oleh : Tianxin
Sorotan hari Ini tentang Trump kembali berkuasa dan mengangkat beberapa anggota kabinet baru.
- Analisis: Kemenangan Trump menunjukkan kerinduan rakyat AS untuk kembali ke nilai-nilai tradisional.
- Kemajuan dalam gencatan senjata di Timur Tengah? Israel mengatakan bahwa Rusia akan membantu.
- Seorang anggota organisasi siswa di Henan melakukan“pemerasan”; dianggap sebagai miniatur dari fenomena masyarakat.
Trump Kembali Berkuasa, Beberapa Anggota Kabinet Baru Diumumkan
Setelah empat tahun meninggalkan Gedung Putih, Presiden terpilih AS, Donald Trump, kembali dengan kemenangan besar dalam Pemilu 2024, memenangkan tujuh negara bagian medan pertempuran secara telak. Dalam waktu kurang dari seminggu setelah kemenangannya, Trump mengumumkan beberapa anggota kabinet baru.
Trump pertama-tama mengkonfirmasi Kepala Staf Gedung Putih. Pada 7 November, ia mengumumkan penunjukan Susie Wiles sebagai Kepala Staf. Wiles, yang selama dua tahun terakhir memimpin kampanye Trump, menjadi tokoh kunci di balik kemenangan Trump. Dia akan menjadi Kepala Staf Gedung Putih perempuan pertama dalam sejarah Amerika Serikat.
Pada 10 November, Trump mengumumkan di platform Truth Social bahwa ia menunjuk Tom Homan, mantan Direktur Pelaksana ICE, sebagai “Utusan Perbatasan.” Homan akan mengawasi seluruh urusan perbatasan, termasuk keamanan perbatasan selatan, utara, serta keamanan maritim dan udara.
Menindak imigrasi ilegal adalah salah satu fokus kebijakan Trump. Dalam kampanye, dia berjanji untuk mendeportasi imigran ilegal yang melakukan kejahatan berat. Trump menulis, “Tom Homan akan bertanggung jawab atas pemulangan semua imigran ilegal… Saya yakin dia akan menjalankan tugas ini dengan sangat baik.”
Selanjutnya, Trump menyatakan dalam sebuah pernyataan, “Saya merasa terhormat bisa menominasikan Ketua Elise Stefanik sebagai Duta Besar AS untuk PBB.” Trump memuji Stefanik sebagai tokoh “sangat kuat, berani, dan cerdas” serta sebagai “pejuang yang akan mempertahankan kebijakan America First.”
Stefanik, 40 tahun, adalah tokoh senior Partai Republik di DPR AS dan telah lama menjadi sekutu setia Trump serta salah satu penggalang dana utama partai. Dalam pernyataannya, Stefanik mengatakan, “Saya siap, mulai hari pertama, untuk mempromosikan kebijakan ‘America First’ dari Presiden Trump di panggung dunia PBB.”
Selain itu, dua sumber mengatakan kepada CNN bahwa Trump telah memilih Stephen Miller sebagai Wakil Kepala Staf Gedung Putih yang bertanggung jawab atas urusan kebijakan. Pengumuman ini diharapkan akan dilakukan dalam beberapa hari mendatang. Wakil Presiden terpilih JD Vance mengonfirmasi hal ini di platform X pada 11 November dengan mengatakan, “Ini pilihan yang luar biasa dari Presiden, selamat untuk Miller!”
Untuk Elon Musk, yang dianggap berkontribusi besar dalam kemenangan Trump, Trump mengatakan dalam sebuah wawancara bahwa karena Musk memiliki banyak perusahaan untuk dikelola, dia mungkin tidak bisa menjabat sebagai anggota kabinet tetapi mungkin berperan sebagai penasihat.
Berdasarkan analisis beberapa media, Senator Marco Rubio kemungkinan menjadi salah satu kandidat untuk Menteri Luar Negeri. Investor terkenal Scott Bessent dan John Paulson menjadi kandidat terkuat Menteri Keuangan, sementara Eric Schmitt dipertimbangkan untuk posisi Jaksa Agung.
Analisis: Kemenangan Trump Menunjukkan Keinginan Rakyat AS untuk Kembali pada Nilai-nilai Tradisional
Pada 6 November dini hari, Trump memenangkan negara bagian penting, Pennsylvania, yang menentukan arah pemilu. Dengan total 312 suara elektoral melawan 226, Trump meraih kemenangan yang meyakinkan. Beberapa analisis menunjukkan bahwa hasil pemilu ini mencerminkan keinginan rakyat Amerika untuk kembali pada nilai-nilai tradisional dan meninggalkan budaya yang mereka anggap menyimpang.
