Menghadapi “Made in China 2025”: Trump Rencanakan Kerja Sama dengan Korea Selatan dalam Industri Pembuatan Kapal

EtIndonesia. Beberapa waktu lalu, Presiden terpilih AS Donald Trump dalam percakapannya telepon dengan Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol secara langka mengungkapkan niatnya untuk bekerja sama dengan Korea Selatan dalam industri pembuatan kapal. Yoon Suk-yeol juga menyatakan kesiapan Korea Selatan untuk berpartisipasi aktif demi ekonomi dan keamanan Amerika Serikat.

Trump mengatakan: “Industri pembuatan kapal di Amerika Serikat telah mengalami penurunan signifikan, sehingga bantuan dan kerja sama dari Korea Selatan sangat penting. Saya sangat memahami kemampuan Korea Selatan dalam membangun kapal perang dan kapal sipil kelas dunia. Tidak hanya dalam ekspor kapal, namun juga dalam pemeliharaan, perbaikan, dan perawatan (MRO), kami perlu bekerja sama lebih erat dengan Korea Selatan.”

Yoon Suk-yeol mengatakan: “Karena ini adalah masalah yang berkaitan dengan ekonomi dan keamanan AS, kami siap untuk berpartisipasi aktif.”

Kim Taewoo, mantan Kepala Institute for Unification Studies dan Profesor di Universitas Kyungnam, pada 10 November mengatakan kepada The Epoch Times bahwa dari perspektif makro, Trump mengirimkan pesan bahwa di bawah kepemimpinannya, Amerika Serikat akan memperkuat aliansi Korea-AS dan kerjasama trilateral Korea-AS-Jepang. Dari perspektif mikro, mengingat saat ini kemampuan AS dalam pembangunan kapal, kapal perang, serta pemeliharaan dan perbaikan kapal sangat terbatas, dan karena undang-undang Jones (Jones Act) yang mengharuskan kapal perang AS dibangun di AS, Amerika Serikat kekurangan kapal perang, dan masalah ini tidak dapat diselesaikan di dalam negeri. Oleh karena itu, mereka membutuhkan bantuan dari negara-negara dengan industri pembuatan kapal yang kuat, seperti Korea Selatan dan Jepang.

Senator Marco Rubio, yang dicalonkan Trump sebagai Menteri Luar Negeri, dalam laporan yang diterbitkan pada September lalu berjudul The World China Made: “Made in China 2025” Nine Years Later, menyatakan: “Tiongkok menguasai basis industri terbesar di dunia. Melalui pencurian, subsidi yang memutarbalikkan pasar, dan perencanaan strategis, Beijing kini memimpin dalam banyak industri yang akan menentukan hegemoni geopolitik abad ke-21.”

Dalam laporan tersebut, Rubio menyoroti bidang-bidang seperti kendaraan listrik, energi dan pembangkit listrik, kereta cepat, dan pembuatan kapal, di mana kemampuan pembuatan kapal Tiongkok kini 200 kali lebih besar dari AS.

Rubio menambahkan: “Laporan ini seharusnya menjadi peringatan bagi legislator, CEO, dan investor. Kita membutuhkan upaya dari seluruh masyarakat untuk membangun kembali negara kita, mengalahkan tantangan dari Tiongkok, dan terus menyalakan obor kebebasan bagi generasi mendatang.”

Selama bertahun-tahun, program angkatan laut AS selalu beroperasi dengan kapasitas penuh, dan situasi ini diperkirakan akan berlanjut hingga dekade 2050. Selain itu, angkatan laut AS harus membatasi perencanaan pengembangan armada mereka berdasarkan kemampuan industri pembuatan kapal domestik, dan terus menyesuaikan struktur armada untuk memenuhi kebutuhan strategis masa depan. 

Beberapa kerusakan kapal yang tiba-tiba, seperti insiden tabrakan kapal selam nuklir USS Connecticut di Laut China Selatan pada Oktober 2021, tidak dapat diperbaiki tepat waktu karena jadwal pembuatan kapal yang sudah penuh, sehingga memengaruhi penyebaran angkatan laut AS di Pasifik.

Kekurangan besar dalam kemampuan pembuatan kapal AS juga menyebabkan penundaan serius dalam pengiriman kapal angkatan laut, peningkatan biaya pembuatan kapal, dan berbagai masalah lainnya. Selain itu, pensiunnya kapal-kapal tua semakin menambah tekanan pada industri pembuatan kapal AS. Angkatan Laut AS berharap dapat mencapai target 300 kapal pada tahun fiskal 2032, dan memiliki armada lebih dari 381 kapal pada tahun fiskal 2042. Untuk itu, program pembuatan kapal angkatan laut AS telah dijadwalkan hingga 2054.

Kim Taewoo berpendapat, jika Korea Selatan dapat memanfaatkan keunggulan mereka dalam industri pembuatan kapal dan menyesuaikannya dengan kebutuhan Angkatan Laut AS, ini tidak hanya akan membantu memenuhi kebutuhan mendesak pembangunan angkatan laut AS, tetapi juga mendorong perkembangan industri pertahanan Korea Selatan yang cepat serta memperdalam kerja sama militer dengan AS.

Komentator militer, Xia Luoshan, pada 2 November mengatakan kepada Epoch Times bahwa ukuran, komposisi, dan rencana pembuatan kapal angkatan laut AS serta kemampuan industri pembuatan kapal AS telah menjadi fokus pengawasan Kongres AS selama bertahun-tahun. Seiring dengan peningkatan kemampuan angkatan laut Tiongkok, perbandingan kemampuan industri pembuatan kapal AS dan Tiongkok menjadi perhatian utama. Meskipun kekuatan angkatan laut AS diakui secara global, keterlambatan industri pembuatan kapal AS menghalangi pencapaian tujuan lebih besar bagi angkatan laut.

