Epoch Times
Pertemuan antara Presiden Rusia Vladimir Putin dengan pemimpin tertinggi Korea Utara Kim Jong-Un, sedang memunculkan suatu kekuatan yang melawan AS dan Barat. Beberapa bulan terakhir, interaksi antara Rusia, Partai Komunis Tiongkok (PKT) dan Korut tampaknya sedang membentuk poros, perilaku mereka yang telah terang-terangan melanggar resolusi PBB, membuat perang Ukraina menjadi semakin rumit, sekaligus membentuk tantangan baru bagi perdamaian dunia.
Tanggal 13 September lalu, Kim Jong-Un bertemu dengan Putin di Kosmodrom Vostochny yang berlokasi di kawasan Amur Oblast di timur Rusia. Menurut informasi Kim Jong-Un datang dengan kereta api pribadi yang memiliki sedikitnya 20 gerbong anti peluru, membuat lokomotif tampak lemah tak bertenaga, kereta api hanya bisa melaju dengan kecepatan 25 mil per jam.
AS sedang menyoroti pertemuan dua kepala negara yang telah diberi sanksi keras tersebut, dan berjanji jika tercapai kesepakatan senjata yang melanggar resolusi keamanan internasional, maka akan diberlakukan sanksi tambahan.
Intelijen AS menunjukkan, pertemuan pemimpin Korut dan Rusia bertujuan memperluas kerjasama dalam menghadapi konfrontasi dengan AS yang kian hari kian serius. Korut mungkin sudah mencadangkan jutaan bilah peluru meriam dan rudal roket berdasarkan rancangan bekas Uni Soviet, jika dijual kepada Rusia, mungkin akan semakin memperumit perang Ukraina.
Juru bicara Dewan Keamanan Nasional AS yakni John Kirby mengatakan, salah satu tujuan Menhan Rusia Sergei Shoigu berkunjung ke Korut baru-baru ini adalah untuk melobi Pyongyang agar menjual amunisi senjata kepada pihak Rusia.
AS mendesak Korea Utara agar mentaati janji terbukanya untuk tidak memasok atau menjual senjata kepada Rusia. Juru bicara Kemenlu AS Matthew Miller pada 11 September lalu menyatakan, pemimpin Korut yang berkunjung ke Rusia bukan dalam rangka bersosialisasi, melainkan menandakan Presiden Putin telah jatuh ke dalam keputusasaan setelah 18 bulan melangsungkan perang terhadap Ukraina.Â
Apalagi, sanksi AS terhadap Rusia telah menimbulkan dampaknya. Putin telah mengalami kendala dalam mempertahankan upaya militernya, oleh karena itu meminta bantuan Korea Utara, AS akan menyoroti hasil rapat kali ini.
Matthew Miller mengingatkan, segala bentuk perilaku Korut mengalihkan senjata bagi Rusia akan dianggap telah melanggar banyak resolusi DK PBB. Dan, AS akan tanpa ragu memberlakukan sanksi baru bagi siapapun yang membantu Putin dalam aktivitas perangnya.
Juru bicara Istana Kremlin yakni Dimitri Peskov telah menolak peringatan AS terkait transaksi persenjataan. Ia berkata, kepentingan kedua negara jauh lebih penting daripada peringatan Washington.
Masyarakat telah melihat semakin banyak rangkaian interaksi antara Rusia, PKT dan Korut, memperlihatkan tren membentuk hubungan kemitraan trilateral.
Pada parade militer yang diadakan di Korea Utara belum lama ini dalam rangka memperingati 70 tahun gencatan senjata Perang Korea, delegasi tingkat tinggi Rusia dan PKT telah menemui pemimpin Korut Kim Jong-Un. Korea Utara akan diam-diam mengirimkan amunisi meriam dan pasokan militer lainnya kepada Rusia, sementara PKT akan secara tidak langsung memasok teknologi dwifungsi militer dan sipil berikut suku cadangnya kepada Rusia. Sementara Rusia bahkan mengusulkan diadakan latihan perang bersama dengan Korut dan PKT.