Dalam pidato kemenangannya, Trump menyatakan, “Ini adalah gerakan yang belum pernah terjadi sebelumnya; terus terang, saya percaya ini adalah gerakan politik terbesar sepanjang sejarah. Negara ini belum pernah mengalami hal semacam ini, dan sekarang mungkin ini akan membawa makna baru karena kita akan membantu negara kita pulih.”
Analisis menyebutkan bahwa dalam pemilu ini, ada dua kekuatan yang menarik Amerika ke arah berbeda. Salah satu kekuatan adalah “woke Culture” yang digagas oleh kelompok kiri ekstrem. Istilah “woke” mulai populer sekitar 15 tahun lalu, awalnya berarti dukungan terhadap perjuangan hak-hak kulit hitam dan feminisme serta melawan penindasan. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, istilah dan budaya ini bertransformasi menjadi representasi gagasan ekstrem.
Direktur Pusat Laporan Internasional Mary Colvin, Sarah Baxter, menulis bahwa putranya yang berusia 24 tahun menyatakan kemenangan Trump sebagai “penolakan keras terhadap ‘woke Culture’,” dan “kaum ‘woke’ mengalami kekalahan total dalam pemilu ini.” Menurutnya, “era gerakan Black Lives Matter, teori ras kritis, dan penghapusan dana kepolisian sudah berakhir.”
Trump, yang mana pada masa jabatannya sebelumnya melarang transgender dalam militer, kembali mengkritik “woke Culture” di militer selama kampanye kali ini. Pada Oktober, dia merilis iklan kampanye yang menegaskan bahwa Amerika tidak akan memiliki militer yang dipengaruhi oleh “woke Culture.”
Trump juga mengungkapkan bahwa “pemulihan” yang dimaksudnya mencakup pemulihan ekonomi Amerika, perbaikan perbatasan, dan menyingkirkan ideologi “woke culture” ekstrem kiri demi kembali ke nilai-nilai normal manusia.
Selama kampanye kali ini, Elon Musk, orang terkaya di dunia, memberikan dukungan penuh untuk Trump. Salah satu alasan penting dukungan Musk adalah ketidaksukaannya pada “woke culture.” Pada Juli, Musk menyebutkan dalam sebuah wawancara bahwa pengalaman putra tertuanya yang menjadi transgender membuatnya merasa memiliki misi “untuk menghancurkan virus pemikiran woke culture.”
Pada Oktober, Trump menyatakan dalam wawancara dengan Bloomberg, “Kita tidak ingin pria berkompetisi di olahraga wanita,” “Kita tidak ingin operasi transgender dilakukan tanpa persetujuan orang tua,” dan menyebut hal-hal ini sebagai “99,9% akal sehat.”
Jim Daly, Ketua organisasi Focus on the Family, mengatakan kepada Washington Times bahwa hasil pemilu menunjukkan keinginan keluarga-keluarga Amerika untuk hidup di negara di mana orang tua dan anak-anak bisa beribadah kepada Tuhan tanpa rasa bersalah; di mana orang tua, bukan politisi, memiliki hak untuk mengarahkan dan mendidik anak-anak mereka.
Trump juga berbicara tentang upaya pembunuhan terhadap dirinya pada Juli di Pennsylvania, menganggap bahwa Tuhan menyelamatkan hidupnya untuk suatu alasan. Dia berkata, “Alasannya adalah untuk menyelamatkan negara kita. Sekarang kita harus menyelesaikan misi ini bersama-sama.”
Kemajuan Gencatan Senjata di Timur Tengah? Israel: Rusia Akan Membantu
Menteri Luar Negeri Israel, Gideon Saar, pada Senin (11 November) menyatakan bahwa negosiasi gencatan senjata antara Israel dan Lebanon telah mengalami kemajuan, dan Rusia akan memberikan kontribusi yang signifikan. Namun, pihak Hizbullah membantah menerima usulan gencatan senjata apa pun.
Menurut surat kabar terbesar Israel, Yedioth Ahronoth, Israel dan Lebanon telah bertukar draf kesepakatan gencatan senjata melalui utusan Amerika Serikat, Amos Hochstein, menunjukkan adanya kemajuan dalam upaya mencapai kesepakatan final.
Dalam konferensi pers di Yerusalem, Saar mengatakan tantangan utama Israel saat ini adalah pelaksanaan kesepakatan gencatan senjata. Dia mengatakan, “Saya pikir ada kemajuan tertentu. Kami sedang bekerja sama dengan Amerika mengenai masalah ini.”
Saar menambahkan bahwa jika Hizbullah menjauh dari perbatasan dan berada di utara Sungai Litani serta tidak lagi menggunakan sistem senjata baru, Israel akan siap untuk melanjutkan kesepakatan tersebut.
