Misteri Sabotase Besar-besaran: Siapa Pengkhianat di Jantung Militer Iran?”

EtIndonesia. Iran kini berada di titik kritis setelah gelombang serangan udara Israel mengguncang jantung militer dan infrastruktur nuklir negara tersebut. Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, melalui serangkaian pernyataan resmi di platform X (sebelumnya Twitter), pada Sabtu dini hari, mengumumkan pergantian mendadak pucuk pimpinan militer sebagai respons atas tewasnya sejumlah pejabat senior akibat serangan brutal Israel.

Penunjukan Komando Baru di Tengah Kekacauan

Dalam pengumuman itu, Khamenei menetapkan Brigadir Jenderal Mohammad Pakpour sebagai Komandan Korps Garda Revolusi Islam (IRGC), menggantikan Jenderal Hossein Salami yang gugur akibat serangan rudal presisi. Selain itu, posisi Kepala Staf Angkatan Bersenjata kini dijabat oleh  Letnan Jenderal Seyed Abdolrahim Mousavi menggantikan Jenderal Mohammad Hossein Bagheri yang juga tewas di rumahnya.

Langkah ini diambil dalam waktu sangat singkat, mencerminkan kegentingan situasi serta upaya mempertahankan stabilitas komando di tengah trauma kolektif pasca-serangan.

Dampak Serangan: Korban Jiwa dan Ketidakpastian

Serangan udara Israel, yang dikenal dengan sandi “Rising Lion”, tidak hanya menghantam sasaran militer strategis, tetapi juga kawasan permukiman yang menyebabkan puluhan korban sipil. Rumah para komandan militer, ilmuwan nuklir, serta fasilitas utama pengayaan uranium menjadi target utama.

Hingga berita ini diterbitkan, pemerintah Iran belum merilis angka resmi jumlah korban jiwa dan luka-luka. Namun, berbagai sumber media internasional dan laporan rumah sakit di Teheran mengindikasikan adanya korban tewas dari kalangan keluarga pejabat militer serta warga sipil di sekitar lokasi serangan.

Reaksi Dunia dan Seruan Trump untuk Damai

Di tengah kepanikan dan ketidakpastian, mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, melalui akun “Truth Social” menyerukan kepada Iran agar segera mengakhiri permusuhan. Trump menulis, “Iran harus segera membuat kesepakatan sebelum semuanya terlambat, demi menyelamatkan kejayaan bangsa. Hentikan perang dan kehancuran, semoga Tuhan memberkati kalian semua.”

Pernyataan Trump ini mendapat perhatian luas, mengingat Amerika Serikat selama beberapa bulan terakhir telah lima kali terlibat dalam perundingan nuklir dengan Iran di Oman. Namun, hingga kini, upaya damai itu belum menunjukkan hasil nyata.

Perundingan Nuklir Mandek, IAEA Peringatkan Bahaya

Upaya diplomasi yang difasilitasi Oman belum membuahkan hasil konkret. Badan Energi Atom Internasional (IAEA) mengingatkan, cadangan uranium Iran telah mendekati ambang batas pengayaan untuk pembuatan senjata nuklir. 

Meski pemerintah Iran membantah berniat membuat bom nuklir, mereka mengakui kemampuan teknologi saat ini memungkinkan pengembangan senjata jika memang dibutuhkan di masa depan. Pernyataan ambigu ini memicu kekhawatiran global akan terjadinya perlombaan senjata di kawasan Timur Tengah.

Kecurigaan Infiltrasi dan Skenario Mata-mata

Yang paling menggemparkan dari serangan “Rising Lion” adalah presisi dan kecepatan operasi. Dalam semalam, sistem pertahanan udara Iran lumpuh, markas komando dihancurkan, dan tokoh-tokoh penting militer serta ilmuwan utama tewas di tempat.

Banyak pihak menduga, keberhasilan operasi Israel ini tidak terlepas dari adanya infiltrasi mendalam di jajaran elite militer Iran. Media Israel bahkan secara terbuka menyoroti kemungkinan besar adanya “orang dalam” atau jaringan mata-mata Mossad yang telah menyusup lama di lingkaran terdekat para pejabat tinggi Iran. Tidak hanya melalui aksi militer, operasi ini juga diduga melibatkan sabotase elektronik dan serangan siber yang melumpuhkan sistem komunikasi militer Iran.

Tiga Lapis Strategi Israel: Udara, Sabotase, dan Intelijen

Menurut laporan investigasi dari harian Israel, serangan ke Iran berjalan melalui tiga lapis strategi utama:

  1. Serangan udara presisi menggunakan jet tempur F-35 dan drone siluman,
  2. Sabotase sistem pertahanan udara yang membuat rudal pertahanan Iran gagal berfungsi,
  3. Infiltrasi intelijen dan informan internal yang memudahkan operasi pembunuhan para pejabat tinggi, bahkan hingga ke kediaman pribadi mereka.

Gabungan strategi ini menebar ketakutan di lingkungan elite Iran. Banyak pejabat merasa bahwa “musuh telah lama berada di antara mereka sendiri”.

Spekulasi dan Isu Pengkhianatan di Tubuh Militer Iran

Di media sosial Iran, nama Jenderal Esmail Qaani—komandan Pasukan Quds yang selamat dari Operasi Pearl Party beberapa waktu lalu dan juga lolos dari serangan kali ini—menjadi buah bibir. Tidak sedikit yang berspekulasi, apakah Qaani benar-benar loyal atau justru agen ganda yang bermain untuk kepentingan luar.

Pihak pemerintah Iran belum memberikan penjelasan atas spekulasi ini. Namun, perpecahan dan saling curiga kini tampak jelas di jajaran elite militer dan politik.

Sikap Amerika: ‘Netral’ Tapi Dekat di Balik Layar

Menanggapi dugaan keterlibatan AS dalam operasi ini, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Marco Rubio, menyatakan bahwa Amerika “tidak terlibat langsung” dalam serangan ke Iran. Namun, pernyataan resmi dari Kementerian Pertahanan Israel justru mengakui bahwa operasi ini telah dikoordinasikan dan dikomunikasikan penuh dengan pihak Amerika Serikat.

Para analis internasional menilai, sikap “netral” AS lebih sebagai strategi diplomatik agar fasilitas Amerika di Timur Tengah tidak menjadi sasaran balasan Iran, sekaligus memberi Israel ruang gerak lebih luas dalam operasi militer dan intelijen.

Masa Depan Iran dan Kawasan Timur Tengah

Krisis di Iran kini memasuki fase baru dengan munculnya kepemimpinan militer darurat dan bayang-bayang infiltrasi asing di tubuh kekuasaan. Dengan eskalasi konflik yang makin tidak terkendali, kekhawatiran dunia pun meningkat—akankah perang terbuka antara Iran dan Israel berubah menjadi konflik regional yang lebih luas, atau justru berakhir di meja perundingan internasional?

Satu hal yang pasti, babak baru ini telah mengubah peta politik dan keamanan di Timur Tengah, sekaligus memberikan peringatan keras kepada seluruh pemimpin kawasan: di era peperangan modern, musuh tidak selalu datang dari luar—kadang justru tumbuh di dalam rumah sendiri. (***)

FOKUS DUNIA

NEWS