Mayoritas negara di dunia telah mengucilkan Moskow akibat perang yang tidak masuk akal ini. Di momen krusial terkurasnya sumber daya militer Rusia membuatnya sulit bertahan, dan serangan balasan Kiev sepertinya telah meraih kemajuan berarti, sehingga PKT dan Korut harus memperkuat upaya perang Moskow.
Bahaya dari hubungan trilateral ini akan berwujud ketiganya masing-masing memiliki ambisi ekspansi. Invasi terhadap Ukraina adalah ambisi Rusia mengembalikan sebagian dari kekaisaran Tsar Rusia.
PKT berupaya menyerang Taiwan, dan mewujudkan posisi dominan regional (atau global) pada tahun 2049, sedangkan Korut hendak menyatukan Semenanjung Korea di bawah kekuasaannya. Intinya, ketiga negara sedikit banyak telah memendam ambisi ekspansi imperialisme, ketiganya sedang menantang ketertiban internasional yang berbasis aturan.
Hubungan trilateral yang berbahaya ini sedang membawa masalah bagi dunia. Jelas, bantuan Korut dan PKT bagi Rusia akan memperpanjang perang Ukraina, serta meningkatkan jumlah korban dan biaya perang dari berbagai aspek.
Dan, kemitraan trilateral yang bersifat kerjasama militer ini, kemungkinan akan memanfaatkan perang Ukraina untuk mempererat kerjasama militer, melakukan uji coba senjata, dan eksperimen taktis.
Hubungan trilateral ini mungkin sedang membentuk sebuah poros, jika hubungan semacam ini terus bergulir dan tetap bertahan seiring berjalannya waktu, mungkin pada waktu tertentu ketiganya akan secara serempak mengambil tindakan atau saling mendukung satu sama lain, memberikan tekanan militer terbesar terhadap kubu yang berseberangan dengan mereka, sehingga menciptakan gejolak regional yang besar, khususnya di kawasan Indo-Pasifik.
Terlebih lagi, karena ketiganya memiliki senjata nuklir, konfrontasi besar apapun yang mereka kobarkan ada kemungkinan akan mengerahkan senjata nuklir.
Jadi ancaman perang apapun yang mereka lontarkan akan selalu mengandung potensi ancaman nuklir yang serius, yang berpengaruh sangat penting terhadap keamanan dunia. Oleh sebab itu bahaya kemitraan PKT-Rusia-Korut akan sangat disoroti oleh AS dan Barat.
Tentunya setelah PDII, senjata nuklir pada dasarnya tidak pernah melewati batas deterensi. Dalam kemampuan perang konvensional, kekuatan komprehensif dari hubungan trilateral jauh tidak mampu melawan aliansi AS dan Barat. Ruang operasi yang besar masih dikuasai kubu Barat yang dipimpin AS, konfrontasi di luar posisi pasti akan menimbulkan sanksi yang menyakitkan.
Dalam hal ini, PKT-Rusia-Korut sangat memahaminya, dan antara ketiga negara juga tidak memiliki faktor moral yang dapat mengaitkan ketiganya erat, bahkan membentuk aliansi militer. Inilah alasan PKT tidak berpartisipasi dengan skala tinggi di dalamnya, sementara Korut dan Rusia juga masih beroperasi secara diam-diam.
Hingga hari ini, baik Korut maupun Rusia tidak mengakui secara terbuka, kedua negara sedang melangsungkan transaksi senjata dan amunisi yang sangat dibutuhkan dalam perang Rusia, tapi tidak ada pula yang meragukan kedua negara tersebut telah melakukan transaksi itu.
Bagi Korut, persenjataan berkualitas rendahnya ditukarkan dengan energi, bahan pangan, dan teknologi militer, benar-benar adalah transaksi yang sangat menguntungkan, jadi Korut rela menempuh resiko dikenakan sanksi internasional.
Sementara Rusia, sedang putus asa terhadap terkurasnya sumber daya perangnya. Membeli persenjataan bermutu rendah dari Korut yang miskin, bisa dilihat betapa putus asanya Rusia.