Saar juga menekankan bahwa persyaratan untuk mencapai kesepakatan gencatan senjata adalah agar Hizbullah tidak dapat membawa senjata dari Suriah ke Lebanon. “Kita mengetahui Rusia hadir di Suriah. Jika Rusia sepakat dengan prinsip kita, saya yakin mereka dapat memberikan kontribusi signifikan dalam mewujudkan gencatan senjata,” ujarnya.
Namun, seorang pejabat Hizbullah di Beirut, Lebanon, pada Senin menyatakan bahwa kelompok tersebut tidak menerima usulan gencatan senjata baru. Juru bicara Hizbullah, Mohammed Afif, dalam konferensi pers televisi mengatakan, “Kami masih dalam tahap eksplorasi, menyusun konsep awal, dan diskusi aktif, tetapi belum mencapai hasil yang substansial.”
Afif juga menyebutkan bahwa Hizbullah sedang melakukan kontak diplomatik yang intens dengan Washington, Moskow, dan Teheran serta bersiap untuk “melanjutkan pertempuran.” Dia menambahkan bahwa Hizbullah memiliki “persediaan senjata yang cukup untuk perang jangka panjang.”
Pada hari yang sama, juru bicara kantor Perdana Menteri Israel mengonfirmasi untuk pertama kalinya bahwa Perdana Menteri Netanyahu menyetujui serangan perangkat pager genggam terhadap Hizbullah pada pertengahan September. Pada 17 dan 18 September, ribuan pager meledak secara bersamaan di pinggiran selatan Beirut dan lokasi lainnya milik Hizbullah, menyebabkan 39 orang tewas dan lebih dari 3.400 orang terluka. Serangan ini memberikan pukulan mematikan bagi Hizbullah dan melemahkan kemampuan tempurnya secara signifikan.
Anggota OSIS SMA di Henan, Tiongkok Diduga Melakukan Pemerasan: Cerminan Masyarakat
Korupsi dalam sistem otoriter Partai Komunis Tiongkok meluas, mencemari seluruh masyarakat. Baru-baru ini, sebuah SMA di Henan, Tiongkok tersandung skandal: anggota OSIS di sekolah tersebut memaksa menyita ponsel siswa dan mengembalikannya hanya setelah menerima uang tebusan. Sejumlah netizen menyebutnya sebagai perpanjangan dari budaya korup pejabat Tiongkok, “cerminan masyarakat” dan “teladan buruk.”
SMA Eksperimen di Kota Xinyang, Provinsi Henan, diketahui bahwa beberapa anggota OSIS menahan ponsel siswa secara paksa, lalu meminta tebusan sebesar RMB. 300 per ponsel untuk mengembalikannya.
Sumber dalam sekolah mengatakan bahwa sekolah melarang siswa membawa ponsel. Jika kedapatan membawa ponsel, anggota OSIS akan menyitanya dan meminta tebusan RMB.300 dari siswa yang bersangkutan agar ponsel dikembalikan serta tidak dilaporkan ke guru. Sumber tersebut juga mengungkapkan bahwa praktik ini sudah berlangsung selama beberapa tahun.
Laporan ini memicu perdebatan di kalangan netizen Tiongkok. Beberapa mengatakan, ini adalah “pemerasan geng sekolah” dan “termasuk kejahatan pemerasan.” Yang lain mengomentari bahwa “para siswa SMA sudah belajar menggunakan kekuasaan secara sewenang-wenang, mencerminkan betapa buruknya kondisi saat ini,” dan “masyarakat sudah rusak secara keseluruhan.”
Menurut investigasi, masalah serupa dalam OSIS ditemukan di berbagai sekolah di Tiongkok, dari sekolah dasar hingga universitas.
Pada 2011, dosen politik di Universitas Renmin, Chen Wei, menyatakan di Weibo bahwa, “OSIS dan dewan mahasiswa di perguruan tinggi telah menjadi tempat berkumpulnya berbagai bentuk penyalahgunaan wewenang.” Ia mengkritik dewan mahasiswa yang dipenuhi dengan “bahasa resmi yang berbelit-belit dan munafik, menjadi kelas istimewa di sekolah.”
Komentator Li Linyi mengatakan, para pengurus OSIS ini memungut “suap” dari siswa atas nama pemeriksaan pelanggaran, dan jika tidak dibayar, kasusnya akan dilaporkan ke guru. Menurutnya, ini adalah pengaruh dari budaya resmi Partai Komunis Tiongkok yang merusak moral masyarakat.
“Di bawah pemerintahan Partai Komunis Tiongkok, seluruh budaya sosial menjadi tidak sehat, budaya tradisional ditekan, sehingga muncul berbagai masalah sosial,” katanya. (Hui)
Sumber : NTDTV.com