Laporan dari United States Naval Research Laboratory pada Februari lalu mengatakan tantangan terbesar yang dihadapi angkatan laut AS adalah membangun kembali kemampuan mereka dalam membangun, memelihara, dan memperbaiki kapal. Data menunjukkan bahwa AS hanya menguasai 0,13% dari total produksi kapal dunia pada tahun 2023.

Laporan tersebut juga menyebutkan bahwa, mengingat kapasitas galangan kapal AS saat ini, pekerjaan pemeliharaan angkatan laut diperkirakan akan tertunda 20 tahun. Karena ketidakmampuan untuk memelihara dan memperbaiki kapal untuk memperpanjang masa pakainya, kapal-kapal yang tersedia perlahan menghadapi masalah pensiun.

Laporan dari Heritage Foundation pada April lalu menunjukkan bahwa lebih dari sepertiga kapal selam nuklir AS harus menunggu pemeliharaan sebelum dapat kembali beroperasi. Selain itu, jumlah kapal komersial yang dapat beroperasi dalam perang sangat terbatas, dan AS terlalu bergantung pada angkutan laut asing untuk memenuhi kebutuhan operasi militer dan mendukung ekonomi selama perang.

Pada 28 Oktober, Anggota DPR AS Mike Waltz, seorang veteran perang dan mantan pejabat Garda Nasional Angkatan Darat, dalam sebuah percakapan di think tank Atlantic Council, menyatakan bahwa jika AS ingin memperkuat kemampuan pembuatan kapal mereka dalam jangka pendek, mereka harus bekerja sama dengan Korea Selatan dan Jepang. Waltz yang pada 11 November dicalonkan Trump sebagai Penasihat Keamanan Nasional.

Sejak 2003, Korea Selatan menggantikan Jepang sebagai pemimpin industri pembuatan kapal dunia, mendominasi dalam hal jumlah pesanan, produksi, dan backlog pesanan. Namun, sejak 2020, pesanan pembuatan kapal global Korea Selatan telah dilampaui Tiongkok.

Meskipun Korea Selatan tertinggal dalam jumlah pesanan pembuatan kapal dari Tiongkok, mereka masih mendominasi pesanan kapal kontainer super besar dan kapal pengangkut LNG yang bernilai tinggi. Pada kuartal pertama hingga ketiga tahun ini, Korea Selatan menguasai 60% dari pesanan kapal pengangkut LNG global.

Pada 12 November, anak perusahaan Hanwha Group, Hanwha Ocean, mengumumkan bahwa mereka telah memenangkan kontrak pemeliharaan, perbaikan, dan perawatan (MRO) untuk kapal pengisian bahan bakar USNS Yukon milik Armada ke-7 Angkatan Laut AS. Dengan demikian, Hanwha Ocean telah memperoleh dua kontrak MRO dari Pusat Dukungan Logistik Armada ke-7 Angkatan Laut AS di Singapura pada tahun ini.

Kantor Berita Korea (Yonhap) melaporkan bahwa baru-baru ini, Amerika Serikat sedang menaruh perhatian pada industri pertahanan laut Korea yang unggul untuk mempertahankan kekuatan tempur angkatan lautnya. Departemen Pertahanan AS, berdasarkan kebijakan kerangka pemeliharaan daerah (RSF), menganggap Korea sebagai titik penting untuk kerjasama industri pertahanan dalam rencana membangun pusat perbaikan militer di lima negara di kawasan India dan Pasifik.

Menurut Yonhap, bahwa keputusan Trump untuk memberikan dukungan kepada industri pertahanan laut Korea adalah hal yang menggembirakan. Karena ini tidak hanya mencakup bisnis MRO angkatan laut AS yang mencapai 200 triliun won (sekitar 14,2 miliar dolar AS) setiap tahun, tetapi juga meletakkan dasar untuk memperluas kerjasama dalam pembangunan kapal perang di masa depan.

Sejak awal tahun ini, Amerika Serikat secara aktif meminta kerjasama dengan Korea. Untuk menguji kemungkinan kerjasama Korea-AS terkait pemeliharaan, perbaikan, dan pengelolaan angkatan laut (MRO), Menteri Angkatan Laut AS Carlos Del Toro mengunjungi Korea pada Februari lalu, dan mengunjungi markas besar HD Hyundai Heavy Industries yang merupakan perusahaan galangan kapal terbesar di dunia di Ulsan, serta pabrik Geoje dari Hanwha Ocean.

Grup Hanwha pada Juni lalu mengakuisisi 100% saham di galangan kapal Philly Shipyard yang terletak di Philadelphia, AS, dengan nilai 100 juta dolar AS, menjadikannya perusahaan Korea pertama yang memasuki industri galangan kapal AS. Melalui akuisisi ini, Grup Hanwha telah membangun pangkalan untuk secara resmi memasuki pasar kapal niaga dan industri militer AS.

Dalam pembicaraan dengan Trump tentang pentingnya kerja sama industri pembuatan kapal antara AS dan Korea Selatan, industri pembuatan kapal Korea Selatan, yang sudah tertekan akibat serangan dari Tiongkok, kini mendapat perhatian sebagai salah satu sektor yang akan diuntungkan pada masa pemerintahan kedua Trump. Di pasar saham, saham industri pembuatan kapal melonjak 11% dalam satu hari, dan beberapa perusahaan mengalami lonjakan harga saham lebih dari 20%.(jhn/yn)