Pihak luar tidak tahu menahu soal negara yang tertutup seperti Korea Utara, yang diketahui masyarakat tentang pasukan artileri Korut bahkan lebih sedikit lagi, apalagi kualitas amunisi artileri dan rudal roketnya. Peristiwa pengeboman Yeonpyeong pada tanggal 23 November 2010 membuat masyarakat bisa mengintip kualitas dari amunisi artileri Korea Utara.
Dikabarkan, waktu itu Korut menembakkan sekitar 300-400 bilah peluru artileri dan roket ke Pulau Yeonpyeong, Korea Selatan, tapi hanya kurang dari 100 bilah yang berhasil mengenai beberapa sasaran besar seluas lebih dari 6 km persegi yang berjarak belasan kilometer jauhnya, dan semua artileri yang jatuh di pulau tersebut sebanyak 20 bilah di antaranya tidak meledak.
Mungkin setelah belasan tahun kemudian, mutu amunisi pasukan artileri Korut sudah mengalami perbaikan, tapi secara umum dikatakan, kisah ini mungkin akan membuat para serdadu Rusia hingga kini masih meragukan kualitas amunisi Korut.
Walau demikian, Rusia tidak akan memperoleh meriam dan senjata anti-tank serta semua kebutuhan yang diinginkannya secara cuma-cuma. Rusia akan dipaksa memberikan benda yang diinginkan Korut, misalnya teknologi yang dianggap canggih oleh Korea Utara, senjata yang lebih besar yang dapat dihasilkan teknologi tersebut, cukup untuk menghadapi ancaman yang ditimbulkan oleh AS-Jepang-Korsel.
Berbeda dengan Putin yang sepertinya belum bersedia mengalami konflik langsung dengan NATO, Kim Jong-Un telah memperoleh banyak keuntungan dari transaksi ini, apalagi setelah sanksi berkepanjangan sepertinya tidak ada lagi yang bisa membuatnya kehilangan lebih banyak. Ia mungkin akan memanfaatkan kelemahan pihak Barat yang tidak ingin memperluas peperangan sebagai semacam alat politik, untuk meningkatkan rasa eksistensinya di dunia internasional. Dia tidak takut memperbesar masalah, semakin besar masalah, semakin besar pula pengaruhnya di dalam negerinya, agar dapat membuat rakyat Korea Utara setuju, walaupun harus hidup susah, uang tetap harus dihabiskan untuk membuat senjata, dan hal ini pantas dilakukan.
Sepertinya, selain sanksi yang standar, opsi yang bisa dilakukan AS tidak banyak. Mungkin dengan melakukan perang informasi atau tindakan lain dapat merusak stabilitas Kim Jong-Un. Sudah terlalu lama Kim Jong-Un menjadi ancaman bagi stabilitas di kawasan Samudera Pasifik, senjata nuklir yang terang-terangan diarahkan kepada AS, ada kemungkinan dapat berkembang ke arah yang lebih modern setelah mendapat dukungan teknologi dari Rusia.
Washington tidak mengubah sikapnya secara signifikan pada Korut, untuk mengantisipasi gelombang uji coba rudal yang telah memecahkan rekor selama setahun terakhir serta perkembangan teknologi rudal canggihnya. Peneliti pertahanan nasional dari RAND Corporation yakni Bruce W. Bennett mengatakan, terhadap seseorang yang mengancam anda menggunakan senjata nuklir, jika tidak menghalanginya menyerang anda, maka anda sedang menempuh resiko yang sesungguhnya.
Di antara ketiga mitra PKT-Rusia-Korut, Kim Jong-Un bukan yang terpenting, tapi merupakan pihak yang paling senang, besar kemungkinan Korea Utara akan menjadi celah bagi AS untuk menghancurkan bahaya kemitraan trilateral tersebut. Membasmi rezim keluarga Kim ibarat satu batu mengenai dua burung, yaitu menyingkirkan ancaman nuklir terhadap AS dan sekutu AS di kawasan Indo-Pasifik, juga menghindari semakin rumitnya perang Ukraina.
Pentagon pernah membahas penyelesaian secara khusus di luar cara-cara diplomatik, dan sekarang sepertinya sudah waktunya mempertimbangkan bagaimana meletakkan rezim keluarga Kim di atas talenan. (sud)