pabrik BYD yang rencananya mulai produksi pada Maret 2025 mendadak dihentikan, setelah otoritas Brasil mengungkap dugaan kerja paksa terhadap 220 tenaga kerja Tiongkok. Pada 27 Mei 2025, kejaksaan Brasil resmi menuntut BYD atas dugaan perdagangan manusia, menuntut ganti rugi moral 45 juta dolar, serta kompensasi individual untuk para pekerja. Jika terbukti, BYD bukan hanya didenda besar, tetapi juga terancam pembatalan proyek dan boikot internasional. Upaya BYD melempar kesalahan ke kontraktor tak mengurangi kecaman dunia, karena publik menilai, tanggung jawab utama tetap pada perusahaan.
Kasus ini membuka borok model ekonomi-politik Tiongkok: BYD mendapat subsidi besar, insentif pajak, perlindungan pemerintah daerah—semua demi menyokong “kinerja pejabat” dan laporan pertumbuhan ekonomi.
Sistem yang Rusak dan Bahaya “Evergrande Baru”
Ekonomi Berbasis Ilusi: Dari Laporan Palsu hingga Gelembung Saham
Model pertumbuhan Tiongkok selama ini berakar pada “indikator kinerja” seperti PDB dan volume penjualan, yang justru memicu rekayasa laporan: kontrak palsu, faktur fiktif, penjualan semu. Laporan keuangan BYD tetap indah, harga saham stabil, subsidi terus mengalir, tapi kenyataan di lapangan: dealer gulung tikar, konsumen kehilangan perlindungan hukum, dan risiko sistemik kian membesar.
Ancaman Sistemik: Evergrande Versi Otomotif?
Paling mengkhawatirkan, manipulasi menjadi tiket masuk pasar modal. Perusahaan yang serius membangun kualitas dan inovasi justru kalah dari mereka yang lihai memoles data.
Rasio utang BYD kini tembus 77,91% dengan total kewajiban hampir Rp13.000 triliun, namun tetap dipuja karena dianggap “too big to fail” dan “disokong pemerintah”. Laporan Asian Finance menyebut, meski didukung investor global sekelas Buffett dan Munger, utang dan risiko BYD kini setara bahkan melebihi Evergrande di puncak kejayaannya.
Wei Jianjun sudah memperingatkan: “Industri otomotif Tiongkok sudah punya ‘Evergrande baru’.” Tanpa menyebut nama, semua tahu siapa yang dimaksud.
Para pengamat dan warganet mewanti-wanti: jika BYD mengikuti jejak Evergrande, investor kecil akan jadi korban—para pemodal besar mundur saat harga saham dipompa, meninggalkan “rakyat kecil” menanggung kerugian.
Penutup: Sirene Bahaya Telah Bersuara
Krisis BYD bukan sekadar kegagalan satu perusahaan, melainkan cerminan kerusakan ekosistem industri otomotif Tiongkok: manipulasi data, proteksi politik, tekanan profit jangka pendek, dan pasar keuangan yang hidup dalam ilusi. Sirene bahaya sudah berbunyi nyaring. Selama sistem masih mendorong rekayasa dan pengawasan longgar, “ledakan” Evergrande berikutnya hanya soal waktu—dan BYD saat ini berdiri di ujung jurang.